Pagi itu akhirnya saya kembali datang ke kota Palembang. Konon saat penjajahan Belanda kota ini disebut Venesia dari Timur. Palembang memiliki ribuan cerita yang dibangun dari tepian Sungai Musi sejak dahulu kala. Sungai tersebut mengalirkan kebanggaan sejarah masa lalu, menuju masa depan masyarakatnya yang penuh harapan.
Umumnya masyarakat awam mengenal Palembang sebagai kota terbesar kedua di Sumatera. Kota ini memiliki ikon Jembatan Ampera sebagai simbol modernisasi dan tempat kuliner dari beragam varian empek- empeknya yang terkenal. Namun perjalanan kali ini mengajarkan saya bahwa Palembang jauh lebih mahsyur daripada itu. Sebagai salah satu kota tertua di Indonesia bahkan Asia Tenggara, sejarah Palembang sangatlah kaya. Tengok saja cerita tentang kejayaan Kerajaan Sriwijaya sebelum Abad ke 13. Kerajaan tersebut pernah menjadi peradaban maritim yang kuat dan mengendalikan rute perdagangan antara Tiongkok dan India.
Sejarah mengenai akulturasi dengan budaya Tiongkok ini menarik hati, sehingga membawa saya menyeberangi Jembatan Ampera menuju ke seberang Ulu yaitu ke sebuah kampung dimana etnis Tionghoa pertama menetap di Kota Palembang. Komunitas Tiongkok tersebut menetap sejak sekitar abad ke-17 atau pada masa Dinasti Ming. Di kampung tersebut terdapat rumah berdesain Tionghoa yang melegenda. Masyarakat menyebutnya Rumah Kapitan atau Rumah Tjoa.
Alkisah setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad ke 14, datanglah perwira china dari Dinasti Ming yang dikenal dengan nama Perwira Tjoa. Pada masa kolonial Belanda, perwira tersebut diberdayakan oleh pemerintah Belanda untuk menjadi pengatur kawasan dan memunggut pajak di sekitar SungaI Musi sehingga, membuat Tjoa Kie Tjuan menjadi pimpinan masyarakat Tionghoa-Palembang pertama di kawasan 7 ulu. Pada akhirnya masyarakat setempat memanggilnya kapitan atau kapten.
Rumah Kapitan memiliki struktur bangunan Rumah Limas atau Rumah Adat Palembang dengan sentuhan gaya Tionghoa dan arsitektur Belanda. Pondasi rumah ini terbuat dari kayu onglen yang terkenal akan kualitasnya.
Rumah Tjoa yang berada Kampung Kapitan ini didirikan menghadap Sungai Musi. Dahulu pengjuni dari rumah ini bisa langsung mengakses kawasan Sungai Musi sebelum akhirnya tertutup oleh pembangunan rumah penduduk ratusan tahun kemudian. Saat berkunjung keaini saya beruntung bisa bertemu dengan Bapak Mulyadi Tjoa. Beliau adalah keturunan ke-14 yang masih mendiami dan mengurus Rumah Kapitan. Menurut beliau, zaman dahulu ada tiga rumah di Kampung Kapitan ini. Sayangnya salah satu rumah sudah hancur termakan usia.
Saat ini kedua rumah yang tersisa dan saling terhubung memiliki fungsi berbeda. Rumah utama terletak di sebelah kiri berfungsi sebagai Kantor Tjoa serta tempat penerimaan tamu. Di dalam rumah utama terdapat tempat sembahyang bagi para leluhur pendiri Kampung Kapitan yang berasal dari Dinasti Ming pada tahun 1300, hingga diturunkan ke Dinasti Ching pada tahun 1600. Selain itu, rumah utama dijadikan sebagai tempat ziarah bagi para etnis Tionghoa. Sedangkan rumah kedua berada di sebelah kanan, dahulunya merupakan tempat bagi para prajurit.
Beberapa tahun yang lalu ketenaran kampung ini sempat memudar sehingga membuat Rumah Kapitan sempat tidak terurus dan rusak setelah ditinggalkan oleh para keturunannya karena mengikuti suami mereka untuk pindah ke kota lain. Menurut Mulyadi, kedua rumah tersebut sempat akan dibeli orang seharga 250 Miliar rupiah. Namun dirinya tidak mau menjualnya karena selain ikatan emosional yang mendalam, rumah ini telah menjadi cagar budaya dan sebagai bukti sejarah kejayaan masa lalu tempat pemerintahan para Kapiten disana.