Sastra  

Suara dari Gunung Mutis

Cerita yang tidak pernah aku tulis

Ilustrasi Penulis (Foto: freepik.com)
Ilustrasi Penulis (Foto: freepik.com)

Kabut tipis menggelayut di sekitar kabin kayu tua ini ketika aku pertama kali tiba tiga minggu lalu. Gunung Mutis yang menjulang di belakang rumah kecilku ini terlihat seperti raksasa tidur yang diselimuti awan putih. Aku memilih tempat ini karena kesunyiannya, jauh dari hiruk pikuk kota Kupang, jauh dari deadline yang menghantui, jauh dari dunia yang terus berputar tanpa memberi waktu untuk bernapas.

Sebagai penulis yang sudah hampir lima tahun mengalami writer’s block, aku berharap isolasi ini akan mengembalikan inspirasiku. Kabin ini kusewa dari Pak Yosef, seorang tua berkulit keriput yang tinggal di desa kaki gunung. Matanya yang sayu menatapku dengan tatapan aneh ketika aku mengatakan ingin menyewa kabin itu untuk beberapa bulan.

“Bapak yakin mau tinggal di sana sendirian?” tanyanya dengan logat Timor yang kental. “Tempat itu… ada sejarahnya.”

Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Cerita-cerita mistis lokal tidak pernah membuatku takut. Yang kutakutkan hanya kertas kosong dan cursor yang berkedip tanpa ada kata-kata yang mengalir.

Hari-hari pertama berjalan dengan tenang. Aku bangun ketika matahari mulai menyinari puncak Mutis, membuat teh, dan duduk di depan laptop dengan pemandangan hutan hijau yang membentang hingga cakrawala. Angin pegunungan yang sejuk dan suara burung-burung liar memberikan latar belakang yang sempurna untuk menulis.

Namun, seperti biasa, kata-kata tidak datang. Layar laptop tetap kosong, dan aku hanya menatap kursor yang berkedip-kedip seperti mata yang mengejek. Frustasi mulai merayap, dan aku sering berakhir dengan berjalan-jalan di sekitar kabin atau membaca buku-buku lama yang kutemu di rak kayu lapuk di sudut ruangan.

Buku-buku itu kebanyakan dalam bahasa Indonesia dan Belanda, ditulis tangan dalam huruf yang sudah memudar. Ada juga beberapa buku cetak lama, salah satunya adalah buku kumpulan cerita pendek berjudul “Bayangan di Nusa Tenggara” yang diterbitkan tahun 1987. Aku tidak tahu siapa pemilik asli kabin ini, tapi Pak Yosef hanya bilang bahwa tempat ini sudah lama tidak dihuni.

Minggu ketiga tinggal di sini, sesuatu yang aneh mulai terjadi.
Aku terbangun pada dini hari oleh suara ketikan mesin tik. Suara itu samar, seperti datang dari ruang sebelah, tapi kabin ini hanya memiliki satu ruangan utama dengan dapur kecil dan kamar mandi. Aku duduk di kasur, menajamkan pendengaran. Suara itu berhenti.

“Mungkin hanya mimpi,” gumamku sambil melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 3:47 pagi.

Tapi ketika aku bangun pagi harinya dan membuka laptop, ada sesuatu yang membuat jantungku berdebar. Di dokumen kosong yang kemarin kusimpan dengan nama “Novel Baru”, kini ada satu paragraf yang tertulis dengan font yang sama persis dengan yang biasa kugunakan:
Malam itu, ketika kabut turun dari puncak Mutis, aku mendengar langkah kaki di atas atap kayu. Langkah yang perlahan, seperti seseorang yang berjalan tanpa tujuan. Aku tahu tidak ada siapa-siapa di sini selain aku, tapi langkah itu terus berulang setiap malam, selalu dimulai tepat pukul tiga dini hari.

Aku menatap layar dengan mata terbelalak. Tidak mungkin aku yang menulis ini. Tidak mungkin. Aku tidak pernah menulis tentang langkah kaki di atap, dan yang lebih aneh lagi, aku belum pernah mendengar langkah kaki di atap kabin ini.

Dengan tangan bergetar, aku menghapus paragraf itu dan menutup laptop. Mungkin aku stress. Mungkin isolasi ini mulai mempengaruhi kesehatan mentalku. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke desa untuk membeli beberapa keperluan dan berbicara dengan orang lain.

Pak Yosef sedang duduk di beranda rumahnya ketika aku tiba. Wajahnya yang sudah keriput tampak lebih tua dari biasanya.

“Bagaimana kabar di kabin?” tanyanya tanpa mengangkat mata dari cangkir kopinya.

“Baik-baik saja, Pak. Hanya… ada yang ingin saya tanyakan. Apakah ada orang lain yang pernah tinggal di kabin itu sebelumnya? Maksud saya, dalam beberapa tahun terakhir?”

Pak Yosef meletakkan cangkirnya perlahan dan menatapku dengan mata yang dalam. “Ada. Seorang penulis juga, seperti Anda. Namanya Jakob. Dia datang dari Jakarta, katanya mau menulis novel tentang kehidupan di pedalaman.”

“Apa yang terjadi dengannya?”

“Dia… menghilang.” Pak Yosef mengusap janggut tipis di dagunya. “Sudah hampir dua tahun lalu. Satu pagi, orang-orang desa menemukan kabin kosong. Laptopnya masih menyala, makanan masih di meja, tapi orangnya tidak ada. Polisi sudah mencari sampai ke dalam hutan, tapi tidak ketemu.”
Sesuatu yang dingin merayap di tulang belakangku. “Apakah… apakah dia meninggalkan tulisan-tulisan?”

“Ada beberapa kertas, tapi polisi sudah membawanya. Yang saya ingat, dia bilang pada saya beberapa hari sebelum menghilang bahwa ada sesuatu yang aneh dengan tulisannya. Katanya, dia menemukan cerita-cerita yang tidak pernah dia tulis muncul di komputernya.”

Darahku seakan membeku. Aku pamit dengan terburu-buru dan kembali ke kabin dengan perasaan gelisah yang semakin membesar.

Malam itu, aku memutuskan untuk tidak tidur. Aku duduk di meja dengan laptop terbuka, dokumen kosong terpampang di layar. Aku ingin membuktikan bahwa yang terjadi kemarin hanya halusinasi atau mungkin aku yang menulis tanpa sadar.

Pukul 11 malam, aku masih terjaga. Pukul 12, mataku mulai terasa berat.

Pukul 1, aku hampir tertidur di kursi.

Lalu, tepat pukul 3:47 pagi, aku mendengarnya.

Tap. Tap. Tap.

Langkah kaki di atas atap. Pelan, berirama, seperti seseorang yang berjalan bolak-balik di atas atap seng. Jantungku berdetak kencang, dan aku menatap langit-langit kabin dengan mata terbelalak.

Tap. Tap. Tap.

Langkah itu bergerak dari satu ujung atap ke ujung lainnya, lalu berhenti tepat di atas kepalaku. Keheningan yang mencekam mengisi kabin selama beberapa detik, sebelum langkah itu mulai lagi, kali ini bergerak menuju pintu.

Aku tidak berani bergerak. Tidak berani bernapas. Langkah itu berhenti di depan pintu, dan aku bisa mendengar suara seperti seseorang yang turun dari atap.

Krek.

Bunyi kayu yang retak. Seperti seseorang yang menginjak papan kayu tua di beranda.

Lalu, keheningan total.

Aku menunggu sampai matahari terbit sebelum berani membuka pintu. Tidak ada jejak kaki di tanah di sekitar kabin. Tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang yang datang ke sini malam itu.

Dengan tangan bergetar, aku membuka laptop. Dokumen yang semalam kosong, kini berisi dua paragraf baru:
Dia tahu bahwa aku sedang mendengarkan. Setiap malam, dia datang untuk memastikan aku masih di sini, masih hidup, masih bisa mendengar langkahnya. Dia tidak ingin aku pergi seperti yang sebelumnya. Aku mulai mengerti sekarang. Kabin ini bukan hanya tempat untuk menulis. Ini adalah penjara. Dan aku adalah tahanan yang diminta untuk menceritakan kisahnya, agar dia tidak sendirian lagi di kegelapan.

Aku menghapus kedua paragraf itu dengan cepat, tapi jari-jariku bergetar begitu kencang sampai aku hampir tidak bisa mengendalikan mouse.

Sesuatu yang tidak beres terjadi di sini, dan aku harus pergi sekarang juga.
Aku mulai mengemas barang-barangku dengan tergesa-gesa, tapi ketika hendak menutup laptop, aku melihat ada file baru di desktop. File itu
bernama “JANGAN PERGI.docx”.

Tanpa sadar, aku mengklik file itu.

Kamu tidak boleh pergi. Kamu sudah terpilih, seperti Jakob sebelummu. Cerita ini harus selesai. Cerita tentang diriku, tentang mengapa aku terjebak di sini, tentang mengapa aku membutuhkan seseorang untuk menuliskan kisahku.

Aku adalah Markus, penulis yang datang ke kabin ini lima belas tahun lalu. Aku juga mencari inspirasi, seperti kalian. Tapi yang kutemukan adalah sesuatu yang lebih gelap. Ada kekuatan di gunung ini, sesuatu yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Sesuatu yang lapar akan cerita.

Aku mati di sini, dalam kesendirian dan keputusasaan. Tubuhku tidak pernah ditemukan karena gunung ini menyembunyikanku. Tapi jiwaku tetap terjebak, terikat pada kabin ini, menunggu seseorang yang bisa menuliskan kisahku agar aku bisa pergi.

Jakob mencoba melarikan diri. Dia berhasil keluar dari kabin, tapi tidak pernah sampai ke desa. Gunung ini tidak akan membiarkan kalian pergi sebelum cerita selesai.

Aku menutup laptop dengan keras dan berlari ke pintu. Tapi ketika aku meraih gagang pintu, pintu itu tidak bisa dibuka. Aku memutar gagang berkali-kali, mendorong, menarik, tapi pintu itu seperti terkunci dari luar.
Jendela. Aku berlari ke jendela dan mencoba membukanya, tapi jendela itu juga tidak bisa dibuka. Kaca-kacanya bahkan tidak bisa dipecahkan, seolah-olah terbuat dari material yang lebih keras dari kaca biasa.

Panik mulai menguasaiku. Aku berteriak-teriak meminta tolong, tapi suaraku seolah terserap oleh dinding kabin. Tidak ada gema, tidak ada pantulan suara.

Aku kembali ke laptop dan membukanya. File baru lagi muncul: “KAMU TIDAK PUNYA PILIHAN.docx”.

Semakin cepat kamu menuliskan ceritaku, semakin cepat kamu bisa bebas. Tapi ingat, cerita harus lengkap. Dari awal bagaimana aku datang ke sini, bagaimana aku menemukan rahasia gunung ini, bagaimana aku mati, dan bagaimana aku terperangkap.

Mulai sekarang, setiap malam aku akan memberikan mu bagian dari ceritaku. Tulis dengan baik, atau kamu akan berakhir seperti Jakob.

Aku menatap layar dengan mata yang mulai berair. Tidak ada pilihan lain. Dengan tangan yang bergetar, aku mulai mengetik:
Namaku Markus, dan ini adalah cerita tentang bagaimana aku mati di kabin tua di lereng Gunung Mutis.

Saat aku menyelesaikan kalimat itu, aku mendengar suara seperti desahan lega dari sudut ruangan. Udara di kabin menjadi sedikit lebih hangat, dan aku bisa merasakan kehadiran yang tidak terlihat di dekatku.
Bagus, bisikan suara yang tidak terdengar tapi terasa di dalam kepalaku.

Sekarang, lanjutkan.

Aku menoleh ke arah jendela. Matahari sudah mulai tenggelam di balik puncak Mutis, dan kabut tipis mulai turun dari puncak gunung. Malam akan segera tiba, dan aku tahu bahwa malam ini akan lebih panjang daripada malam-malam sebelumnya.

Dengan berat hati, aku melanjutkan mengetik. Setiap kata yang kutulis terasa seperti paku yang semakin dalam menancap di kuburanku sendiri. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku harus menyelesaikan cerita ini, atau aku akan menjadi bagian dari cerita itu selamanya.

Di luar, angin gunung mulai bertiup kencang, dan aku bisa mendengar suara seperti tawa yang terbawa angin. Atau mungkin itu hanya imajinasimu, bisik suara di kepalaku. Atau mungkin itu suara Jakob, yang masih berkeliaran di sekitar gunung, menunggu giliran ceritanya untuk ditulis.

Jari-jariku terus bergerak di atas keyboard, dan layar laptop terus terisi dengan kata-kata yang bukan milikku. Cerita tentang Markus, tentang rahasia kelam Gunung Mutis, tentang kekuatan kuno yang masih tidur di dalam perut bumi.

Dan aku tahu, semakin dalam aku menggali cerita ini, semakin sulit bagiku untuk kembali ke dunia nyata. Tapi aku tidak punya pilihan lain selain melanjutkan, berharap bahwa suatu hari nanti, seseorang akan menemukan laptop ini dan membaca ceritaku.

Cerita tentang bagaimana seorang penulis lain terperangkap di kabin tua di Gunung Mutis, menunggu giliran untuk jiwanya dibebaskan melalui tinta hitam di layar putih.

Tap. Tap. Tap.

Langkah kaki di atap mulai terdengar lagi. Tapi kali ini, aku tahu bahwa itu bukan hanya satu pasang kaki. Ada lebih banyak suara, lebih banyak langkah.

Mereka semua menunggu gilirannya untuk bercerita……


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *