Sastra  

Kembalinya Senyum Anak Kota Gaza

Amir menutup telinganya, mencoba menahan suara ledakan yang menggema di seluruh tubuhnya.

Donyawan Maigoda
Kembalinya Senyum Anak Kota Gaza
Kembalinya Senyum Anak Kota Gaza

Kembalinya Senyum Anak Kota Gaza. Di tengah deru ombak Mediterania, terletak sebuah perkampungan kecil yang sunyi di kota Gaza. Di sana, di antara reruntuhan yang masih tersisa dari konflik lama, hiduplah seorang bocah kecil berusia dua belas tahun bernama Amir. Dengan mata berbinar dan senyum lebar, Amir adalah sumber keceriaan bagi penduduk sekitar.

Suatu pagi, di halaman yang terbuka di depan rumahnya, Amir sedang sibuk mengumpulkan kerang yang terbawa ombak. Ia berseru, “Ibu, lihat apa yang aku temukan hari ini! Kerang-kerang yang indah!” Sambil tersenyum, ibunya keluar dari rumah dengan memandang penuh kehangatan. “Amir, kamu memang rajin sekali. Kumpulkan yang terbaik, ya. Mungkin nanti kita bisa membuat hiasan dari kerang-kerang ini.”

“Sungguh, Ibu? Aku akan kumpulkan sebanyak-banyaknya!” seru Amir sambil terus mengumpulkan kerang yang berkilau di bawah matahari pagi. Dengan langit yang biru cerah dan suara ombak yang tenang, kedamaian tampak mewarnai pagi di Kota Gaza.

***

Beberapa minggu kemudian, suasana yang tadinya damai, kian terusik oleh kabar-kabar yang menegangkan. Di televisi yang tergantung di sudut jalan, warga Kota Gaza mulai melihat laporan tentang bentrokan antara pasukan Israel dan pejuang Palestina yang semakin memanas.

Amir menatap layar televisi dengan kebingungan yang jelas terpancar dari wajahnya. “Ibu, apa yang terjadi? Mengapa semuanya begitu tegang?” tanyanya dengan suara gemetar.

Ibu Amir, yang tengah sibuk menyusun beberapa barang di dapur, menoleh dan mencoba memberikan senyum palsu yang mencoba menenangkan hati Amir. “Jangan khawatir, Nak. Semoga semua ini segera berlalu,” ucapnya dengan nada berusaha tegar.

Namun, seiring berjalannya waktu, suara tembakan dan ledakan mulai terdengar semakin dekat. Lingkungan sekitar mereka yang sebelumnya tenang kini dipenuhi dengan kecemasan dan ketakutan. “Ibu, aku takut,” bisik Amir sambil memeluk erat ibunya.

Ibunya mengusap lembut punggung Amir, mencoba menenangkan hati kecil yang gemetar. “Kita akan melewati ini, Amir. Bersama-sama, kita akan kuat,” ucapnya pelan. Namun, kekhawatiran tetap terpancar jelas dari mata ibu Amir, menggambarkan kecemasan yang sama yang dirasakan oleh banyak keluarga lainnya.

***

Suasana tegang semakin meluas di Gaza, dan ketegangan itu akhirnya meledak menjadi serangkaian serangan udara yang menghantam wilayah tersebut. Amir terbangun dari tidurnya oleh suara gemuruh yang mengerikan. “Ibu, apa yang terjadi?” teriaknya ketakutan.

Ibunya segera berlari ke samping tempat tidur Amir dan memeluknya erat. “Tetaplah di sini, Amir! Jangan bergerak,” bisiknya dengan mata penuh ketakutan. Serangan udara menghantam dekat rumah mereka, menghancurkan bagian-bagian tetangga mereka.

Amir menutup telinganya, mencoba menahan suara ledakan yang menggema di seluruh tubuhnya. Ketakutan dan kepanikan menyelimuti dirinya, sementara ibunya mencoba menenangkannya dengan nyanyian pelan yang terdengar temaram di tengah kekacauan.

***

Setelah serangan itu mereda, Amir memandang ke sekeliling dengan mata berkaca-kaca. Rumahnya hancur berantakan, dan tetangga-tetangganya berusaha mengangkat puing-puing untuk mencari korban. Amir menangis ketika menyadari bahwa beberapa teman sebayanya tidak lagi ada di sana.

“Ibu, ke mana mereka pergi?” tanya Amir sambil menahan isak tangis. Ibunya, yang juga tak kuasa menahan tangis, hanya bisa memeluk Amir erat dan berkata, “Mereka pergi ke surga, Nak. Mereka sekarang berada di tempat yang aman.” Dalam keheningan yang penuh kehancuran, mereka meratapi kehilangan yang menyakitkan.

Sementara kehancuran dan duka melanda Kota Gaza, semangat perlawanan pun mulai tumbuh di tengah-tengah warga yang terluka dan terusir. Amir dan ibunya bergabung dengan tetangga-tetangganya dalam membangun tenda-tenda darurat dan mencari sumber makanan yang tersisa.

“Kita harus kuat, Amir,” ucap ibunya dengan mata yang penuh tekad. “Kita harus tetap melawan dan berharap agar masa depan lebih baik.”

***

Amir, yang mencoba meniru sikap tegar ibunya, membantu mengangkat material bangunan sederhana untuk tenda-tenda yang akan melindungi mereka dari hujan dan angin. Di antara kekacauan dan penderitaan, timbul rasa solidaritas di antara warga Kota Gaza yang saling membantu satu sama lain.

Beberapa relawan datang membawa bantuan makanan dan obat-obatan, memberikan sedikit kelegaan di tengah-tengah keadaan yang menyedihkan. Amir menyaksikan upaya-upaya tersebut dengan penuh harapan dalam hatinya, percaya bahwa suatu hari nanti, kehidupan normal akan kembali lagi.

“Ibu, apakah kita bisa melewati ini, semua?” tanya Amir dengan tatapan penuh harapan.

“Kita pasti bisa melewati semua ini nak,” jawab ibu Amir dengan senyuman pahit namun penuh keyakinan. “Kita akan bangkit kembali, seperti sebelumnya. Kita akan membuat kembali kebahagiaan di Kota Gaza.” Dalam tengah-tengah kehancuran, mereka menemukan kekuatan untuk terus berharap dan melawan.

***

Setelah beberapa bulan perjuangan dan kegigihan, konflik pun mulai mereda, dan lingkungan di sekitar Gaza mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Rumah-rumah sederhana mulai dibangun kembali, dan taman-taman kecil mulai ditanami kembali oleh warga setempat. Amir, yang sebelumnya diselimuti kecemasan, mulai kembali menampilkan senyumannya yang ceria.

Di antara reruntuhan yang masih tersisa, anak-anak Gaza mulai bermain lagi di jalanan yang dulunya sunyi akibat konflik. Amir berlari-lari kecil di antara teman-temannya, sesekali tertawa riang. Ibu Amir, yang juga mulai tersenyum lagi, melihat putranya dengan rasa bangga yang dalam.

“Ibu, lihat, aku menemukan bunga!” teriak Amir sambil menggenggam bunga liar yang tumbuh di antara reruntuhan. Ibu Amir tersenyum lebar, “Betapa cantiknya. Letakkan di rumah kita, akan kita tanam bersama-sama.”

Senyum mulai kembali menyinari wajah-wajah warga Kota Gaza, menandai kebangkitan dari kesedihan dan penderitaan. Meskipun luka-luka masih terasa, namun semangat untuk memulai kembali dan menciptakan kehidupan yang lebih baik mulai tumbuh di antara mereka.

Sementara itu, taman kecil di dekat rumah Amir mulai ditanami kembali oleh warga setempat, menciptakan lingkungan yang hijau dan damai. Amir dan teman-temannya berlarian di antara pepohonan yang baru ditanam, tertawa riang dalam kegembiraan yang membahagiakan.

***

Di sebuah sore yang cerah, Amir duduk di dekat jendela rumahnya, menatap matahari terbenam di cakrawala. Ia mengingat masa-masa sulit yang baru saja mereka lewati, tetapi juga merasa terharu dengan semangat kebersamaan yang tumbuh di tengah-tengah keadaan sulit.

Ibunya datang menghampiri dan duduk di sampingnya. “Amir, kamu tahu, kamu adalah anak yang sangat kuat. Kamu telah melalui banyak hal yang tidak seharusnya kamu alami. Ibu bangga padamu,” ucapnya dengan mata penuh cinta.

Amir menoleh dan tersenyum kepada ibunya. “Aku juga bangga padamu, Ibu. Karena kamu adalah wanita terkuat yang pernah aku kenal,” jawabnya dengan tulus.

Di dalam senyuman mereka, tergambar harapan baru yang tumbuh di Gaza. Meskipun luka-luka masih terasa, mereka bersama-sama memutuskan untuk terus maju, membangun masa depan yang lebih baik, di mana senyum tidak akan pernah lagi terhenti di wajah anak-anak Gaza. Dalam kehangatan senja, mereka merangkul satu sama lain, menandai kembalinya kebahagiaan dan harapan di Kota Gaza.

 

Baca juga:

Semburat Senja Tak Lagi Bermakna

Response (1)

  1. Terima kasih kak. Semoga bunga liar yang ditemukan Amir menjadi tanda adanya perubahan yang lebih baik di Kota Gaza. Aamiin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *