Sastra  

Metamorfosis Cinta

Cinta sejati bukanlah tentang pengorbanan, mengalah dan menerima akan tetapi lebih pada bagaimana pasangan bisa tumbuh bersama berkembang, mencapai puncak dan bahagia

Untung Sudrajad
Ilustrasi Keluarga Bahagia (foto: pexels)
Ilustrasi Keluarga Bahagia (foto: pexels)

Metamorfosis Cinta – Rina menatap kosong ke luar jendela kamarnya. Langit Jakarta yang kelabu seolah mencerminkan suasana hatinya saat ini.

Sudah seminggu Denny, suaminya, tidak pulang ke rumah. Seminggu pula Rina bergelut dengan pikiran-pikiran yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak.

“Mama, kok melamun?” suara Kira, putri sulungnya yang berusia 8 tahun, membuyarkan lamunan Rina.

Rina tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kesedihannya. “Mama nggak melamun kok, sayang. Cuma lagi mikirin menu makan malam kita nanti.”

Kira mengangguk polos. “Oh… Papa kapan pulang, Ma? Kira kangen belajar matematika sama Papa.”

Pertanyaan itu bagaikan pisau yang mengiris hati Rina. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Papa lagi sibuk kerja, sayang. Nanti juga pulang kok.”

***

Setelah Kira pergi, Rina kembali tenggelam dalam pikirannya. Ia teringat kejadian seminggu lalu, saat tidak sengaja menemukan pesan-pesan mesra antara Denny dan seorang wanita bernama Mira di ponsel suaminya. Saat itu, dunia Rina seolah runtuh.

Rina mengambil ponselnya, jemarinya bergetar saat ia membuka aplikasi WhatsApp. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengetik pesan kepada sahabatnya, Nindi seorang psikolog.

“Mbak… Aku curhat dong.”

Balasan dari Nindi datang dengan cepat. “Oke sini curhat. Ada apa?”

“Mbak, suamiku nyeleweng.”

“Terus?”

“Terus aku harus gimana?”

“Lho ya aku nggak tahu. Kamu maunya gimana?”

Rina terdiam sejenak. Apa yang ia inginkan? Selama ini, ia selalu bergantung pada Denny.

Sebagai ibu rumah tangga, Rina merasa hidupnya hanya berkisar pada suami dan anak-anak.

Kini, ketika pilar utama hidupnya goyah, ia merasa begitu kehilangan arah.

“Aku bingung mbak.”

“Bingungnya apa?”

“Aku minta cerai apa nggak ya?”

Percakapan itu berlanjut panjang. Nindi dengan sabar mendengarkan curahan hati Rina, memberikan nasihat dan pandangan yang membuat Rina berpikir ulang tentang keputusannya.

“Gini ya,” tulis Nindi, “ada penelitian neuroscientists, ahli otak manusia. Menurut penelitian mereka, manusia itu ternyata berpikir, merasa, dan bernapsu karena dorongan hormon. Kita ini memang budak hormon. Semakin kita bodoh, semakin mudah pula kita dikuasai oleh hormon.”

“Hei, tahu nggak? Selain hormon yang bikin cowok jadi cowok dan cewek jadi cewek, ada juga hormon yang bikin orang jatuh cinta habis-habisan lho.”

“Wah, apa tuh? Kedengarannya rumit.”

“Haha, memang sih. Tapi intinya, ada hormon yang bikin orang jadi kayak orang gila pas lagi kasmaran. Gara-gara hormon ini, orang bisa nekat kabur sama pacarnya kalau dilarang pacaran. Bahkan ada yang sampe bunuh diri atau bunuh orang lain demi cinta. Padahal belum tentu itu cinta beneran lho, cuma efek hormon aja.”

“Oh, gitu ya?”

“Lho, emangnya kamu dulu nggak gitu? Waktu pacaran dulu pasti pernah kan nekat loncat pagar buat ketemu pacar?”

“Haha, iya sih. Tapi kan itu dulu! Sekarang udah biasa aja.”

“Nah, itu dia! Tau nggak kenapa dulu bisa deg-degan banget cuma denger suara motor pacar, tapi sekarang biasa aja? Karena hormonnya udah reda!”

“Terus sekarang hormonnya kemana?”

“Nggak hilang, cuma diganti sama hormon yang bikin rasa sayang yang lebih tenang. Kayak sayangnya ibu ke anak. Nggak ada deg-degan lagi, tapi cintanya tetep besar. Kalau hormon ini udah muncul, pacaran jadi lebih normal. Bisa mikir jernih dan mulai bisa liat kekurangan pasangan.”

“Oh, jadi kalau hormon yang sebelumnya masih ada, kita nggak bisa liat kejelekan pasangan ya?”

“Yap, begitulah. Makanya aku bilang kamu sabar aja dulu. Hormon yang bikin orang mabuk kepayang itu paling cuma bertahan setahun. Tunggu aja sampai hilang dari suamimu dan selingkuhannya. Intinya, sepasang kekasih yang lagi mesra-mesranya pasti bakal berantem juga kok nantinya.”

“Oh gitu ya?”

“Iya, percuma kamu marah-marah ke suamimu sekarang. Dia lagi dimabuk cinta, mana mau didengerin. Jangankan kamu, orang tuanya aja bakal dia lawan kalau berani ngelarang.”

***

Rina membaca penjelasan Nindi dengan seksama. Tentang hormon yang membuat orang jatuh cinta, tentang fase-fase dalam hubungan, dan bagaimana hormon-hormon itu akhirnya mereda seiring waktu.

“Jadi, kamu tungguin aja sampai hormon-hormon itu hilang dari tubuh suamimu dan selingkuhannya,” tulis Nindi. “Bahasa awamnya nih semesra-mesranya orang pacaran, bakal berantem juga kok.”

Rina tertegun. Ia tak pernah memandang perselingkuhan Denny dari sudut pandang ini sebelumnya. Selama ini, ia hanya melihatnya sebagai pengkhianatan, sebagai bukti bahwa ia tidak cukup baik sebagai istri.

“Jadi aku harus gimana?” tanya Rina lagi.

“Nah kamu maunya gimana? Mempertahankan pernikahan karena suami masih punya nilai lebih di aspek lain? Atau mau cerai aja langsung, karena dia sudah nggak ada bagus-bagusnya di urusan lain sedikit pun?”

Rina merenungkan pertanyaan ini. Denny memang telah mengkhianatinya, tapi selama ini ia adalah suami dan ayah yang baik. Ia tidak pernah kasar, selalu memenuhi kebutuhan keluarga, dan sangat menyayangi anak-anak mereka.

“Yah kalau soal tanggung-jawab sih dia bisa diandelin mbak. Nafkah hidup masih penuh. Sama anak-anak juga sayang, mau bantuin mandiin dan ganti popok anak bungsu… Sama aku juga nggak pernah kasar… Aku mau bertahan deh mbak.”

“Nah, kalau gitu, ayo kita susun siasat pertempuran.”

Kata-kata Nindi membuat Rina tersentak. Pertempuran? Ia bahkan tidak yakin memiliki kekuatan untuk bertempur. Selama ini, Rina selalu menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah, yang harus mengalah demi keutuhan rumah tangga.

“Gini ya,” Nindi melanjutkan, “semua manusia itu, selalu suka dibikin enak dan gampang. Nggak ada manusia yang nolak kenyamanan deh. Jadi kamu bikin dia nyaman.”

Awalnya, Rina merasa keberatan. “Tu kaaan…! Selalu gitu deeeh, selalu perempuan yang harus ngalah!” tulisnya dengan emosi.

Namun Nindi dengan cepat meluruskan, “Wekekekek…lha yang bilang kamu harus ngalah itu siapa? Aku cuma mau ngajak kamu berstrategi jadi pemenang kok.”

Pemenang. Kata itu terasa asing bagi Rina. Selama ini, ia selalu merasa sebagai pihak yang kalah, yang harus mengalah, yang harus menerima apa adanya. Tapi kini, Nindi memberinya perspektif baru.

“Dimana-mana, pedagang menjadi sukses itu karena dua hal: barangnya berkualitas, lalu servicenya juga bagus, cepat dan ramah,” jelas Nindi.

“Pegawai yang karirnya nanjak terus itu, dimana-mana adalah orang yang hasil kerjanya bagus dan produktif, lalu karakternya juga bisa diandalin dalam bekerjasama. Kamu pikir kesuksesan rumah tangga itu nggak pakai kiat yang sama?”

Rina terdiam, mencerna kata-kata Nindi. Ia mulai melihat pernikahannya bukan sebagai beban, tapi sebagai sebuah “bisnis” yang perlu dikelola dengan baik.

“Jadi… dia yang nyeleweng, tapi aku yang harus baik-baikin dia??? Ih jijik”

“Ya kalau gitu, kamu nggak siap tempur,” balas Nindi. “Ini bukan soal ego dan gengsi. Ini soal berkepala dingin dan menerapkan strategi dengan efektif.”

Nindi kemudian memberikan perumpamaan tentang rumah besar dan pedagang bakso yang mangkal di depan rumah itu. Rina mulai memahami maksud Nindi. Ia tidak boleh meninggalkan “rumahnya” hanya karena ada “pedagang bakso” yang mengganggu. Sebaliknya, ia harus mempertahankan dan bahkan meningkatkan kualitas “rumahnya”.

***

Malam itu, Rina tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh kata-kata Nindi.
Ia mulai memikirkan dirinya sendiri. Selama ini, ia telah kehilangan jati dirinya.

Ia bukan lagi Rina yang ceria, percaya diri, dan penuh semangat seperti dulu.

Ia telah tenggelam dalam perannya sebagai istri dan ibu, melupakan bahwa ia juga seorang individu dengan mimpi dan keinginannya sendiri.

Keesokan paginya, Rina bangun dengan tekad baru. Ia memutuskan untuk memulai perubahan dari dirinya sendiri.

Pertama-tama, ia mulai dengan penampilannya. Ia mengeluarkan baju-baju lamanya yang sudah lama tidak ia pakai, memilih gaun cantik berwarna biru muda.

Saat bercermin, Rina hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Sudah berapa lama ia tidak merawat diri seperti ini? Ia bahkan lupa kapan terakhir kali ia merasa cantik.

Dengan hati-hati, Rina mengirim pesan pada Denny. “Kira kangen belajar matematika bareng Papa. Bisa pulang sebentar?”

Setelah mengirim pesan itu, jantung Rina berdebar kencang. Bagaimana jika Denny menolak? Bagaimana jika ia lebih memilih bersama Mira? Namun, tak berapa lama, Denny membalas akan pulang sore ini.

Rina menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri menghadapi suaminya. Ia memutuskan untuk memasak soto ayam , makanan kesukaan Denny.

Sambil memasak, Rina teringat kata-kata Nindi tentang strategi pertempuran. Ia tersenyum getir, merasa seperti prajurit yang bersiap menghadapi perang.

***

Sore itu, ketika Denny tiba, Rina menyambutnya dengan senyum hangat seolah tak terjadi apa-apa. Denny terlihat terkejut melihat penampilan Rina.

“Wah, kamu… cantik,” ujar Denny canggung.

Rina tersenyum. “Makasih. Ayo masuk, aku masak soto ayam.”

Malam itu, mereka makan bersama seperti keluarga normal. Rina berusaha keras menjaga suasana tetap ceria, terutama demi anak-anak.

Ia bisa melihat kebingungan di mata Denny, yang mungkin mengira akan disambut dengan kemarahan dan air mata.

Setelah anak-anak tidur, Rina mengajak Denny bicara.

“Denny, aku tahu tentang… dia,” ujar Rina lembut.

Denny terkesiap, wajahnya memucat. “Rina, aku…”

“Ssst,” Rina meletakkan jarinya di bibir Denny. “Aku nggak mau dengar pembelaan atau penyesalan. Aku cuma mau tanya, apa kamu masih sayang sama aku dan anak-anak?”

Denny mengangguk pelan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

“Kalau gitu, ayo kita perbaiki ini semua. Pelan-pelan. Aku nggak minta kamu putus sama dia sekarang. Tapi tolong, jangan tinggalkan kami.”

Denny menatap Rina tak percaya. “Kamu… nggak marah?”

Rina tersenyum getir. “Tentu aku marah, kecewa, sakit hati. Tapi aku sadar, kemarahan nggak akan menyelesaikan masalah. Aku cuma minta satu hal, beri aku kesempatan untuk memperbaiki diriku, untuk membuatmu jatuh cinta lagi padaku.”

Malam itu menjadi titik balik bagi Rina. Setelah Denny tertidur, ia kembali membuka chat dengan Nindi.

“Mbak, aku sudah mulai ‘pertempuran’ku,” tulisnya.

“Bagus,” balas Nindi. “Sekarang, apa rencanamu selanjutnya?”
Rina terdiam sejenak. Apa yang ia inginkan? Selama ini, ia telah kehilangan dirinya dalam peran sebagai istri dan ibu. Ia ingin menemukan kembali jati dirinya.

“Aku mau mengembangkan diriku, Mbak,” tulis Rina akhirnya. “Selama ini aku cuma jadi ibu rumah tangga. Aku mau punya kegiatan sendiri, punya penghasilan sendiri.”

“Bagus sekali,” balas Nindi. “Apa yang ingin kamu lakukan?”

Rina teringat hobinya dulu sebelum menikah. “Aku suka mengatur acara, Mbak. Dulu waktu kuliah, aku sering jadi panitia event kampus. Aku mau coba jadi Event Organizer.”

“Itu ide bagus,” Nindi menyemangati. “Mulailah dari yang kecil. Mungkin bisa mulai dari mengatur pesta ulang tahun anak-anak di lingkunganmu.”
Keesokan harinya, Rina mulai mencari informasi tentang kursus Event Organizer.

Ia juga mulai rajin berolahraga dan merawat diri. Perlahan tapi pasti, Rina merasakan kepercayaan dirinya tumbuh.

Namun, perjalanan Rina tidak selalu mulus. Ada hari-hari di mana ia merasa putus asa, terutama ketika Denny masih sering pergi dan pulang larut malam.

Pada saat-saat seperti itu, Rina harus berjuang melawan keinginannya untuk menyerah.

***

“Mbak,” tulis Rina pada Nindi suatu malam. “Aku capek. Apa ini semua ada gunanya? Denny masih sering pergi.”

“Ingat,” balas Nindi, “ini bukan soal Denny. Ini soal kamu. Kamu melakukan ini untuk dirimu sendiri, bukan untuk dia.”

Kata-kata Nindi menyadarkan Rina. Benar, ia melakukan semua ini bukan hanya untuk mempertahankan pernikahannya, tapi juga untuk menemukan kembali jati dirinya.

Tiga bulan berlalu. Rina kini telah menyelesaikan kursus Event Organizer dan mulai mengambil proyek-proyek kecil.

Ia sering mengunggah foto-foto kegiatannya di media sosial, termasuk momen-momen bahagia bersama keluarga.

***

Suatu malam, Denny pulang dengan wajah kusut. Rina yang baru saja menyelesaikan proyeknya menyambut dengan senyum hangat.

“Ada apa, Den?” tanya Rina lembut.
Denny terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Rina… aku minta maaf. Aku… aku mau putus sama Mira.”

Rina terkejut, namun berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang.

“Kenapa?” tanyanya lembut.

“Dia… menuntut kepastian. Dia mau aku cerai sama kamu,” Denny menunduk. “Tapi aku nggak bisa, Rin. Aku sadar, keluarga ini terlalu berharga untuk kubuang.”

Air mata Rina menetes tanpa bisa ia tahan. Namun kali ini, itu adalah air mata lega dan bahagia.

Selama ini, ia telah berjuang keras untuk memperbaiki dirinya, bukan hanya demi pernikahannya, tapi juga demi dirinya sendiri. Dan kini, usahanya membuahkan hasil.

“Rina,” Denny meraih tangan istrinya. “Aku melihat perubahanmu selama ini. Kamu… jadi lebih bersinar. Aku jatuh cinta lagi padamu, pada sosokmu yang sekarang.”

Rina tersenyum di antara tangisnya. “Terima kasih, Den. Tapi ini bukan tentang kamu. Ini tentang aku yang akhirnya menemukan diriku sendiri.”

Malam itu menjadi awal baru bagi Rina dan Denny. Mereka memulai kembali pernikahan mereka dengan fondasi yang lebih kuat, cinta, pengertian, dan penghargaan terhadap diri masing-masing.

Namun, perjalanan Rina tidak berhenti di situ. Ia terus mengembangkan bisnisnya, mengambil proyek-proyek yang lebih besar.

Kadang, ia masih merasa ragu dan takut. Pada saat-saat seperti itu, ia selalu teringat kata-kata Nindi.

“Mbak,” tulis Rina suatu hari. “Kadang aku masih merasa takut. Bagaimana kalau suatu hari nanti Denny kembali berselingkuh?”

“Rina,” balas Nindi, “kamu sudah bukan lagi wanita yang sama dengan dulu. Kamu sudah menemukan kekuatanmu sendiri. Apapun yang terjadi di masa depan, kamu akan bisa menghadapinya.”

***

Kata-kata Nindi membuat Rina sadar bahwa ia memang telah berubah. Ia bukan lagi Rina yang dulu, yang merasa hidupnya hanya bergantung pada suaminya. Kini, ia adalah Rina yang mandiri, percaya diri, dan memiliki mimpinya sendiri.

Setahun berlalu. Bisnis Event Organizer Rina berkembang pesat. Ia bahkan mendapat tawaran untuk membuka cabang di kota lain. Denny, yang kini lebih menghargai istrinya, mendukung penuh karir Rina.

Suatu malam, saat mereka sedang menikmati makan malam bersama, Kira bertanya, “Ma, Pa, kenapa sekarang kalian kelihatan lebih bahagia?”

Rina dan Denny saling pandang, tersenyum penuh arti.

“Karena Mama dan Papa sudah menemukan cara untuk saling mencintai dengan lebih baik, sayang,” jawab Rina lembut.

Denny mengangguk setuju. “Dan karena Mama kalian adalah wanita yang luar biasa.”

Rina tersipu. Ia menatap keluarganya dengan penuh syukur. Perjalanannya memang tidak mudah. Ada saat-saat di mana ia ingin menyerah, di mana rasa sakit hati dan kecewa hampir mengalahkannya. Namun, ia berhasil bertahan. Lebih dari itu, ia berhasil tumbuh dan berkembang.

Malam itu, sebelum tidur, Rina membuka chatnya dengan Nindi.

“Mbak,” tulisnya. “Terima kasih. Tanpa dukunganmu, aku mungkin sudah menyerah.”

“Kamu yang hebat, Rina,” balas Nindi. “Kamu yang berjuang. Aku hanya mengingatkanmu akan kekuatanmu sendiri.”

Rina tersenyum membaca balasan Nindi. Ia teringat kembali perjalanannya selama setahun terakhir.

Bagaimana ia belajar untuk tidak bergantung pada orang lain untuk kebahagiaannya. Bagaimana ia menemukan kembali passionnya dan mengubahnya menjadi karir yang sukses.

Ia juga teringat saat-saat sulit, ketika ia harus menahan diri untuk tidak marah atau menuduh Denny.

Saat-saat di mana ia harus berpura-pura kuat di depan anak-anaknya, padahal hatinya hancur.

Namun, justru dari saat-saat sulit itulah ia menemukan kekuatan yang tidak pernah ia sadari ada dalam dirinya.

***

Rina mengambil jurnalnya dan mulai menulis:
“Terkadang, kita perlu kehilangan untuk menyadari apa yang kita miliki. Tapi yang lebih penting, kita perlu kehilangan untuk menemukan kekuatan dalam diri kita sendiri. Aku bersyukur atas badai yang telah kulalui, karena badai itulah yang membuatku terbang lebih tinggi, menggapai mentari dalam diriku sendiri.”

“Dulu, aku berpikir bahwa cinta adalah tentang pengorbanan. Tentang mengalah dan menerima. Kini aku tahu, . Tentang menjadi versi terbaik dari diri kita, bukan hanya untuk pasangan kita, tapi terutama untuk diri kita sendiri.”

“Perjalananku masih panjang. Mungkin akan ada badai lain yang menanti di depan. Tapi kini aku tahu, aku memiliki sayap yang kuat untuk terbang menembus badai itu. Karena aku bukan lagi Rina yang lemah dan bergantung. Aku adalah Rina yang kuat, mandiri, dan penuh cinta – terutama cinta pada diriku sendiri.”

Rina menutup jurnalnya dengan senyum puas. Ia menatap Denny yang sudah tertidur di sampingnya. Ada rasa syukur yang membuncah dalam hatinya. Bukan hanya karena pernikahannya berhasil diselamatkan, tapi terutama karena ia telah menemukan dirinya yang sesungguhnya.

Besok adalah hari baru. Rina akan menghadapinya dengan semangat baru.

Karena kini ia tahu, apapun yang terjadi, ia memiliki kekuatan untuk menghadapinya. Metamorfosis hatinya telah lengkap. Dari kepompong kesedihan dan keraguan, ia telah berubah menjadi kupu-kupu yang indah dan bebas.

Dengan pikiran itu, Rina memejamkan matanya, siap menyambut mimpi indah dan hari esok yang lebih cerah.

Tamat

Baca juga: Di Balik Sebuah Kegagalan Masa Lalu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *