Sastra  

Semburat Senja Tak Lagi Bermakna

Senja di balik Awan

Dwi Yulianti
Semburat Senja Tak Lagi Bermakna
Semburat Senja (foto: pexels.com)

“Awan… kita akan menemui nenek, semoga saja kita tidak bertemu dengan orang yang membenci kita,” bisikku pada Awan yang mulai belajar berjalan diiringi semburat senja menyinari, namun tak lagi terasa bermakna menyentuh kulitku.

Celotehan suaranya menandakan dia mengerti jika aku mengajaknya berbicara. Diingatnya lagi peristiwa dua tahun yang lalu. Saat diputuskannya untuk menghilang dari kehidupan yang rumit. Kesalahan yang dilakukannya hanya satu dan itu membuatnya menyesal telah mengenal kata ‘Cinta’.

“Senja, kau tahu aku tak akan bisa melarang siapapun untuk datang dan pergi di kontrakan milik ibuku. Jika hanya karena ibu mengizinkan Yuni mengontrak di sana membuat kita selalu bertengkar, maka untuk apa hubungan ini dilanjutkan?” tanyanya dalam kemarahan.

“Mas Al! semudah itu mas akan mengakhirinya?” kecamku menatapnya tak percaya.

Yuni adalah kekasih Alfasha sebelum menjalin hubungan denganku. Yuni dan Al bak sepasang burung merpati yang tak pernah terpisahkan. Hubungan mereka berdua sangat dekat, hingga Yuni tiba-tiba memutuskan Al tanpa memberikan alasan yang jelas dan pergi meninggalkan kota yang penuh kenangan untuk mereka berdua.

Saat aku mengetahui hubungan mereka putus, aku berusaha menghibur Al. Dengan alasan sebagai sahabat Yuni, aku mulai mendekatinya. Semua kulakukan karena aku memiliki tujuan untuk kepentinganku sendiri. Menjadi kekasih Alfasha seperti mimpiku.

Sebelum aku mengetahui Yuni menyukai Alfasha, aku sering kali memimpikannya menjadi kekasihku. Tapi aku tak akan pernah bisa menggapai mimpiku karena semburat Senja tak lagi bermakna jika cahaya seorang Yuni muncul dan berpendar dengan sangat terang di hadapan Alfasha.

Al akhirnya mengetahui perasaanku, karena itulah akhirnya mimpiku dapat terwujud. Al menyatakan cintanya di saat bersamaan aku berulang tahun. Untuk merayakannya Al mengajakku makan malam di sebuah restoran.

“Aku ingin memberikanmu hadiah, tapi aku lupa membawanya. Maukah nanti mampir sebentar mengambilnya sebelum mengantarmu pulang?” tanyanya sambil menyunggingkan senyum yang tak biasanya.

Aku hanya mengangguk menyetujuinya, toh hanya mampir saja. Batinku berucap. Saat itulah awal dari sebuah kesalahan. Karena satu kesalahan yang kulakukan aku mengalami keterpurukan yang tak henti.

Aku mempercayai Al sepenuh cintaku,  tapi dia mengambil semua yang kumiliki tanpa tersisa. Karena Al, aku harus membawa benih dalam perutku. Aku dipaksa meninggalkannya setelah Yuni memutuskan untuk kembali bersama Alfasha mengulagi kisah mereka yang sempat terputus.

***

Awan menjadi alasanku kembali menghubungi ibu, meminta maaf dan menanyakan kabar ayah. Saat ibu menyampaikan ayah telah pergi dan tak merasakan sakit lagi, butiran bening langsung mengalir dari sudut mataku. “Maafkan aku yang durhaka padamu ayah, aku ingin meminta maaf langsung padamu ayah,” ucap Senja menerawang.

Sekarang, aku tinggal dengan ibu setelah ayah pergi selamanya karena kekecewaan pada Senja, putri satu-satunya. Aku telah meminta maaf pada ayah untuk kesalahan yang kulakukan, namun ayah tidak mampu menanggung beban berat yang kuberikan.

Aku memandangi Awan yang sedang bermain bersama ibu. Senyum dan tawa ibu membuat hatiku menghangat. Sangat tepat rasanya saat aku meminta izin pada ibu untuk menemaninya, minimal saat waktuku telah tiba Awan tetap ada yang mendampinginya.

“Ibu, aku pergi sebentar. Aku akan melakukan wawancara pada toko kue yang kemarin aku datangi. Semoga saja aku diterima bekerja di sana,” ucapku penuh harap.

Ibu mengangguk dan menggendong Awan mendekatiku. “Berhati-hatilah, jangan pernah mempercayai orang lain sebelum kamu mengetahui latar belakangnya,” pesan ibu padaku.

“Iya bu. Aku tidak akan melakukan kesalahan seperti dulu,” ucapku meyakinkannya.

Aku mencium punggung tangan ibu dan bergantian mencium kedua pipi gembul Awan. Celotehannya kembali terdengar karena tahu aku akan pergi. Aku meminta Awan untuk menjaga nenek, walaupun permintaanku lebih bermakna sebaliknya.

Kutinggalkan mereka berdua menuju motor yang sudah terparkir di halaman rumah. Niatnya untuk bekerja sudah bulat. Semoga saja toko kue itu mau menerimaku bekerja. Selain dekat juga karena aku sangat menyukai aroma kuenya.

Aroma yang mengingatkanku pada Yuni, sahabat yang mungkin tak ingin mengenalku lagi. Dia sangat jago membuat kue. Aku yang tak bisa, sedikit demi sedikit diajarkan. “Yuni aku kangen sekali, kamu di mana sekarang?” tanyanya dalam hati.

***

Satu bulan sudah aku bekerja di toko kue. Hari ini pertama kalinya aku akan mendapatkan gaji. Semua tabunganku saat bekerja di perusahaan milik keluarga Yuni habis tak bersisa, itulah salah satu alasan yang membuat aku kembali menghubungi ibu.

“Senja hari ini kamu akan bertemu pemilik toko kue, biasanya mereka baru datang pukul sepuluh,” ucap koki saat aku berkali-kali menatap jam tanganku.

“Iya pak. Aku penasaran saja dengan pemiliknya. Sepertinya aku harus banyak mengucapkan terima kasih karena telah menerimaku bekerja di sini,” ucapnya sambil menatap ke arah jalanan melalui jendela.

“Bantu bapak menata kue yang sudah selesai ke etalase saja. Menunggu terlalu lama bisa membuatmu bosan nanti,” ucapnya menghentikan kegiatanku dan mulai melangkah menuju etalase.

Saat ini sudah pukul sebelas, gajiku ternyata sudah ditransfer oleh pemiliknya. Sepertinya hari ini aku tidak akan bertemu pemilik toko kue dan mengucapkan terima kasih. Aku hanya berdoa semoga mereka berdua selalu diberikan kesuksesan usahanya.

Sudah hampir pukul empat sore, aku mulai merapikan kembali kue yang sudah dibuat koki. Setelah selesai aku akan pulang seperti biasanya. Saat aku memasukkan kue dari loyang terakhir ke dalam etalase, pintu toko dibuka dari luar. Dua orang yang dikenalnya sangat baik masuk dengan bergandengan tangan, seketika dadanya terasa sesak.

“Yuni, Al…?!”

Mereka kini berbincang di meja yang berada di pojok. Jam kerja Senja sudah selesai, itulah yang membuat Yuni meminta suaminya menemani ke toko kue di sore hari. Alfasha, suami Yuni duduk disampingnya dan sesekali melirikku.

“Senja, aku ingin minta maaf atas semua yang dilakukan Alfa padamu. Semua yang telah terjadi diantara kalian sudah diceritakannya,” ucap Yuni memohon padaku.

Kugelengkan kepalaku cepat, bukan Yuni yang seharusnya minta maaf. Aku yang seharusnya meminta maaf. Alasan kepergianmu yang dulu sudah dititipkan padaku, tak pernah kusampaikan pada Al. Semua kulakukan karena aku ingin merebutnya darimu.

“Yuni, aku yang seharusnya meminta maaf padamu,” ucapku pelan. Aku melanjutkan ucapanku yang belum selesai pada Yuni. “Yun, bolehkah aku menitipkan satu-satunya hartaku yang paling berharga kelak?” tanyaku mengiba.

Yuni mengangguk, apapun yang diminta Senja pasti akan dilakukannya. Senja satu-satunya orang yang membuat Yuni mengetahui jika penyakit yang dideritanya bisa disembuhkan. Waktu penyembuhan yang lama memutuskannya meminta berpisah dengan Alfa.

“Senja kamu tidak perlu meminta maaf. Kini aku sudah sembuh semua karena kamu juga kan,” ucap Yuni sambil tersenyum.

“Hanya saja sekarang aku tidak akan bisa membahagiakan Alfa. Maafkan aku ya Al,” lanjutnya sambil menatap sendu pada Alfasha.

“Adanya kamu selalu di sampingku, itu adalah kebahagiaanku Yun, berjanjilah untuk selalu mempercayaiku selamanya,” ucapan Al membuat hatiku tersayat.

Alfasha terlalu mencintai Yuni, walaupun aku mengetahuinya tapi aku seakan menutup mata. Berpura-pura dan bermimpi bisa merubah rasa cinta Al padaku. Ditariknya nafas pelan dan menatap semburat senja dari balik jendela dengan tatap mata kosong dan tak lagi mengharap kehidupan yang bermakna di masa yang akan datang.

***

“Yuni, Awan sudah menganggapmu seperti mamanya. Aku ingin seterusnya Awan memiliki mama sepertimu. Bukan seperti aku yang hanya bisa menyakiti hati orang lain,” ucapku pelan sambil menahan rasa sakit.

Aku pasrah. Sejak Awan lahir, aku didiagnosa dengan kanker rahim. Satu tahun berlalu, penyakitku tidak sembuh, malah semakin membuatku menderita di malam hari. Sepertinya ini adalah karma karena pernah menyakiti sahabat sebaik Yuni.

Sudah hampir satu bulan aku di rawat, meninggalkan Awan pada Yuni dan memintanya agar menganggap Awan adalah putranya. Yuni menyetujuinya karena sampai kapanpun dia tidak akan pernah bisa hamil.

“Senja, berjuanglah. Kamu harus bisa dan kuat. Untuk Awan, putramu dan Alfa,” ucap Yuni menatap Awan yang sedang bermain dengan papanya.

“Tidak Yun, Awan putramu. Maukah kamu menganggapnya seperti putra kandungmu untuk selamanya?” tanyaku dengan suara yang pelan karena menahan rasa sakit yang tiba-tiba terasa menyesakkan dadanya.

“Aku akan selalu menganggapnya putraku, karena putraku hanya satu dan aku tak akan pernah merasakan kesempurnaan memiliki Awan seperti kamu memilikinya Senja,” jawab Yuni sambil tersenyum padaku.

Aku tersenyum bahagia mendengar jawabannya. Kini aku siap melepas semuanya, tanpa ada beban yang menggangguku lagi. Senyumku kini tak akan pernah hilang, semua untuk kebahagiaan kalian. Seiring semburat senja masuk melalui jendela rumah sakit, mataku menutup rapat perlahan dengan napas yang tak lagi teratur, menghentikan semua kehidupan bermakna yang telah selesai digariskan-Nya.

“Senja… Senja…!”

Kini, Yuni akan selalu menjaga Awan, itu janjinya pada Senja. Sampai kapanpun akan ada Senja di balik Awan, selamanya.

Oleh: Oase_biru

 

Baca juga:

Kereta Api yang Amazing

 

 

 

 

 

 

 

Responses (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *