Siapa Berani Merampungkan RUU Perampasan Aset? Mengutip dari detiknews dan hasil diskusi dengan kalangan akademisi, terdapat beberapa poin penting terkait RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (PA-TP) yang menunjukkan urgensi RUU tersebut, antara lain sebagai berikut.
Presiden telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 4 Mei 2023, yang meminta agar DPR memberikan prioritas utama untuk pembahasan RUU tersebut. Namun, hingga selesai masa reses DPR pada tanggal 15 Agustus 2023, DPR sama sekali tidak membahas atau bahkan membacakan Surpres tersebut dalam serangkaian sidang paripurna.
Padahal, RUU PA-TP ini sangat diperlukan sebagai landasan hukum untuk menyelamatkan harta negara yang berada di bawah cengkeraman koruptor. Artikel tersebut juga mengajukan pertanyaan “Siapa Menghalangi RUU Perampasan Aset?”, mengindikasikan adanya upaya-upaya untuk menghalang-halangi pembahasan RUU ini di DPR. Gemes nggak sih?
Baca juga: Teori Gone: Mengungkap Akar Permasalahan Korupsi di Masyarakat
Suara Rakyat adalah Suara Tuhan
Konsep Vox populi, vox dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan) menekankan bahwa aspirasi dan kehendak rakyat seharusnya menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan penyelenggara negara. Contoh dugaan Korupsi tambang timah yang masih hangat diperbincangkan dan timbulkan kerugian negara sebesar Rp271 triliun terhitung tahun 2015-2022. Tuntutan rakyat untuk mengungkap dan menindak tegas para pelaku korupsi tersebut harus dijadikan pedoman, karena hal itu sejalan dengan prinsip keadilan dan moralitas yang diajarkan oleh semua agama.
Penegakan hukum yang adil dan transparan atas dugaan korupsi di sektor pertambangan timah ini menjadi perwujudan dari konsep “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”. Lebih tepatnya, merupakan wujud pertanggungjawaban penyelenggara negara kepada rakyat dan Tuhan. Oleh karena itu, mereka yang berani dan bertanggung jawab untuk merampungkan pembahasan RUU PA-TP dapat dianggap sebagai pahlawan bagi rakyat.
Penegakan Hukum
Kasus korupsi yang merugikan negara tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun, untuk mengatasi tingginya angka korupsi di Indonesia, diperlukan tidak hanya upaya preventif, tetapi juga usaha represif oleh pemerintah. Salah satu upaya represif yang penting adalah memperbaiki pengaturan dan penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Menurut Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H dalam artikel ilmiah Rizqi Nurul Awaliyah dan Rehnalemken Ginting, yang berjudul “Perbandingan Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Perundang-Undangan Indonesia dan China”.
Meningkatnya kejahatan dapat menjadi indikasi bahwa kebijakan penetapan sanksi pidana yang selama ini ditempuh belum tepat. Pemberian pidana sebagai bagian dari penegakan hukum pidana erat kaitannya dengan kebijakan penanggulangan tindak pidana.
Pengaturan ancaman sanksi pidana yang tidak tepat dalam pemberantasan korupsi dianggap menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka tindak pidana korupsi. Terlihat dari tren vonis pada Semester I 2016, di mana 71,6% terdakwa hanya divonis hukuman ringan selama 1-4 tahun, sementara hanya 1,8% yang mendapat vonis berat di atas 10 tahun.
Di China, pemerintah tidak segan-segan memberikan sanksi pidana berat seperti hukuman penjara 20 tahun, seumur hidup, bahkan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari Kampanye Anti Korupsi yang dicanangkan Presiden Xi Jinping.
Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan efektivitas sanksi pidana bagi pelaku korupsi. Hal ini merupakan upaya represif untuk memberikan efek jera dan shock therapy bagi mereka yang berniat melakukan tindak pidana korupsi.
Menurut pendapat saya, upaya ini merupakan bentuk pertanggungjawaban penyelenggara negara kepada rakyat dan Tuhan.
Siapa Berani Merampungkan RUU PA-TP
Mengesahkan RUU PA-TP bukanlah perkara mudah. Padahal, RUU PA-TP sangat diperlukan sebagai landasan hukum untuk menyelamatkan harta negara yang berada dalam cengkeraman koruptor. Artikel detiknews bahkan mengajukan pertanyaan kritis “Siapa Menghalangi RUU Perampasan Aset?”, mengindikasikan adanya upaya untuk menghalangi pembahasan RUU ini.
Dalam situasi seperti saat ini, dibutuhkan keberanian dan tanggung jawab dari para wakil rakyat untuk tetap memperjuangkan kehendak konstituennya. Mereka yang berani melewati arus dan tekanan untuk merampungkan pembahasan RUU PA-TP dapat dianggap sebagai pahlawan bagi rakyat.
Ingat masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, kelaparan, menjerit pun mereka tak mampu, bahkan nyaris tak terdengar!! Masihkah para wakil rakyat ragu untuk merampungkan RUU PA-TP???
Di tengah praktik korupsi yang masih marak, sosok-sosok pahlawan yang berani dan bertanggung jawab untuk merampungkan RUU PA-TP menjadi sangat dibutuhkan. Mereka adalah representasi dari suara rakyat yang harus didengar dan diwujudkan demi keadilan dan kesejahteraan bersama.
Harapan Saya atau mungkin semua yang membaca opini ini. Tahun 2024 para wakil rakyat semakin berani dan memiliki integritas tinggi untuk memperjuangkan amanah konstituen. Hanya dengan demikian, cita-cita “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan” dapat diwujudkan secara nyata dalam setiap kebijakan dan langkah pemerintahan.
Referensi
https://news.detik.com/kolom/d-6918332/siapa-menghalangi-ruu-perampasan-aset
https://majalah.tempo.co/read/opini/170869/nasib-ruu-perampasan-aset
https://www.inews.id/multimedia/infografis/infografis-deretan-hukuman-bagi-koruptor-di-dunia