Sastra  

Triliunan Dosa

Ressy Octaviani
Ilustrasi Koruptor (Source: pinterest)
Ilustrasi Koruptor (Source: pinterest)

TRILIUNAN DOSA – Hartawan menyipitkan mata, memandang layar ponselnya. Senyum tipis bermain di sudut bibirnya. Saldo rekening makin gendut, angka nol berderet rapi bagai pasukan siap menunggu komando atasan.

“Serius, Wan? Ini triliunan? Bukan miliar lagi, kan? Gokil… makin kaya aja kita!”

Pesan dari Bram, sahabat sekaligus partner in crime-nya, menggantung di atas notifikasi lain yang dia anggap tidak penting. Hartawan menyandarkan kepala di kursi empuknya, kaki direntangkan ke atas meja kerja. Dia terkekeh pelan, suara tawanya terdengar seperti dengusan puas.

Ya, mereka berhasil. Laporan keuangan palsu, stempel yang masih basah dengan tinta berwarna ungu pekat, anggaran proyek untuk bangun jalan dan fasilitas umum malah lari ke kantong sendiri.

Jalanan antarkota makin rusak, kecelakaan nyaris tiap hari. Rumah sakit? Alatnya tak memadai. Sekolah? makin tak terurus. Tapi ya… siapa peduli? Yang penting laporan rapi, pejabat terkait dapat bagian rata, semua berjalan aman.

Dengan angkuhnya, Hartawan lirik jam di pergelangan. Rolex keluaran terbaru, harganya bisa untuk biaya hidup ratusan keluarga miskin. Tapi, jam itulah yang membuat dia merasa dunia di tangannya. –Setidaknya, untuk saat ini–.

Malam ini dia pulang dengan langkah ringan. Bukan karena tenang, tapi merasa menang, menipu semua orang, termasuk dirinya sendiri.

***

Tercium aroma masakan semerbak dari dapur rumah mewah tiga lantai, bercat putih kinclong milik Hartawan. Rahma, istrinya, sudah masak makanan mewah. Meja makan penuh: ayam panggang, steak wagyu, sop buntut, dessert mahal yang nama-namanya susah diucap.

“Papaaa pulang!!!” Zidan, anak bontotnya, lari kearahnya.

“Papah tumben pulang cepet.” sapa Rahma sambil senyum.

Nayla, anak sulungnya yang baru masuk SMP unggulan, malah sibuk main HP, mengabadikan momen mewah dinner keluarga mereka.

“Mah, Kakak main HP mulu tuh. Mentang-mentang baru beli,” goda Zidan.

“Ih, bocil! Diam ah. Aku mau upload foto dinner kita dulu tau!” ucap Nayla ketus sambil jepret makanan sana-sini. Tiap hari dia memang rajin pamer gaya hidup mewahnya di dunia maya, biar bisa dilihat orang.

~Kehangatan semu itu mengalir di meja makan.~

Hartawan duduk, mengambil makanan. Matanya menatap anak-anaknya. Kebahagiaan yang dia bangun pakai uang haram.

***

Makan malam dimulai. Semua tampak enak. Sampai Zidan nyeletuk polos.

“Papah, tadi waktu Zidan ngaji, pak ustadznya bilang… kalo makan dari uang haram tuh kayak makan daging busuk. Dosanya gede, masuk neraka.. katanya.”

Sendok di tangan Hartawan mendadak berat.

“Terus katanya lagi…” Zidan belum kelar.

“Orang tua yang ngasih anak-anaknya makan pake uang haram, nanti di akhirat bisa ikut nuntut..”

Rahma langsung nyolek lengan Zidan. “Hussssttt! Lagi makan, jangan omong gitu. Pamali tau.”

“Iya nih bocil, ganggu aja,” kata Nayla.

Tapi Hartawan hanya diam. Suapannya terhenti. Steak wagyu di piringnya seketika benar-benar terlihat seperti bangkai. Dan, ayam panggang itu… menjijikkan.

“Hehe, maaf, Pah. Zidan cuma mau cerita sama pamer ilmu agama yang diajarin tadi.” ucap Zidan sambil nyengir kecil.

Hartawan masih kaku. Tenggorokannya kering. Dia melirik Rahma, cari pembelaan. Tapi Rahma malah bilang, “Makanya adek, kita harus bersyukur. Bisa makan enak dari rezeki halal. Iya kan pah?.”

Kata “HALAL” itu menampar Hartawan lebih keras. Kepalanya semakin berisik.

“dosa besar”
“daging busuk..”

Dan yang paling menyeramkan adalah kata…

“NERAKA”

***

Malam itu, Hartawan tidak bisa tidur. Mata terjaga sampai dini hari. Begitu bisa terpejam, mimpi buruk menjemput.

Ia berada di lorong gelap, sempit, pengap, dan bau busuk menyengat menusuk hidung. Di hadapannya, meja makan besar, penuh makanan. Tapi semuanya busuk, bau amis menyebar, hingga belatung menempel di mana-mana.

Suara misterius terdengar.

“Makan, Hartawan. Ini semua hasil dari uang harammu!”

Tangan-tangan entah dari mana menyuapi potongan daging busuk ke mulutnya. Ia berontak, tapi tangan itu terlalu kuat. Dia ingin muntah, tapi rasanya tidak bisa keluar. Bau busuknya semakin menyengat.

Lalu, pemandangan berubah.

Dia berdiri di jalan rusak, tampak motor melaju kencang, seorang ibu dan anak kecil menabrak lubang, mereka terpental ke aspal. Darah berceceran di mana-mana.

Si ibu memandang Hartawan, matanya penuh amarah.

“Ini semua salahmu!.”

Hartawan terbangun. Napas ngos-ngosan. Keringat dingin membasahi piyamanya. Adzan Subuh berkumandang. Ia sadar itu bukan mimpi biasa. Itu peringatan.

***

Besoknya di kantor, Hartawan menghampiri Azam. Anak buah yang paling dia hindari, karena satu-satunya orang jujur di kantor.

“Pak, Bapak kok pucat? Sakit?” tanya Azam.

Hartawan duduk, mengakui semuanya. Suaranya lirih, “Zam… menurut kamu, orang kayak saya apa masih bisa diampuni?”

Azam menarik napas, masih terkejut dengan pengakuan Hartawan. “Kalo Bapak mau tobat, Insya Allah bisa. Tapi nggak cukup hanya menyesal saja Pak…”

Hartawan diam, wajahnya kacau. Tapi sorot matanya beda, terlihat tulus, meski takut.

Baca juga: Vonis Ringan Koruptor Timah 300T

***

Malam itu, Hartawan pergi ke masjid dekat rumah. Bertemu ustadz, curhat habis-habisan. Tentang uang haram, tentang laporan palsu, tentang semua dosa yang dia bungkus rapi.

Ustadz bilang, “Kalo Bapak beneran mau tobat, Bapak harus balikin apa yang Bapak ambil. Jangan cuma minta ampun sama Allah, tapi juga sama manusia yang dirugikan.”

Hartawan tertegun.

“Berarti… saya harus nyerahin diri, tadz?”

Ustadz mengangguk pelan

***

Besok paginya, Hartawan datang ke gedung KPK. Semua dokumen dibawa, bukti dosa yang dulu dia simpan rapat-rapat.

Dia tau, hukuman menunggu. Tapi sekarang, dia tidak peduli. Tanpa paksaan dia melangkah masuk.

Di depan wartawan dan orang-orang, dia bilang:
“Saya Hartawan. Saya akui semua kesalahan saya. Saya minta maaf. Dan saya siap dihukum.”

Rahma menangis di rumah. Zidan dan Nayla diam, masih bingung dengan situasi tersebut. Tapi mereka tau : ayahnya melakukan sesuatu yang benar.

***

Hari itu juga, Hartawan resmi jadi tahanan. Dari kasur empuk, sekarang cuma tidur dengan kasur santai tipis. Tidak ada wagyu, hanya nasi dan tempe. Tapi hatinya enteng. Bebas. Tenang.

Akhirnya, dia bisa tidur tanpa dihantui mimpi neraka.

Karena triliunan rupiah tidak akan bisa menebus triliunan dosa. Tapi penyesalan tulus… bisa jadi awal baru.

***

Berita tentang Hartawan viral se-Indonesia. Satu-satu pejabat lain menyerahkan diri. Ratusan triliun rupiah kembali ke negara. Proyek mangkrak lanjut lagi. Rumah sakit, sekolah, jalan, semua mulai diperbaiki.

***

Beberapa bulan kemudian…

Seorang anak pulang sekolah, “Bu, sekolah kita udah rapi. Udah ada komputer. Atapnya nggak bocor lagi!”

Pemuda yang lama menganggur mulai kerja di pabrik BUMN baru bekas proyek mangkrak. Nenek-nenek sembuh di rumah sakit yang sudah bagus.

Jalanan? Jadi mulus. Tidak ada lagi korban mati konyol.”

Negeri ini belum sempurna. Tapi setidaknya, harapan kembali hidup.

Karena keadilan, akhirnya pulang ke tempatnya sendiri.

***

Korupsi itu bukan cuma banyak angka nol di rekening. Karenanya anak putus sekolah. Korupsi itu bikin orang mati sia-sia. Korupsi itu nyuri nyawa pelan-pelan. Tapi seperti dosa lainnya, korupsi masih bisa ditebus. Bukan cuma pakai kata-kata. Tapi dengan keberanian untuk berubah.

~ Tamat ~

Referensi:

https://www.kpk.go.id/id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *