Tim Koordinasi Pemberian Izin Peneliti Asing (TKPIPA) memiliki peran dalam kebijakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) terutama kerjasama riset internasional.
Kerjasama internasional merupakan salah satu kelemahan mitra dari lembaga riset dan perguruan tinggi di Indonesia. Kelemahan tersebut umumnya karena mereka berfikir bahwa peneliti asing telah mendanai kerjasama riset serta memiliki peralatan riset yang super lengkap dan canggih.
Lemahnya posisi tawar membuat mitra kurang dalam memberi inisiasi usulan proposal, bahkan hingga inisiasi untuk memperjuangkan klausul Hak Kekayaan Intelektual (HKI) beserta hak-hak lainnya dalam pembahasan perjanjian kerjasama.
TKPIPA Sebuah Wadah Koordinasi Ideal dan Proporsional

Nama TKPIPA memang belum banyak dikenal orang. Pembentukan Tim Koordinasi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2006. Sayangnya TKPIPA hanya di kenal oleh mereka yang pernah atau sedang menjalin kerjasama riset dengan peneliti asing.
Cukup lama saya mengenal TKPIPA, kurang lebih sejak tahun 2008. Berikut adalah opini saya!
Bagi saya, tim tersebut sangat ideal, terdiri dari berbagai Kementerian dan Lembaga terkait. Mulai dari Kementerian Sekretaris Negara, Kementerian Luar Negrei, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negri, POLRI, BAIS-TNI, BIN, Kementerian Pertahanan, KKP, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agama, Kementerian ESDM, KLHK, BPPT, LIPI, LAPAN, LBM Ejkman, BIG dan BATAN.
Dalam satu tim ada yang menilai substansi, ada pula tim yang bertugas mencermati dari sisi keamanan.
TKPIPA Adalah Tempat Belajar
Selama mengikuti sidang rutin TKPIPA, banyak hal yang dapat saya pelajari. Dengan tim yang begitu lengkap, aplikasi berupa dokumen riset mulai dari: dokumen pribadi (paspor, foto, jaminan keuangan), proposal, perjanjian kerjasama riset, dll , boleh dikatakan pada awalnya kurang memenuhi syarat sehingga dapat diperbaiki menjadi lebih layak.
Contohnya begini, ada kerjasama riset dari salah satu universitas ternama di Inggris dan universitas dari Kalimantan Tengah. Kedua belah pihak (universitas) telah menentukan tema riset dan lokasi risetnya.
Sayangnya, aplikasi penelitian belum lengkap sesuai standar pada umumnya, demikian juga dengan perjanjian kerjasama dan proposal. Belum lagi pakar atau peneliti yang memiliki kepakaran bidang tersebut kebanyakan berada di universitas yang berada di pulau Jawa.
Akhirnya peneliti asing dan mitranya diberi kesempatan untuk memberikan klarifikasi dalam presentasi pada sidang TKPIPA.
Sidang TKPIPA bukanlah wadah untuk menghakimi dan mencari-cari kesalahan peneliti. Lebih tepatnya, memperkuat posisi tawar dan memperbaiki kekurangan dalam proposal penelitian atau perjanjian kerjasama. Hal tersebut dilakukan agar mitra dari lembaga riset, perguruan tinggi di Indonesia beserta peneliti asing, sama-sama memperoleh keuntungan yang seimbang.
TKPIPA Menjunjung Keadilan
TKPIPA selalu mendorong agar mitra dari lembaga riset dan perguruan tinggi di Indonesia dapat berkontribusi baik di lapangan. Atau pada saat menulis laporan hasil penelitian. Harapannya setelah penelitian selesai, mereka dapat menjadi penulis dalam setiap capaian publikasi yang dihasilkan dari kerjasama riset.
Mengingat banyaknya mahasiswa/mahasiswi asing yang memperoleh bimbingan dari mitra kerjanya yaitu para peneliti dari lembaga riset dan perguruan tinggi di Indonesia, TKPIPA tak segan untuk memperjuangkan mitra kerja mereka menjadi Co-Supervisor bagi mahasiswa/mahasiswi asing tersebut.
Alasannya adalah, peneliti Indonesia memiliki kepakaran yang tak kalah dengan peneliti asing, data yang di peroleh mahasiswa/mahasiswi di lapangan berasal dari negara kita, serta analisis pun dilakukan bersama di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa mitra kerja (peneliti Indonesia) mereka lebih banyak memahami penelitian tersebut.
Siapa yang menyangka, beberapa peneliti Indonesia telah berhasil menjadi Co-Supervisor para peneliti asing tersebut. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk memperoleh kepercayaan tersebut, sebab dalam memperjuangkan agar peneliti Indonesia dapat menjadi Co-Supervisor membutuhkan dukungan para pihak.
Dalam sidang TKPIPA, bukan hanya para peneliti mitra dari lembaga riset dan perguruan tinggi di Indonesia yang memperoleh dukungan kuat. TKPIPA pun memperjuangkan agar peneliti asing memperoleh transfer ilmu pengetahuan (transfer knowledge) dan pengalaman dari para peneliti Indonesia yang kompeten di bidangnya.
Pernah hati kecil saya berkata, apa jadinya jika perizinan tanpa TKPIPA? TKPIPA membantu memberikan win-win solution dalam memecahkan permasalahan nasional/internasional, terutama dalam kerjasama riset.
TKPIPA Pro Kemajuan dan Keamanan Negara
Pada tanggal 30 April 2019 Sub Direktorat pada Direktorat Pengelolaan Kekayaan Intelektual, Kemenristek Dikti sekarang menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan Workshop Nasional. workshop tersebut melibatkan peserta dari berbagai kementerian, lembaga serta perguruan tinggi baik negeri ataupun swasta. Pada akhir acara tersebut berhasil ditarik kesimpulan mengenai permasalahan yang ada serta memberikan solusi untuk kerjasama riset Internasional ke depan.
Ternyata, belum semua institusi/perguruan tinggi di Indonesia memiliki sistem manajemen kerjasama riset yang menjamin keberlanjutan dan mencapai mutual benefit yang seimbang.
Ditambah kapasitas advokasi dalam membangun kerjasama riset yang belum tentu dimiliki oleh semua institusi/perguruan tinggi. TKPIPA berharap keanggotaan Indonesia di G20, mewajibkan institusional/peneliti Indonesia lebih kreatif dalam menarik investasi finansial/kapital riset kerjasama dengan mitra kerja asing.
Satu publikasi Chuen-Yen Lau yang berjudul International Collaborative Research Partnerships: Blending Science with Management and Diplomacy, mengatakan bahwa kerjasama riset tidak ada bedanya dengan kerjasama bidang ekonomi. Sehingga jika kita berpartner dalam riset sama halnya seperti berpartner dalam bisnis. Kenapa demikian? Karena sudah ada aturan dan sistemnya.
Saya bukan hanya menulis terkait keuntungan untuk Indonesia saja. Selain itu saya tidak sependapat jika ada yang mengatakan bahwa negara kita anti sains. TKPIPA sangat peduli dengan prinsip kehati-hatian. Saya rasa pemerintah di setiap negara mana pun akan melindungi keamanan negaranya.
Saya sangat sepakat bila negara ingin maju maka harus mendukung kebijakan IPTEK dan membuka kerjasama riset internasional dengan negara mana pun seluas-luasnya, namun bukan berarti kebebasan riset dapat dilakukan jika riset tersebut justru dapat menjadi ancaman atau merugikan negara.
Belajar Saling Memahami dan Menghargai Kedaulatan Negara
Mengapa izin riset mengutamakan prinsip kehati-hatian? Analoginya sangat sederhana, perhatikan mengapa perangkat keamanan seperti satpam atau alat deteksi keamanan ketika kita hendak masuk mall, bandara, stasiun, terminal dan tempat rekreasi. Titik-titik tersebut bersinggungan dengan mobilitas manusia dan ditempatkan di garda depan?
Yang perlu kita ingat, setiap negara di seluruh dunia memiliki kedaulatan hukum yang berbeda-beda untuk keamanan negaranya. Negara kita sudah jelas berbeda dengan negara lain, mulai dari iklim, budaya, suku, agama, SDM dan dan lain sebagainya.
Mungkin kita menganggap bahwa di negara maju izin riset tidak serumit di Indonesia, namun banyak yang tidak mengetahui jika penyaringan keamanan di negara maju telah dilakukan bersamaan dengan pemberian visa.
Visa adalah tanda bukti ‘boleh berkunjung’ yang diberikan pada penduduk suatu negara jika memasuki wilayah negara lain yang mempersyaratkan adanya izin masuk. Contohnya visa Negara Amerika.
Menurut saya keberadaan Tim Koordinasi Pemberian Izin Peneliti Asing adalah hal yang harus kita dukung. Karena dengan keberadaan mereka, posisi tawar mitra kerja dari indonesia menjadi lebih kuat. Negara aman riset pun semakin maju. Bravo TKPIPA!
Baca juga:
Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan Implementasi Demokratisasi
Langkah-langkah Pendaftaran Merek untuk Usaha
Kerjasama Riset Internasional vs Paten Komersil
Kesetaraan Dalam Kolaborasi Riset Adalah Harga Mati