Keterbukaan Informasi Publik dan Implementasi Demokratisasi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dimotori Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1946 menjamin pemenuhan hak-hak fundamental bagi masyarakat dunia, diantaranya hak atas informasi (rights to know). Hak atas informasi ini kemudian dinyatakan kembali dalam kesepakatan internasional (kovenan internasional) tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966, yang kemudian disebut sebagai Kovenan Sipol, dimana Indonesia sudah meratifikasinya melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Pada pasal 19 Kovenan Sipol menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya sesuai dengan pilihannya.
***
Kebebasan dalam konteks ini dapat diartikan sebagai posisi sikap pandangan individu yang tidak bisa diintervensi atau dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar individu yang bersangkutan. Tentu saja sekalipun kekuatan itu datang dari penguasa (pemerintah), pada dasarnya tidak boleh membatasi kebebasan warga negaranya atas hak ini. Oleh karenanya dinyatakan sebagai hak fundamental.
Sementara Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang efektif berlaku pada 1 Mei 2010 nampaknya lebih menekankan jaminan negara pada hak publik untuk memperoleh informasi yang bersumber dari lembaga publik.
Alasan paling mendasar kenapa lembaga publik wajib membuka informasi kepada publik, dikarenakan publik atau masyarakat adalah yang membiayai melalui kontribusi pajak dan sekaligus dalam kedudukan sebagai pemilik kedaulatan atas lembaga publik.
Tidak Mencederai Kepentingan Negara
Kendati demikian kekuasaan publik terhadap informasi sesungguhnya tidak boleh mencederai kepentingan negara, apalagi berpotensi mengancam keselamatan negara. Terlebih lagi dalam keadaan darurat. Karena itu negara dapat menerapkan pembatasan-pembatasan yang diatur menurut hukum. Namun hanya pada batas kebutuhan situasi tertentu dan hanya ketika hal tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional. Misalnya, pembatasan yang didasarkan pada diskriminasi dalam bentuk apapun tentu saja tidak diperbolehkan.
Dengan demikian maka hak untuk menyampaikan informasi atau memperoleh informasi bukan lagi hak monopoli warga negara Indonesia tetapi menjadi hak semua orang. Namun bila kita mencermati UU No 14 Tahun 2010 terdapat perbedaan antara orang yang berhak memperoleh dan menggunakan informasi dengan orang yang berhak mengajukan permohonan informasi.
***
Pengguna informasi adalah orang. Artinya tidak ada pembatasan kewarganegaraan. Sebab tidak ada penjelasan yang meyakinkan tentang definisi orang yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Tetapi Pemohon Informasi nampaknya harus berkewarganegaraan Indonesia, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 angka 12.
Pengaturan demikian mungkin akan menimbulkan persoalan tersendiri, terutama menyangkut informasi yang pada akhirnya mudah keluar dari Negara ini melalui saluran tidak resmi, yang dialihkan oleh tangan-tangan Warga Negara Indonesia sendiri secara mudah kepada warga negara asing atau badan hukum asing dengan cara-cara tertentu. Khususnya menyangkut informasi yang menurut sifatnya patut dirahasiakan untuk melindungi kepentingan Negara atau dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak kekayaan intelektual.
***
Pertanyaan yang menarik adalah sejauh manakah masyarakat membutuhkan sistem keterbukaan informasi ini, yang seringkali dikaitkan dengan isu demokratisasi. Maka sejauh manakah pula masyarakat membutuhkan sistem demokrasi dalam kehidupan politiknya. Sesungguhnya antara keterbukaan informasi dan demokratisasi merupakan dua sisi mata uang. Satu sama lain saling berkorelasi.
Prosesnya masih berlangsung alot, tidak serta merta dapat diterapkan dalam semua aspek kehidupan. Misalnya dalam kehidupan keagamaan, di mana faktanya masih seringkai terjadi disharmonisasi antar umat lintas keagamaan. Sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa proses demokratisasi itu sendiri di negeri ini masih menemui jalan berliku serta naik turun dalam jarak yang begitu panjang.
Demikian pula halnya dengan penerapan sistem keterbukaan informasi, pada kenyataannya tidak boleh mendahului perubahan tatanan dalam masyarakat yang sesungguhnya masih membutuhkan proses secara natural. Tidak boleh dipaksakan, melainkan sesuai kebutuhan yang selektif.
***
Sebagian orang mungkin akan menganggap pandangan ini sebagai upaya kristalisasi dari pandangan sempit suatu faham kebangsaan. Padahal tidak demikian sesungguhnya. Pertanyaannya adalah apakah bangsa ini tidak boleh membangun strategi yang menguntungkan bagi masa depannya.
Padahal sistem keterbukaan informasi jika tidak dilandasi faham demokrasi yang utuh mustahil bisa terbangun secara kondusif. Dan mustahil pula penerapan suatu sistem tertentu dalam kehidupan masyarakat adalah bertujuan untuk menghancurkan tatanan yang telah hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Sementara sepanjang sejarah peradaban manusia informasi merupakan aspek penting dalam pembangunan peradaban manusia itu sendiri. Kendati Indonesia adalah negara pertama di Asia Tenggara yang mendeklarasikan kepatuhan pada Kovenan Sipol hingga memastikannya melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Sistem Keterbukaan Informasi Publik.
Namun dalam perkembangannya mengalami ketertinggalan jauh oleh Singapore yang menurut Global Open Data Index 2018 menempati posisi ke 17 dari 94 negara. Sementara Indonesia menempat posisi ke 61 di bawah Thailand dan Filipina yang masing-masing berada di posisi 51 dan 53.
Baca juga:
Kebijakan Bebas Visa Kunjungan Berbasis Prinsip Kemanan Negara
Kesiapan Belum Memadai
Benarkah kita sudah siap? Konon kabarnya keterbukaan informasi publik, yang nota bene embrionya berasal dari luar, jika tidak dikawal secara ketat, ia akan menjadi bumerang bagi bangsa ini. Indonesia memang selalu berusaha menjadi ‘the nice boy’. Selalu patuh pada kemauan internasional. Sementara beberapa negara lain masih menjadi ”anak nakal” yang smart.
Bahkan Amerika Serikat sebagai pionir demokrasi dalam praktiknya tidak mengumbar informasi ke publik secara buka-bukaan. Menurut informasi hanya 80% yang dibuka ke publik, selebihnya ditutup untuk kepentingan supremasi Amerika di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kendati pun UU KIP mengatur tentang pengelompokan informasi yang dapat dibuka kepada publik dan pengecualiannya, namun sejak disahkannya Undang-Undang ini, tidak nampak adanya upaya memadai terhadap pengelolaan sistem dokumentasi secara baik di lingkungan lembaga publik, terutama di lembaga-lembaga penelitian.
***
Sebetulnya waktu yang tersedia sudah cukup panjang sejak UU KIP diberlakukan tanggal 1 Mei 2010 bagi lembaga-lembaga publik untuk merancang dan membenahi sistem pendokumentasian yang dapat menunjang pengelompokan informasi publik sebagaimana diatur Undang-Undang.
Pengelompokan tersebut meliputi a) Informasi yang wajib diumumkan secara berkala; b) Informasi yang wajib diumumkan secara serta merta; dan c) Informasi yang wajib tersedia setiap saat. Namun tentu saja sangat diperlukan penyeragaman pengelompokan antar institusi.
Dikecualikan dari pengelompokan itu adalah informasi yang dapat menghambat penegakan hukum, melanggar hak kekayaan intelektual, merugikan persaingan usaha, membahayakan pertahanan dan keamanan negara, mengungkap kekayaan alam Indonesia, merugikan ketahanan ekonomi nasional, merugikan kepentingan hubungan luar negeri, mengungkap isi akta otentik pribadi, dan mengungkap rahasia pribadi, memorandum, atau surat-surat antar badan publik atau intra badan publik yang secara alamiah dirahasiakan, kecuali berdasarkan putusan Komisi Informasi atau Pengadilan, serta informasi yang dilarang diungkapkan oleh Undang-Undang.
***
Konsekuensi dari suatu lembaga publik adalah menerima klaim publik terhadap segala informasi yang ada pada lembaga ini dan bisa diakses secara mudah. Mudah dalam arti tidak banyak persyaratan yang dibebankan kepada masyarakat untuk memperoleh informasi tersebut.
Sampai sejauh ini belum ada uji publik terhadap penerapan sistem yang baik terkait implementasi keterbukaan informasi publik. Parameter apa yang digunakan dari sudut kebutuhan publik. Sementara yang terjadi dewasa ini di dalam masyarakat sendiri sedang mengalami polarisasi berbagai dimensi hingga mengacak-acak standar kebutuhan akan informasi publik itu sendiri.
Kalau boleh dikatakan sebagai dinamika, maka Negara tidak boleh menyerah dalam menghadapi dinamika masyarakat yang demikian. Baragkali itulah tantangan di alam demokrasi yang baru tumbuh selama lebih kurang 30 tahun ini.
Responses (2)