HKI, News  

Pentingnya Pelindungan Pengetahuan Tradisional Indonesia dalam HKI

Oleh: Jeremia Toga Parulian Gultom (Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)

Jeremia T.P. Gultom
Jeremia Toga Parulian Gultom (Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)
Jeremia Toga Parulian Gultom (Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)

Pentingnya Pelindungan Pengetahuan Tradisional Indonesia dalam HKI – Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati dan budaya tradisional terbesar di dunia. Dari jamu, tenun ikat, ramuan herbal, hingga kearifan lokal dalam bertani seperti sistem Subak di Bali, semuanya merupakan bagian dari pengetahuan tradisional yang diwariskan turun-temurun. Sayangnya, sebagian besar pengetahuan ini belum dilindungi secara maksimal melalui sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI), sehingga rentan terhadap eksploitasi, pencurian, dan komersialisasi oleh pihak asing tanpa kompensasi yang adil kepada masyarakat adat sebagai pemilik sahnya.

Baca juga: Mengapa Pencatatan Hak Cipta Penting?

Kasus Biopirasi Pengetahuan Tradisional Indonesia

Kasus biopirasi di Indonesia bukan hal baru. Salah satu yang paling mencolok adalah kasus pasak bumi (Eurycoma longifolia), tanaman herbal asli Kalimantan yang selama ratusan tahun digunakan masyarakat adat untuk pengobatan. Tumbuhan ini pernah didaftarkan patennya oleh perusahaan asing di luar negeri, tanpa persetujuan ataupun pembagian keuntungan kepada komunitas lokal. Fakta ini menunjukkan lemahnya pelindungan hukum terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional di Indonesia.

Kejadian serupa terjadi pada temulawak dan kunyit, yang juga sempat dipatenkan oleh ilmuwan Amerika Serikat pada tahun 1995, sebelum akhirnya dicabut setelah pemerintah India mengajukan keberatan karena tanaman itu telah digunakan secara tradisional selama berabad-abad. Kasus ini menjadi preseden penting dalam pelindungan pengetahuan tradisional di dunia (https://www.kehati.or.id/pentingnya-melindungi-pengetahuan-tradisional/).

Regulasi Lemah, Ancaman Nyata

Pelindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional di Indonesia baru diatur secara terbatas dalam beberapa undang-undang seperti UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, serta disebutkan dalam UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten. Namun sayangnya, pelaksanaan di lapangan masih jauh dari ideal. Salah satu tantangan utama adalah minimnya dokumentasi dan pendaftaran kekayaan intelektual komunal milik masyarakat adat.

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) pernah mengungkap bahwa banyak komunitas adat yang bahkan tidak mengetahui bahwa pengetahuan mereka dapat dan seharusnya dilindungi oleh hukum (https://jurnal.upb.ac.id/index.php/jumpa_bhakti/article/download/524/458).

Akibatnya, banyak pihak asing yang lebih cepat mendaftarkan paten atas pengetahuan tradisional ini, yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian besar bagi Indonesia, baik secara ekonomi maupun moral.

Contoh Traditional Knowledge Digital Library (India)

India menjadi negara yang patut dicontoh melalui inisiatif mereka mendirikan Traditional Knowledge Digital Library (TKDL) sejak 2001. TKDL telah mendokumentasikan lebih dari 250.000 formulasi pengobatan tradisional dalam bahasa yang dipahami oleh pemeriksa paten internasional. Hasilnya, ratusan permohonan paten dari negara lain berhasil digagalkan karena dianggap melanggar prinsip-prinsip pengetahuan tradisional India (https://en.wikipedia.org/wiki/Traditional_Knowledge_Digital_Library).

Inisiatif ini menjadi bentuk pelindungan efektif yang mencegah biopirasi dan menegaskan hak komunitas adat terhadap pengetahuan mereka sendiri. Sayangnya, Indonesia belum memiliki sistem digitalisasi serupa yang berskala nasional dan terintegrasi lintas lembaga.

Peran Negara dalam Pelindungan HKI Komunal

Peran negara sangat penting dalam melindungi Pengetahuan Tradisional. Selain penguatan regulasi, perlu adanya pendokumentasian massal, sosialisasi hukum kepada masyarakat adat, serta sistem pembagian manfaat (benefit sharing) yang adil apabila pengetahuan tradisional dimanfaatkan untuk tujuan komersial oleh pihak ketiga.

Program ini harus dilakukan dengan prinsip partisipatif dan inklusif, memastikan masyarakat adat mendapatkan haknya, baik dalam bentuk kompensasi, royalti, maupun dukungan pembangunan lokal.

Selain itu, Indonesia juga perlu mempercepat realisasi Basis Data Kekayaan Intelektual Komunal, sebagaimana amanat Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 13 Tahun 2021, agar bisa menjadi rujukan internasional dan mencegah klaim sepihak dari luar negeri (https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/175728/permenkumham-no-13-tahun-2021).

Tantangan Utama Pelindungan

Tantangan utama pelindungan pengetahuan tradisional di Indonesia meliputi: (1) Kurangnya kesadaran hukum masyarakat adat. (2) Belum tersedianya database nasional yang kredibel dan terintegrasi. (3) Ketiadaan tenaga hukum dan teknis di daerah untuk pendampingan. (4) Belum optimalnya kerja sama antara DJKI, BRIN, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Solusinya dengan langkah-langkah strategis, mulai dari digitalisasi pengetahuan tradisional, pembuatan sistem klasifikasi, pelatihan hukum bagi masyarakat adat, hingga pembentukan satuan tugas khusus anti-biopirasi.

Pelindungan dalam hal ini bukan hanya soal ekonomi atau hukum, melainkan soal identitas bangsa. Tanpa pelindungan yang kuat, kekayaan tradisional Indonesia akan terus dirampas dan dikomersialisasi oleh pihak asing. Sudah saatnya negara hadir dengan kekuatan hukum yang tegas, teknologi yang mendukung, dan pendekatan kultural yang menghargai masyarakat adat.

Sebagaimana India telah memulai, Indonesia juga bisa. Yang dibutuhkan hanyalah komitmen bersama: dari negara, akademisi, komunitas adat, hingga masyarakat luas. https://wipo.int/meetings/en/2011/wipo_tkdl_del_11/about_tkdl.html

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *