Lahirnya Hymne Insan IPTEK

Oleh: Yetti Rochadiningsih (Analis Kebijakan Ahli Muda)

admin
Lahirnya Hymne Insan IPTEK (BJ Habibie | Foto: google)
Lahirnya Hymne Insan IPTEK (BJ Habibie | Foto: google)

Lahirnya Hymne Insan IPTEK – Di balik hiruk-pikuk perkembangan teknologi Indonesia, tersimpan sebuah melodi yang hampir terlupakan. Hymne Insan IPTEK, sebuah karya yang lahir dari tangan seorang birokrat bernama Medy Parli Sargo pada tahun 2010, menjadi simbol cita-cita luhur bangsa dalam bidang riset dan teknologi. Ironisnya, meski telah diresmikan melalui Surat Keputusan Menteri, hymne ini bagaikan permata yang tersembunyi gaungnya hanya bergema di ruang-ruang seminar terbatas, jauh dari telinga masyarakat luas.

Suatu hari, di sebuah acara diskusi tentang Hak Kekayaan Intelektual di Jakarta, Medy Sargo akhirnya membuka tabir misteri di balik kelahiran hymne tersebut. Dengan mata berbinar, dia menjelaskan bagaimana perjalanan kariernya sebagai birokrat di Kementerian Riset dan Teknologi yang setiap hari berinteraksi dengan para peneliti dan akademisi menginspirasinya untuk menciptakan sebuah lagu yang mampu menyatukan semangat para insan teknologi Indonesia.

Baca juga: Industri Musik: Tantangan UU Hak Cipta di Era Digital

B.J. Habibie Mengilhami

Sejauh pengamatan dalam perjalanan karirnya itu banyak dijumpai karya-karya intelektual yang dihasilkan para peneliti dengan spirit patriotisme. Menurut Medy Sargo banyak peneliti yang bekerja dan berkarya dalam rangka pengabdiannya kepada negara. Meskipun dalam keterbatasan sarana dan fasilitas, mereka tetap bekerja dengan sepenuh hati sebagai pertanggungjawaban mereka kepada publik.

Namun dia menyayangkan satu hal yang belum tumbuh dalam dunia iptek Indonesia, sehingga dirinya merasa perlu mengekspresikannya lewat sebuah lagu hymne, yakni menyangkut pengakuan dan penghargaan yang layak dari Negara kepada para peneliti yang berprestasi. Akhirnya merasa terpanggil untuk menciptakan lagu hymne dan berharap lagu itu digunakan dalam setiap even kegiatan yang berkaitan dengan acara gelaran prestasi para pegiat iptek secara umum. Misalnya ketika acara pengukuhan atau penobatan gelaran kepangkatan maupun pada acara pelepasan purna tugas di dunia iptek dan lain sebagainya.

Ekpresi pengakuan dan penghargaan itu dituangkannya dalam lagu hymne dengan lirik yang teruntai sebagai berikut:

Insan Iptek Indonesia berjaya/

Kau abdikan ilmu pada Nusa Bangsa/

Jasamu abadi ‘tuk selamanya/

Engkau wujudkan harapan Bangsamu/

***

Insan iptek yang berakhlaq mulia/

Kiprahmu mengilhami seluruh Negeri/

Inovasimu sumbangsihmu pada Negerimu hingga sejahtera/

Reff.

Wahai insan iptek yang mulia/

Kan kukenang ‘tuk slama-lamanya/

Di antara gempita iptek dunia/

Kau hadir mengharumkan bangsa/

***

Insan Iptek Indonesia berjaya/

Kau abdikan ilmu pada nusa bangsa/

Jasamu abadi ‘tuk selamanya/

Engkau wujudkan harapan Bangsamu/

Engkau wujudkan harapan Bangsamu.

Menurut pengakuannya sesungguhnya ada figur yang begitu mempengaruhi sikap dirinya sehingga begitu respek terhadap setiap orang yang memiliki pengabdian besar kepada negara melalui kiprahnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Figur itu adalah Profesor B.J. Habibie Presiden ketiga yang juga sebelumnya pernah menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi serta dikenal sekarang sebagai Bapak Teknologi Indonesia. Medy Sargo percaya kalau figur Prof, B.J. Habibie jugalah yang mengilhami kiprah para generasi muda Indonesia di bidang iptek dalam beberapa dekade ini.

Bentuk Pengakuan dan Penghargaan

Lebih lanjut Medy Sargo menjelaskan bahwa bentuk pengakuan dan penghargaan yang dimaksudkan di sini bukan hanya berupa kenaikan pangkat reguler dalam jabatan fungsional Peneliti seperti yang selama ini telah berjalan, melainkan berupa royalti (imbalan bagi hasil) sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan bersifat insidentil yang didasarkan pada prestasi berbasis Kekayaan Intelektual (KI). Misalnya ketika seorang peneliti menghasilkan invensi (penemuan di bidang teknologi) yang dipatenkan, kemudian paten tersebut diimplementasikan dalam kegiatan inovasi pada skala industri, maka kepadanya sebagai seorang Penemu (inventor) dimungkinkan untuk diberikan royalti sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan yang sepadan dengan manfaat ekonomi yang diterima oleh pengguna patennya itu.

Dalam banyak kasus di Indonesia, paten yang dihasilkan dari hubungan kerja antara inventor dengan pemberi kerja maka pada umumnya kepemilikan atas paten tersebut diklaim oleh Pemberi Kerja, kecuali diperjanjikan lain. Sehingga dengan begitu manfaat ekonominya pun sepenuhnya dimiliki Pemberi Kerja. Padahal inventornya jelas-jelas berkontribusi besar dalam proses kelahiran paten dimaksud. Namun pemberi kerja seringkali beranggapan bahwa  inventornya sudah cukup menerima upah rutin sebagaimana halnya pegawai lain yang sekalipun tidak menghasilksn paten. Sehingga tidak perlu lagi diberikan royalti. Konsep inilah yang patut dikritisi mengingat tak menyentuh asas keadilan.

***

Sejauh ini negara baru memberikan perhatian kepada Pencipta Lagu sebagaimana hak-haknya diatur dalam undang-undang. Bahkan sudah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak ekonomi pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait atas lagu dan/atau musik yang digunakan secara komersial.

Sementara dalam bidang teknologi menurutnya belum ada pengaturan yang berlaku secara umum. Meskipun ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/PMK.02/2021 tentang Pedoman Pemberian Imbalan yang Berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Hak Cipta kepada Pencipta, Royalti Paten kepada Inventor, dan/atau Royalti Hak Perlindungan Varietas Tanaman kepada Pemulia Tanaman. Namun PMK tersebut hanya berlaku untuk  inventor yang berstatus pegawai pemerintah. Itu pun dalam penerapannya masih banyak menemui kendala. Karena itu dia lebih berharap lahirnya ketentuan pemerintah yang berlaku umum bagi pegiat iptek, baik yang berkarya di lembaga pemerintah maupun di lembaga swasta atau bahkan pegiat iptek perorangan. Tujuannya agar bisa mendorong para peneliti lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan penelitian berbasis kekayaan intelektual sehingga mampu menopang ekonomi negara.

Indonesia Masih Tertinggal

Menurut Medy dalam hal kesiapan bersaing di kancah internasional, Indonesia masih sangat tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Meski begitu dia optimis jika sistem pengakuan dan penghargaan bisa ditumbuhkan maka dunia iptek Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalannya.

Berdasarkan hasil searching pada situs data.goodstats.id, dijumpai data yang dirilis oleh The World Intelletual Property Organization (WIPO) yang menyebutkan pada tahun 2024 Indonesia memilki Indeks Inovasi Global (GII) sebesar 30,6 poin. Nilai ini menempatkan posisi Indonesia berada di bawah Filipina yang meraih nilai 31,1 poin. Sementara Singapura dengan nilai 61,2 berada di posisi teratas. Disusul Malaysia 40,5 poin, Thailand meraih 36,9 poin, dan Vietnam 36,2 poin. Indonesia harus puas berada di posisi keenam di Asia Tenggara. Padahal Indonesia tergolong sebagai negara yang memiliki kekayaan alam luar biasa. Artinya memiliki potensi yang lebih besar untuk melakukan pengembangan inovasi. Hal ini tentunya berkorelasi dengan capaian dalam pengajuan paten internasional. Kuat diperkirakan kalau posisi Indonesia masih sangat mungkin tertinggal jauh oleh negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.

***

Pada tahun 2010 saja berdasarkan data yang dirilis WIPO  jumlah paten internasional Malaysia tercatat sebanyak 224 buah. Sedangkan paten internasional Indonesia waktu itu hanya berjumlah 17 buah. Sejak itulah sepertinya patut disangsikan bisa mengejar ketertinggalan itu dalam waktu 10 tahun atau 15 tahun kemudian. Mengingat situasi kelembagaan iptek di Indonesia sendiri seringkali mengalami bongkar pasang dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang.

Sayangnya sampai akhir tahun 2024 tidak ditemukan data yang dirilis WIPO. Entah kenapa, namun diperkirakan hal itu disebabkan peringkat Indonesia tidak pernah masuk dalam 10 besar atau bahkan 20 besar. Sedangkan Singapura dan Malaysia selalu muncul.

Medy Sargo yang saat ini berprofesi sebagai Konsultan KI dan aktif mengamati perkembangan KI bersama FIPO (Forum of Intellectual Property Observers) mengharapkan Pemerintah memberikan perhatian lebih besar terhadap kondisi dunia riset Indonesia. Sebab negara-negara lain di Asia Tenggara melaju terus saling berlomba untuk bisa leading dalam menghadapi persaingan ekonomi global.

“Kita tidak usah membandingkan dengan Amerika atau China.  Terlalu jauh. Cukup tengok saja ke negara tetangga terdekat, Malaysia atau Vietnam. Kalau kita lebih serius membenahi inovasi teknologi niscaya efeknya akan mendorong ke banyak sektor. Termasuk dalam hal pemberian pengakuan dan penghargaan terhadap inventor”, kata Medy Sargo mengakhiri diskusi.

Referensi:

https://www.youtube.com/watch?v=0h5iMVN1vCY

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *