Pengetahuan Tradisional – Indonesia bukan hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi juga merupakan gudang pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun oleh berbagai komunitas adat di nusantara. Dari pengobatan herbal, teknik pertanian ramah lingkungan, hingga seni dan budaya khas seperti tenun, ukir, dan musik tradisional, kekayaan ini menghadapi ancaman serius akibat globalisasi dan komersialisasi tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Baca juga: Urgensi Perlindungan Pengetahuan Tradisional: Studi Kasus Pacu Jalur Dalam Perspektif HKI
Pengetahuan Tradisional: Aset Tak Ternilai yang Terancam
Pengetahuan tradisional bukanlah hasil karya satu individu, melainkan akumulasi kolektif selama ratusan hingga ribuan tahun. Contohnya, masyarakat Baduy dengan metode pengelolaan hutan lestari, masyarakat Dayak dengan sistem pertanian menjaga keseimbangan alam, serta filosofi Tri Hita Karana dari Bali yang mengharmonisasikan hubungan manusia, alam, dan Tuhan. Ini bukan hanya warisan budaya tapi juga solusi keberlanjutan yang berharga.
Namun, sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) saat ini yang berakar pada paradigma Barat seringkali kurang sesuai mengakomodasi karakter kolektif dan lisan dari pengetahuan tradisional tersebut.
Perlindungan Pengetahuan Tradisional: Nasional dan Internasional
Salah satu contoh nyata ancaman biopiracy terjadi ketika perusahaan asing berusaha mematenkan ekstrak sirsak (Annona muricata) yang telah digunakan secara tradisional oleh masyarakat Indonesia sebagai obat herbal untuk kanker. Pada tahun 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia menemukan beberapa permohonan paten di luar negeri terkait ekstrak sirsak yang diklaim tanpa melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik pengetahuan. https://translate.google.com/translate?u=https://ewt.org/sp-sept-2020-biopiracy-what-is-it/&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp
Tenun ikat dari Sumba yang terkenal di dunia menghadapi risiko kehilangan HKI karena tidak adanya registrasi dan perlindungan hukum yang jelas. Pada 2023, pemerintah bersama komunitas adat Sumba menginisiasi perlindungan hak cipta kolektif untuk mengantisipasi peniruan dan pemanfaatan sepihak oleh industri tekstil asing.
https://mediaindonesia.com/humaniora/512526/perempuan-sumba-timur-jadi-penjaga-budaya-tenun-ikat
India menjadi contoh negara yang berhasil memanfaatkan HKI untuk melindungi pengetahuan tradisional melalui Traditional Knowledge Digital Library (TKDL). TKDL mendokumentasikan ribuan resep obat tradisional Ayurveda, Unani, dan Siddha yang kemudian digunakan untuk menolak paten ilegal di negara-negara seperti AS dan Eropa. Ini mengurangi kasus biopiracy dan menjaga hak masyarakat asli India atas pengetahuan tradisionalnya. https://medicalxpress.com/news/2012-10-india-traditional-home-remedies.html
Kava, tanaman tradisional dari Pasifik Selatan yang digunakan untuk ritual dan pengobatan, pernah dipatenkan oleh sebuah perusahaan asing tanpa izin dari masyarakat adat. Tekanan internasional dan litigasi akhirnya memaksa perusahaan tersebut mencabut paten tersebut, menjadi preseden penting perlindungan HKI bagi komunitas adat kecil. https://id.wikipedia.org/wiki/Kava
Tantangan Perlindungan Pengetahuan Tradisional di Indonesia
Proses formal perlindungan HKI sering rumit, mahal, dan tidak mudah diakses oleh masyarakat adat. Kesenjangan informasi dan ketidaktahuan hukum membuat mereka rentan terhadap eksploitasi. Perusahaan multinasional yang memiliki akses dana dan jaringan global sering kali memanfaatkan celah ini untuk mengambil keuntungan melalui biopiracy.
Kenapa HKI Harus Beradaptasi?
HKI harus mampu menjangkau bukan hanya penemu individu tetapi juga komunitas tradisional. Pendekatan inklusif dan adaptif perlu diadopsi, misalnya melalui pengakuan hak kolektif, penerapan prinsip Persetujuan Awal dan Pembagian Manfaat (PIC & ABS), serta pembangunan sistem registrasi nasional yang terintegrasi dan mudah diakses.
Langkah Strategis Menuju Perlindungan yang Berkeadilan: (1) Penguatan Regulasi Nasional Perlu Undang-Undang khusus Pengetahuan Tradisional yang mengakui hak komunal, mengatur PIC & ABS, dan menciptakan database digital nasional. (2) Kolaborasi Akademisi dan Komunitas Mahasiswa dan akademisi hukum harus aktif mendampingi dan mengedukasi masyarakat adat tentang hak-hak kekayaan intelektual, serta melakukan riset yang mendukung kebijakan inklusif. (3) Digitalisasi dan Internasionalisasi Perlindungan Seperti TKDL India, Indonesia perlu membangun perpustakaan digital pengetahuan tradisional yang diakui secara internasional untuk memproteksi dari klaim asing.
Penutup: Melindungi Warisan, Menjamin Masa Depan
Perlindungan pengetahuan tradisional bukan menghalangi kemajuan, melainkan memastikan kemajuan itu berlandaskan keadilan dan penghormatan terhadap warisan nenek moyang. Negara harus hadir sebagai pelindung agar hak masyarakat adat atas kekayaan intelektualnya dihormati dan mendapat manfaat secara adil.
Saatnya kita melindungi pengetahuan tradisional Indonesia dengan sistem hukum yang inklusif, relevan, dan berkeadilan sosial. Jika tidak, harta budaya kita akan mudah diambil dan penyesalan datang terlambat.











