Kehidupan Kedua – Selayaknya orang yang hendak tenggelam, tanganku menggapai-gapai, mencari pegangan yang bisa diraih. Aku megap-megap mencari udara untuk mengisi paru-paru. Selang oksigen yang terpasang, tidak lagi membantu organ pernafasanku.
Beruntung, bagian bawah tubuhku tidak bisa bergerak karena pengaruh obat anestesi yang disuntikkan di tulang belakang. Sementara tanganku direntang kemudian terikat alat seperti borgol, seolah terpasung di meja operasi. Bila tidak demikian, mungkin tubuhku sudah terjatuh karena gerakan kacau dari tanganku.
“Allaah!”
“Bu, Bu ….” Seseorang menepuk-nepuk pipiku.
Aku menjawabnya, tetapi tepukan di pipiku tak juga kunjung berhenti. Benakku bertanya-tanya, mungkinkah suaraku tidak keluar jelas? Kenapa?
Kucoba memperkuat respon dengan menggerakkan tangan dan kepala, sebelum kesadaranku menghilang. Kurasakan, saat itu aku kembali berteriak memanggil-Nya. Tuhanku, apakah ini akhir hayatku?
***
“Ibu!”
Tubuh mungil bocah lucu itu memberontak. Dia memaksa masuk ke ruang tindakan untuk menemuiku. Di belakangnya, Nita, pengasuhnya tergopoh-gopoh mengejar.
Gadis itu baru beberapa hari kuterima bekerja di rumah. Pikirku, lumayan bisa untuk membantuku menemani dan mengasuh Billy, si sulung jika aku nanti melahirkan.
Beruntunglah, minggu lalu gadis santun itu sudah mulai masuk kerja sehingga bocah kecil itu sudah mulai bisa beradaptasi dengan pengasuhnya. Kebetulannya lagi, ternyata hari persalinanku maju 3 minggu dari HPL.
Betapa beruntungnya diriku, mempunyai anak lelaki tampan saleh, sehat, cerdas dan selalu ceria. Memilikinya serasa mendapat anugerah permata yang sangat berharga.
Berikutnya, aku akan kembali melahirkan buah hati. Kuharap ini juga serupa permata pertama. Sudah ku sadari betul resikonya dengan melahirkan sectio caesaria dan kondisi jantung yang kurang sempurna. Aku menjalani persalinan yang sangat berisiko. Hal itu bisa kusimpulkan saat melihat banyaknya kerutan pada kening dokter spesialis kandungan dan para bidan yang membaca rekam medis persalinanku.
Apakah aku tidak takut? Tentu saja aku takut. Bahkan, luar biasa takut. Hanya saja, kebahagiaan yang juga membuncah mengalahkan ketakutan ini. Putraku benar-benar bocah lucu yang sangat menggemaskan. Dia juga adalah anak manis yang yang sangat menyayangiku. Dalam usia sekecil itu dia sudah rajin membantu mengambilkan barang-barang yang dibutuhkan.
“Adeekk ….” Kuingat hari itu, sosok mungil itu mendekat malu-malu.
Aku beranjak bangkit karena melihatnya agak kesulitan menyeret keranjang tempat mainan-mainannya.
“Ibu boboan aja,” cetusnya. Dia menolak kubantu. Aha, manis sekali.
Dia meninggalkan keranjang mainan tersebut dan menuntunku kembali ke kasur. Dengan sekuat dayanya dia berusaha membaringkan ibunya kembali di kasur.
Aku menurut. Dia yang melihatku menurutinya puas dan memamerkan senyum manisnya. Yaa Rabb, sungguh aku selalu terpesona pada kerupawanan makhluk ciptaan-Mu yang satu ini.
Bagian tubuhnya yang paling kusukai adalah dagu belahnya. Belahan itu semakin jelas hingga membentuk cekungan ketika dia tersenyum seperti itu. Ah, tidak. Aku juga suka sama pipinya. Kurasa itu adalah bagian terbaik untuk diciumi. Pipi gembul dan jika tersenyum seperti ada biji salak di kedua belahnya.
Matanya pun tak kalah memesona. Berhias bulu mata lentik dan alis tebal memesona. Lalu tangan kekarnya, dengan telapak gendut dan jari jemari lentiknya.
“Ibu sayang sama Mas?” Dia menggeliat dalam pelukanku. Aku yang gemas malah menggeitikinya dan makin membuatnya menggelinjang karena geli. Kami tertawa bersama.
“Bill ….” panggilku. Aku teringat pada keranjang mainan yang diterlantarkan Billy di pintu kamar.
“Mas!” Billi langsung protes mengoreksi.
Aku tergelak. Sejak beberapa bulan sebelum aku hamil, Billy memang selalu meminta untuk dipanggil Mas. Bocah lelaki berusia hampir 5 tahun itu tidak lagi mau dipanggil Billy saja. Seolah-olah dia sudah mengetahui bahwa dia akan segera berganti status menjadi seorang kakak.
Anakku itu memang anak yang berbeda dari anak kebanyakan. Intuisinya cukup tinggi melebihi rata-rata sehingga terkesan hampir mirip seorang anak indigo. Tidak hanya itu baktinya terhadapku sebagai ibunya juga sungguh mengharukan.
Bila terlihat aku duduk bersandar tanpa diminta dia datang dan memijat kakiku. Memang, untuk pijatan seorang bocah belum genap setahun tentu tidak berasa apa-apa. Namun, tak ada yang menduga bila pijatan itu ternyata mampu mengobati lebih banyak lagi. Sebab bukan lagi sekadar kelelahan fisik yang terobati karena pijitan ajaib tersebut. Bahkan, stress dan emosi pun ikut stabil karenanya.
Lantas ketika perut semakin membesar seiring dengan bertambahnya usia kehamilan Adeknya. Maka, tanpa diminta entah dari mana dia dapat pemahaman jika aku kesulitan berdiri sehingga dia langsung berdiri di hadapanku dan memintaku untuk menopang badan ke badan kecilnya. Sekilas lucu. Namun, dia serius dia berusaha sekuat tenaga untuk membuat ibunya berdiri.
Dulu, pernah sekali dia kudongengi tentang bakti Uwais Al Qorni yang menggendong ibunya berangkat haji dari Yaman menuju ke Mekah. Semangat Billy langsung terbakar oleh salah satu sahabat Baginda Nabi tersebut. Billy langsung berimajinasi bahwa dia mampu menggendong ibunya yang seberat 70 kg.
“O iya, Mas Billy. Mau ditemani main?”
Billy menggeleng dengan raut jenaka. “Mas mau main sama Adek.”
Gegas bocah gembul itu melepaskan diri dari pelukanku. Kemudian menuruni kasur dan berlari menyeret keranjang mainannya. Billy memilih beberapa mainan dan meletakkannya di sebelahku. Persis di samping perutku yang membukit.
“Adek, ini Mas.” Billy mengusap perutku. Kurasa bocah itu menirukan gaya ayahnya.
Ajaibnya, jabang bayi di perut merespon seketika. Dia menendang kuat, kemudian serasa ada tangan kecil di dalam sana yang penggaruk perutku dari dalam. Apalagi ketika minimal Billy menjalankan beberapa mobil-mobilan di atas perutku. Pun dengan boneka-boneka binatang yang dibuat berkejaran. Kurasa jabang bayi itu pun terasa ikut berkejar-kejaran di dalam sana.
***
“Hubungi bank darah. Atas nama Nyonya …!”
Aku kembali. Namun pandanganku masih gelap. Sedetik kemudian kurasakan dadaku seperti sedang dibelah. Sementara di dalam sana serasa diketuk beberapa palu sekaligus.
Allaah!
Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Bayangan Billy menggantung di pelupuk mataku. Aku benar-benar merindukannya. Jika benar bahwa ini akhir hayatku, apa yang akan terjadi dengan Billy? Kami sangat dekat dan nyaris tak pernah berpisah. Aku sangat menyayanginya. Mohon berikan waktu lebih banyak lagi, agar aku bisa lebih lama lagi bersama Billy.
“Bu! Bu!” Kurasakan teriakan-teriakan seolah memanggiliku. Kemudian pipiku kembali ditepuk.
“Jangan menyerah, Bu! Bayinya sudah lahir. Cantik sekali.”
Benarkah? Aku mendengarnya seperti suara nun jauh di sana. Tapi aku bahagia. Billy, sambut Adekmu, Nak!
Tiba-tiba aku merasa tenteram seketika. Meskipun masih belum bisa bernapas, lalu ruhku pun entah masih di mana, tetapi aku merasa tenang sekali.
Allah, Dia Yang Maha Kuasa telah melimpahiku dengan anugerah teramat besar. Dua buah permata gagah dan cantik. Kuyakin juga, Dia juga telah menyiapkan jalan bagi dua permataku tersebut. Lalu apalagi yang membuatku tidak rida dengan takdir-Nya?
Kurasa, kini aku benar-benar memejam. Seulas senyum sengaja kuhadirkan ketika makin terasa bila ruhku tak kunjung masuk jasad kembali. Aku melakukannya, sebagai tanda keikhlasanku melewati akhir hayat.
***
Suara mesin-mesin medis membangunkan aku. Kemudian kurasakan sakit luar biasa pada bagian rahim saat berkontraksi. Aku membuka mata lalu seketika bersyukur ternyata Allah masih memberiku kesempatan hidup kedua.
“Alhamdulillah, Ibu sudah sadar.” Seseorang berpakaian perawat bergegas menghampiriku. Terlihat wajahnya semringah ketika memeriksa kondisi vital.
“Saya di mana, Suster?” tanyaku lirih.
“Ibu masih di ICU. Bila kondisinya stabil maka nanti bisa dipindah ke Ruang Rawat Inap.”
“Anak saya?”
“Bayi Ibu masih di ruang neo natus.” Perawat tersebut menjawab dengan senyum.
“Nah, kalau bocah lelaki lucu itu yang Ibu cari, dia ada di depan ruang ini. Dengar, Bu! Itu suaranya manggil-manggil Ibu.”
“Alhamdulillah.” Aku memuji-Nya pelan.
Perawat itu tersenyum ramah.
“Selain karena kuasa Allah, saya rasa bocah itulah alasan Ibu untuk melewati masa kritis.”
Demikian cerita pendek “Kehidupan Kedua” dari kami, sampai jumpa di cerita yang lain.
Baca juga: Selembar Cahaya untuk Ibu