“Saat ini model bisnis musik boleh dikatakan sudah sangat berubah, hal ini disebabkan perkembangan teknologi digital“.
Dulu, untuk melindungi karya cipta mungkin sesederhana mengunci lemari berisi manuskrip atau lukisan. Tapi, ketika memasuki era digital, di mana karya bisa dengan mudah diunggah dan diduplikasi, perlindungan hak cipta menjadi jauh lebih kompleks. Undang-Undang Hak Cipta kita kini dihadapkan pada tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Baca juga: Mengapa Pencatatan Hak Cipta Penting?
Analisis Pasal 10 dan 114 UUHC
Undang-undang Hak Cipta kita seolah-olah terjebak dalam waktu. Pasal 10 dan 114, yang dirancang untuk era analog, sudah tidak lagi relevan dengan realitas digital saat ini. Rumusan kedua pasal tersebut terlalu sempit untuk menjangkau kompleksitas pelanggaran hak cipta yang terjadi di platform-platform digital.
Pasal 10 pada UUHC ini mengatur larangan bagi pengelola tempat perdagangan untuk membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta. Namun, definisi “tempat perdagangan” dalam pasal ini cenderung mengacu pada tempat fisik seperti toko atau pasar, sehingga tidak mencakup platform digital.
Sementara Pasal 114 sangat berkaitan dengan ini mengatur sanksi pidana bagi pelanggaran Pasal 10. Namun, sanksi yang tercantum dalam pasal ini dianggap tidak cukup efektif untuk menjerat pelaku pelanggaran hak cipta di era digital.
Permasalahan
Perkembangan teknologi digital yang pesat telah membawa perubahan signifikan dalam cara mencipta, mendistribusikan, dan mengakses karya cipta. Selain itu, tantangan di era digital, seperti pelanggaran hak cipta secara daring yang semakin marak dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelindungan hak cipta, memerlukan perhatian lebih dalam implementasinya.
Perkembangan teknologi digital yang begitu cepat membuat regulasi hak cipta yang ada menjadi ketinggalan zaman. Para Pelaku pelanggaran hak cipta di dunia digital seringkali sulit dilacak dan dijerat. Bahkan, pemilik hak cipta kesulitan untuk melindungi karya mereka dari pelanggaran di platform digital.
Berdasarkan hal tersebut, pada tanggal 24 Juli 2023, Rita Marlina (Direktur Utama, PT Aquarius Pustaka Musik), Budi Hariadi (Direktur, PT Aquarius Musikindo), dan Melly Goeslaw (Musisi) mengajukan pemohon uji materiil atas Pasal 10 dan Pasal 114 UUHC.
Para Pemohon mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 10 dan Pasal 114 UUHC dianggap bertentangan dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 (Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945).
Namun sayangnya, berdasarkan hasil putusan, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk Sebagian (hanya Pasal 10 UU Hak Cipta).
Dapat dikatakan bahwa, kerugian konstitusional yang diajukan Para Pemohon bukan lagi “berpotensi” bahkan sudah terjadi di era digital saat ini, karena masifnya perkembangan teknologi.
Solusi
Para pemohon menilai bahwa Pasal 10 UUHC tidak lagi relevan dengan perkembangan teknologi digital. Mereka mengusulkan perluasan definisi ‘tempat perdagangan’ agar mencakup platform digital, serta penambahan sanksi bagi pengelola platform yang membiarkan pelanggaran hak cipta.
Perlu adanya pengaturan yang jelas mengenai tanggung jawab platform digital dalam mencegah pelanggaran hak cipta. Konsep “safe harbor” dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan.
Dan untuk sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 114 perlu diperberat untuk memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran.
Edukasi Masyarakat
Perlindungan hak cipta di era digital membutuhkan upaya bersama. Selain penegakan hukum yang tegas, edukasi publik menjadi kunci. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghargai karya orang lain, kita dapat menciptakan ekosistem yang mendukung kreativitas dan inovasi.
Referensi:
Putusan MK Nomor 84/PUU-XXI/2023, Tanggal 22 Februari 2024











