Etika Politik. Sebuah tulisan opini yang mungkin bisa dirasa telat jika tujuannya untuk menjadi alarm atau pengingat bagi kita semua. Namun, saya menulis opini ini bukan bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada kalian semua. Ini adalah sebuah opini yang akan memuat fakta kenyataan tentang krisis demokrasi kita dan etika berpolitik kita.
Tulisan ini tidak ditujukan kepada individu tertentu, tetapi praktik berpolitik ini sudah menjadi rahasia umum bagi kita semua yang lebih senang membungkam serta ikut andil di dalamnya.
Selayang pandang tentang demokrasi
Sebelum melangkah pada praktik pesta demokrasi, perlu dipahami secara sederhana apa itu demokrasi.
Yang dinamakan dengan demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mana kekuasaan politik dan pengambilan keputusan berada di tangan rakyat.
Dalam demokrasi, kebijakan publik, undang-undang, dan tindakan pemerintah lainnya ditentukan oleh partisipasi aktif warga negara melalui pemilihan umum atau mekanisme lainnya. Prinsip dasar demokrasi adalah pengakuan hak asasi manusia, kebebasan berbicara, dan hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Sistem demokrasi ini memberikan kekuasaan berada di tangan rakyat, artinya ini menjadi fondasi utama bagi negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Lalu untuk praktiknya? tentu itu perlu dibahas secara mendalam dan harus penuh kehati-hatian karena demokrasi kita seperti ranjau bagi pemegang kekuasaan utama, yaitu rakyat.
Bagaimana praktik demokrasi kita?
Pilpres atau pemilihan umum merupakan momen penting dalam sebuah negara demokratis, di mana warga negara memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka. Ironisnya, praktik suara yang dibeli semakin merayap masuk ke dalam proses ini. Suara yang seharusnya menjadi ekspresi bebas dari keyakinan dan nilai-nilai individu, kini dapat dimanipulasi oleh kekuatan finansial.
Kenyataanya suara rakyat tidak begitu mahal untuk menjadi modal awal bagi calon pemimpin. Sederhananya, akan saya ibaratkan seperti seorang pemula yang akan membuka bisnis. Jadi jika seseorang memiliki modal yang besar, maka ia akan mendapatkan aset lebih banyak yang akan menjadi fondasi dalam bisnisnya. Nah, suara-suara yang dibeli dengan harga seratus ribuan ini yang nantinya akan menjadi fondasi berdirinya seorang pemimpin.
Sayangnya, jika dari sudut pandang bisnis, suara yang dibeli dengan harga seratus ribuan ini tidak akan menjadi tanam saham yang menguntungkan untuk rakyat. Biasanya, praktik seperti ini nantinya penanam saham yang akan sibuk mengurus pengembalian modal yang telah ia tanam kepada rakyat, yaitu saham seratus ribuan dikali jumlah penerima dan ditambah modal awal.
Fakta di lapangan, justru kedudukan ini terbalik posisinya. Semestinya warga negara seharusnya memilih pemimpin berdasarkan visi, misi, dan integritas calon, bukan berdasarkan imbalan materi atau janji-janji palsu. Demokrasi yang dijual juga tercermin dalam peran media massa dan teknologi dalam mempengaruhi opini publik.
Dengan kekuatan finansial, beberapa pihak mampu mengontrol narasi dan memberikan framing yang mendukung kepentingan mereka. Informasi yang seharusnya menjadi alat untuk memberikan pemahaman yang seimbang kepada publik, kini dapat disusupi oleh kepentingan tertentu.
Lalu apa keuntungan bagi rakyat? Tentu saja keuntungan yang didapat sudah habis pada uang seratus ribu, mungkin bisa membeli nasi warteg dan membeli paket data untuk melakukan streaming demo di kemudian hari dan menonton kegaduhan yang diakibatkan oleh penanam saham yang kalian coblos saat pemilu.
Bagaimana mestinya?
Sebagai pemegang kekuasaan utama, rakyat seharusnya memiliki kedudukan lebih tinggi dari para paslon pemimpin. Suara yang dibeli adalah penghinaan terhadap esensi demokrasi. Namun, siapa yang peduli dengan kesakralan demokrasi? tentu saja rakyat yang menjual suaranya sudah tidak mungkin peduli, apalagi pemimpin yang membeli suara rakyat.
Penting untuk diingat bahwa demokrasi bukanlah hanya tentang pemilihan umum. Demokrasi melibatkan partisipasi aktif warga negara, kebebasan berbicara, dan hak untuk mendapatkan informasi yang akurat. Namun, suara yang dibeli merampas hak-hak tersebut dari tangan rakyat, menjadikan demokrasi semakin tereduksi menjadi sekadar formalitas tanpa makna substansial.
Seharusnya, di era saat ini yang mana masyarakat lebih banyak didominasi oleh yang terpelajar, sudah semestinya saling meluruskan yang tidak lurus. Jika yang terdidik tidak mampu mendidik, maka wajar jika mayoritas masyarakat kita gagal terpelajar.
Solusinya?
Untuk melawan suara yang dibeli dan demokrasi yang dijual, perlu adanya kesadaran kolektif dari masyarakat. Pendidikan politik yang kuat, transparansi dalam pemilihan umum, dan regulasi yang ketat terhadap keuangan kampanye dapat menjadi langkah-langkah yang efektif.
Masyarakat perlu memahami bahwa suara mereka memiliki nilai yang tak ternilai, dan tidak boleh diperjualbelikan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam menghadapi tantangan ini, peran lembaga-lembaga penegak hukum juga sangat penting.
Mereka harus bersikap tegas dan adil dalam menangani pelanggaran terkait suara yang dibeli. Hukuman yang tegas dapat efektif memberikan sinyal kuat bahwa demokrasi bukanlah arena untuk bermain-main atau memanipulasi. Suara dibeli dan demokrasi dijual adalah ancaman serius bagi fondasi masyarakat yang adil dan demokratis.
Oleh karena itu, perlu adanya komitmen bersama untuk melawan praktik ini demi menjaga integritas demokrasi. Hanya dengan menjaga kebebasan, keadilan, dan partisipasi aktif masyarakat, kita dapat memastikan bahwa demokrasi tetap menjadi sistem pemerintahan yang memenuhi harapan dan nilai-nilai warga negara.
Kesimpulan
Kesimpulan secara menyeluruh dari opini saya adalah, jika kita tidak bisa memberi kesadaran kepada pemimpin atau calon pemimpin, paling tidak diri kita tegas untuk menolak praktik yang menjatuhkan marwah negara kita. Mengapa harus kita, warga negara?
Karena, pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Artinya, jika pemimpin kita yang buruk dan tidak mumpuni maka itulah cerminan kita sebagai warga yang juga tidak mumpuni untuk menentukan pilihan memilih seorang pemimpin.
Sekian artikel opini tentang etika politik dari saya, semoga bermanfaat dan sampai jumpa di opini selanjutnya!
Sumber:
E-Jurnal UNDIP: Etika dan Kejujuran dalam Berpolitik-Prihatin Dwihantoro [Politika (Vol.04, No.2-Oktober 2013)]