Calon Tunggal Pilkada: Strategi Picik Elit Politik – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seharusnya menjadi momen penting dalam demokrasi lokal, di mana rakyat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang akan membawa aspirasi mereka. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena calon tunggal dalam Pilkada semakin marak terjadi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang kualitas demokrasi baik ditingkat lokal maupun ditingkat nasional serta bagaimana strategi politik yang diterapkan oleh elit politik.
Baca juga: Etika Politik Saat Ini: Suara Dibeli, Demokrasi Dijual
Fenomena Calon Tunggal
Calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terjadi ketika hanya ada satu pasangan calon yang bertarung dalam kontestasi. Pada dasarnya, kondisi ini memberikan dua opsi kepada pemilih: memilih calon tersebut atau memilih kotak kosong. Meskipun masih ada ruang untuk menyatakan ketidakpuasan melalui pilihan kotak kosong, kenyataan bahwa hanya ada satu calon yang ditawarkan mencerminkan adanya masalah serius dalam proses demokrasi.
Dalam satu kontestasi politik lokal, fenomena seperti diatas jelas dapat merugikan masyarakat. Partai politik memainkan peran penting dalam proses pemilihan kepala daerah. Layaknya sebuah warung yang menawarkan beragam menu, partai politik idealnya menyediakan berbagai pilihan calon pemimpin kepada masyarakat. Mereka berperan sebagai gerbang yang memunculkan kandidat-kandidat dari beragam latar belakang.
Keberagaman ini penting, sebab semakin banyak calon yang tampil, semakin luas pilihan yang tersedia bagi masyarakat. Dengan banyaknya opsi, warga dapat mengevaluasi dan memilih calon yang paling sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka. Pilihan yang tepat ini diharapkan dapat mendorong kemajuan pembangunan di daerah tersebut.
Dengan munculnya calon tunggal, masyarakat dibatasi hanya satu menu atau produk saja, terlepas suka atau tidak suka, cocok atau tidak cocok, tapi dipaksan untuk memilih, seolah tidak ada peluang untuk putra/putri terbaik daerah untuk muncul dan tampil memimpin daerahnya tersebut.
Strategi Politik atau Keterbatasan Partisipasi?
Salah satu alasan yang sering dikemukakan untuk menjelaskan fenomena calon tunggal adalah minimnya calon yang memenuhi syarat atau tidak adanya kandidat alternatif yang kuat. Namun, pandangan ini sering kali menutupi kenyataan bahwa elit politik sengaja menciptakan situasi tersebut melalui berbagai cara. Mulai dari kooptasi partai-partai politik, penguasaan sumber daya ekonomi, hingga intimidasi terhadap calon potensial yang berani maju.
Dalam banyak kasus, partai politik mendukung satu calon yang dianggap paling kuat, mengabaikan peluang munculnya calon-calon alternatif. Elit politik sering kali menggunakan pendekatan pragmatis, di mana mereka memilih untuk mengamankan kemenangan dengan cara yang paling mudah dan minim risiko. Ini menjadi strategi yang dianggap lebih aman daripada membiarkan Pilkada berjalan dengan persaingan yang sehat.
Dilain pihak fenomena tersebut mencerminkan kegagalan partai politik, kaderisasi yang tidak berjalan dengan baik, dimana idealnya partai politik sebagai kawah candra dimuka tempat dilahirkanya putra putri terbaik bangsa, calon-calon pemimpin dimasa depan.
Dampak pada Demokrasi Lokal
Calon tunggal dalam Pilkada secara langsung mereduksi esensi demokrasi itu sendiri. Demokrasi lokal seharusnya menawarkan berbagai pilihan kepada rakyat, memungkinkan mereka untuk menilai dan memilih berdasarkan visi, misi, program dan integritas calon. Namun, ketika hanya ada satu calon, pemilih dipaksa untuk menerima calon yang ditawarkan tanpa alternatif yang berarti.
Pilkada kini menghadirkan kekhawatiran serius. Alih-alih menjadi pesta demokrasi rakyat, ajang ini berubah menjadi arena tawar-menawar politik elit. Hiruk-pikuk yang tercipta hanya di permukaan, sementara akar rumput tetap sunyi. Yang lebih memprihatinkan, pilkada seolah menjadi ajang perebutan kekuasaan di antara kaum berduit dan berpengaruh. Meski menghabiskan anggaran besar, prosesnya hanya berujung pada legitimasi kekuasaan segelintir elit, jauh dari esensi demokrasi sejati.
Hal ini juga berpotensi menurunkan partisipasi pemilih, karena ketidakadanya pilihan yang beragam membuat pemilih merasa apatis. Mereka merasa bahwa suara mereka tidak akan mengubah apapun, karena hasilnya sudah dapat diprediksi sejak awal. Selain itu, situasi ini bisa memicu ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi itu sendiri, hal ini jelas akan membahayakan kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Membangun Kembali Demokrasi Lokal
Untuk mengatasi fenomena calon tunggal, perlu ada upaya serius dari berbagai pihak. Partai politik harus didorong untuk lebih demokratis, modern serta terbuka terhadap kaderisasi pencalonan. Masyarakat sipil dan media juga harus berperan aktif dalam mengawasi proses ini, memastikan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri dan dipilih dalam satu kegiatan hajat lokal bernama PILKADA.
Selain itu, peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lembaga pengawas lainnya juga sangat penting untuk memastikan bahwa Pilkada berjalan secara adil dan transparan. Regulasi yang lebih ramah dan dukungan terhadap calon-calon independen dapat menjadi solusi untuk mengurangi dominasi elit politik.
Saatnya meninjau ulang regulasi yang membatasi munculnya calon alternatif, seperti menurunkan syarat dukungan partai politik. Penting juga mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda, agar melek politik dan memahami pentingnya demokrasi bagi kemajuan Indonesia.
Kesimpulan
Fenomena calon tunggal dalam Pilkada merupakan cermin dari strategi politik yang cenderung pragmatis dan sering kali picik. Elit politik memilih jalan pintas dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi. Namun, situasi ini bukanlah akhir dari segalanya. Dengan komitmen bersama membangun kembali demokrasi lokal yang sehat dan inklusif, Pilkada kembali menjadi wadah yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat, PILKADA harus jadi pestanya RAKYAT, bukan hanya pestanya ELIT.