Ternyata, angka pada jam tangannya menunjukkan waktu pukul 21.03, tapi Asep belum memutuskan untuk pulang sebagaimana teman-temannya sesama ojek di wilayah IPB. Ia masih setia menunggu di pangkalan tak jauh dari Berlin1.
Padahal, saat itu adalah masa libur peralihan semester. Tentu tak banyak penumpang yang membutuhkan jasanya, termasuk mahasiswa-mahasiswa tingkat pertama yang biasanya jadi langganan ojek lantaran mengejar batas jam malam di asrama. Di IPB, mahasiswa tingkat pertama memang diwajibkan untuk tinggal di asrama.
***
Angka di jam bertambah 10 satuan menit dan Asep akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia mulai merasa menyesal tak mengikuti saran temantemannya untuk tidak menunggu lebih lama lagi. Namun, perasaan itu seketika sirna, karena seorang pemuda menghampirinya.
“Ojek, Pak,” kata pemuda itu. Air mukanya sedatar permukaan danau. Suaranya parau dan berat; pelan, hampir saja tak terdengar.
“Naik, Mas!” Asep senang bukan kepalang. Ini penumpang pertama sejak magrib tadi.
Asep segera menancap gas. Ia meluncur begitu saja ke arah Asrama Putra, padahal ia belum menanyakan tujuan si penumpang. Setelah cukup jauh, barulah ia ingat.
“Oh, iya. Maaf, Mas. Lupa. Mau diantar ke mana?”
“Asrama Putra, Pak. Sudah benar, kok,” nadanya datar. Suaranya diseret.
***
Merasa dirinya sudah berada di jalur yang benar, Asep menambah kecepatan. Dari berlin menuju Asrama Putra, rute kendaraan terpendek adalah melalui daerah Fakultas MIPA, Gymnasium, Common Class Room (CCR), Fahutan, kemudian melewati tikungan tajam dan jalan menurun hingga akhirnya sampai di Asrama Putra.
Asep memacu motornya di daerah CCR sekarang. Gelap. Lampu penerang jalan tak menyala. Entah mengapa. Lalu tiba-tiba Asep mengingat sesuatu.
“Ke Asrama?” Asep bergidik. “Bukannya sekarang sedang masa liburan, ya Mas?”
Tak ada jawaban. Asep menurunkan kecepatan, mungkin deru angin membuat pertanyaannya sulit terdengar, pikirnya. Namun kembali tak ada jawaban setelah pertanyaan yang sama ia ulang. Ia benar-benar merinding sekarang.
***
Asep tiba-tiba terngiang cerita ibunya tentang hantu haru-haru. Hantu itu gemar menipu dan menculik orang ke tempat yang sukar dijelajah.
Keadaan yang gelap dan angin malam yang dingin tak membiarkan Asep untuk tidak ketakutan. Namun, ia tetap melaju.
Asep telah melewati daerah CCR yang gelap, melewati pertigaan Fahutan dan akan segera melintasi tikungan menuju Asrama. Sedikit lebih terang di sini dan itu cukup untuk sedikit menyalakan nyali Asep yang sempat ciut. Tak apa-apa, pikirnya. Semua baik-baik saja.
“Memang Mas tidak liburan?” tanya Asep kali ketiga.
Tak ada jawaban, ia justru mendengar suara yang aneh, seperti suara mendesis. Ia mendengar suara itu begitu dekat dan menyadari bahwa ada yang membelai tengkuknya. Bukan dibelai, sebenarnya itu bulu kuduknya yang menari-nari.
***
“Mas, kok diam saja?”
Asep panik lagi. Apalagi di daerah setelah tikungan itu sangat gelap. Ada kantin di daerah itu dan biasanya cukup terang. Tapi ini libur panjang, tak ada yang butuh nyala lampu saat ini.
Tak ada yang santap malam di kantin itu. Gelap.
Pikiran-pikiran aneh kembali berkecamuk di benak Asep. Sebenarnya siapa orang di belakang punggungnya? Tepatnya, bukan ‘siapa’ tapi ‘apa’.
Asep berusaha menengok lewat spion, tapi tak terlihat sosok yang jelas. Hanya ada siluet hitam yang tampak permukaan cermin kecil itu.
Asep kian gugup. Ia takut. Keadaan sekitar terlalu sepi dan mencekam. Benar-benar tak ada penerangan kecuali dari lampu motornya.
Katanya, makhluk halus memang suka gelap. Jangan-jangan ia memang sudah diculik ke dunia lain, pikir Asep. Lalu ia memutuskan untuk menepi. Ia kumpulkan seluruh keberanian yang tersisa untuk menengok ke belakang.
Asep mengucap segala macam doa yang ia hapal. Bibirnya gemetar, lidahnya kelu, rapalannya kacau dan terdengar ngawur. Ia menoleh. Perlahan.
***
Manusia. Sosok yang Asep lihat ternyata manusia. Tidak ada muka hancur atau belatung-belatung seperti dalam bayangannya. Manusia ini bahkan sangat lucu.
Penumpang itu sedang terpejam. Ia tertidur. Oh, ternyata!
Asep geli. Pantas saja tak ada jawaban. Rupanya penumpang di belakangnya sedang kelelahan sampai-sampai tertidur. Sulit sekali mempercayai ada orang yang bisa tidur dalam keadaan dibonceng seperti itu, tapi Asep benar-benar melihatnya.
“Jangan tidur, Mas…,” Asep menengok lebih lebar.
“Ha?” Penumpang itu terbelalak, ia tampak bingung. “Sudah sampai, Pak?”
“Belum. Habis saya tanya tak ada jawaban. Saya pikir Mas jatuh di jalan,” Asep berseloroh. Bohong.
“Duh, maaf Pak. Saya dari perjalanan jauh. Capek sekali.” Ada sedikit raut tersipu di wajah si penumpang, tidak datar seperti seperti sebelumnya. “Lanjut, Pak!”
***
Tak menunggu perintah kedua, Asep segera menyalakan mesinnya lagi. Ia merasa lega, walau jantungnya masih berdebar-debar. Memang akan butuh waktu untuk kembali tenang. Sebuah obrolan singkat mungkin akan membantu.
“Asrama, kan sedang kosong. Mas tidak liburan?”
“Iya, Pak. Saya Senior Resident. Ada yang perlu diurus di Asrama.”
“Senior Resident?” tanya Asep. Ia tak tahu apa itu, tapi ia rasa itu julukan untuk manusia.
“Relawan mahasiswa, Pak. Mahasiswa tingkat atas yang jadi pendamping anak tingkat pertama di Asrama.”
“Oh…,” Asep mengangguk-angguk.
Asep sudah tenang sekarang. Ia memacu kendaraannya lebih cepat, karena gerbang Asrama Putra sudah sedikit terlihat. Ada lampu lapangan yang sangat terang menyorot ke arah gerbang, satu-satunya lampu yang berfungsi di sepanjang jalan lurus yang menurun itu.
Baca juga: Wasiat Ibu
***
Asep masih geli atas ketakutannya yang berlebihan. Kenyataannya, tak ada yang aneh sesampainya ia di Asrama Putra. Ia baru ingat kalau deret lampu jalan di wilayah CCR itu menggunakan energi surya. Tentu saja mati, karena langit Bogor mendung seharian tadi. Sementara lampu jalan di wilayah Asrama Putra memang sering rusak dari dulu.
Tak ada yang aneh selain penumpang sakti yang bisa tidur dalam posisi duduk di atas motor. Asep semakin geli.
“Kembaliannya ambil saja, Pak.” Pemuda itu menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan, kemudian memasuki asrama putra yang gelap gulita dengan lunglai. Seperti mayat hidup. Ia benar-benar kelalahan sepertinya.
“Terima kasih ya, Mas!” Asep girang bukan kepalang. Selembar uang itu setara dengan enam kali tarif sekali antar ditambah dua ribu.
Kegigihannya berbuah manis, Asep bisa bersumbar pada teman-temannya besok. Sekarang ia memilih untuk segera pulang karena badannya serasa pegal dan begitu letih. Perasaan takut berlebihan memang membuat otot-ototnya menegang hampir di sepanjang perjalanan tadi.
Asep semakin lelah dan tiba-tiba dirundung rasa kantuk yang menjadi-jadi. Sudah lama ia tak merasakan kantuk sedemikian berat. Rasanya seperti begadang semalam suntuk. Asep segera melecut tunggangannya agar bisa segera memeluk bantal-guling di rumahnya.
***
Tak butuh waktu lama bagi Asep untuk mencapai tikungan jalan di dekat Asrama. Saat berbelok, ia mendengar sayup-sayup suara azan dari masjid kampus yang tak jauh letaknya.
Karena penasaran, ia menepi dan mematikan mesin. Ia benar-benar mendengar suara azan. Azan apa itu, pikirnya. Padahal Isya sudah lewat lebih dua jam yang lalu.
Asep benar-benar heran. Ia menyingsingkan lengan jaket dan melirik angka digital berwarna merah di lingkar gelang tangannya.
Terbelalak. Asep kaget. Tak percaya. Bingung. Bulu kuduknya menari-nari mengikuti irama jantung yang semakin cepat. Ia merinding dan merasa mual.
Angka di jam tangannya menunjukkan waktu pukul 04.33. Waktu subuh.
Asep semaput.
***
1 Berlin; pagar tembok di samping kampus IPB yang membatasi wilayah kampus dengan Jalan Babakan Raya. Memiliki gerbang kecil dua arah sebagai penghubung. Bertahan hingga tahun 2019-an sebelun akhirnya ditutup