Sastra  

Wasiat Ibu

Cerpen

Listian Nova
Foto: pixabay.com
Foto: pixabay.com

Wasiat Ibu oleh Listian Nova. Gelap menyelimuti sore di rumah Asri. Lampu-lampunya mati lantaran tak ada arus listrik yang mengaliri rumahnya sejak tiga hari belakangan. Suara meteran listrik menjerit dengan irama tetap, lebih nyaring dari koak sekumpulan gagak di kebun kelapa seberang rumahnya.

“Matikan, dong,” bentak Agus, sang suami. Bau asap menguar dari mulutnya. Jemarinya memijit tombol bersimbol anak panah siku di meteran dan bunyi menjerit berhenti.

“Diisi, dong, tokennya,” balas Asri dengan nada sinis setengah takut. “Jangan beli rokok lagi, rokok lagi!”

Namun Agus tak acuh. Ia melangkah melewati teras kecil, menyelipkan telapak kaki pada sepasang sandal butut yang berserak di pelataran. Kedua telapak tangannya tersimpan dalam saku celana.

“Ke mana?” tanya Asri. Geram.

“Rumah Salim.” Agus melengos pergi.

“Mabuk lagi, mabuk lagi!” Asri berteriak, tetapi Agus jauh pergi. Sosoknya menyaru dalam keremangan petang.

***

Tinggal Asri sendiri di teras rumah kecil itu, merenung bertemankan koak gagak yang semakin nyaring. Perempuan itu mengencangkan rahang sampai giginya bergemelutuk. Sejujurnya, ia sangat tidak menyukai suara gagak. Oleh karena itulah ia membiarkan meteran listrik berbunyi terus menerus.

Koak burung-burung hitam itu selalu mengingatkan Asri pada hari-hari kematian ibunya. Sehari sebelum menghadap Sang Pencipta, ibunya berpesan pada Asri, “Jangan kawini Agus!”

Asri terkenang sekali lagi pada kata-kata ibunya yang terbaring kaku di atas ranjang, mata setengah melotot. “Sekali-kali jangan kau kawin dengan Agus!”

Saat itu, Asri tidak bisa memahami kebencian ibunya yang tiba-tiba. Terlebih, ibunya sangat senang saat Agus datang melamar beberapa bulan sebelumnya. Agus ganteng, rajin, dan bertanggungjawab, kata ibunya saat itu.

***

Asri kalut. Kerasukan apa sang ibu menjelang kematiannya?

Ibunya juga menyerahkan sebungkus kotak kecil berisi bahan ramuan entah apa. “Minumkan ini padanya setelah kalian kawin dan kamu menyesalinya!” pesan sang ibu.

Setelah itu, ibunya tertidur. Tidak mati. Belum. Barulah esoknya, saat Asri hendak membangunkan ibunya untuk salat subuh, ia justru menemukan ibunya tak lagi bernapas.

Gagak juga masih berkoak saat itu, dari semalam dan berlanjut sampai ibunya selesai dikebumikan. Setelah Asri pulang dari pemakaman, pikirannya makin keruh dan mendung.

Asri sedih karena kematian itu, sekaligus bingung karena memikirkan pesan-pesan terakhir ibunya. Bagaimana ini, menikah atau tidak?

Pada akhirnya, Asri hanya ingin mengenang sosok ibunya yang dulu, jauh sebelum gagak-gagak berkoak di sekitar rumah mereka. Itu sosok ibunya yang ramah dan periang, yang bilang bahwa Agus ganteng dan bertanggungjawab; yang tentunya cukup layak untuk dinikahi.

Namun, kini Asri menyesali pilihannya. Ia menikahi Agus, menentang pesan terakhir ibunya. Dan benar saja, hidupnya sekarang berantakan, nyaris hancur lebur.

***

Setahun lalu, Agus tiba-tiba saja berhenti bekerja dan tak mau mencari kerjaan baru sejak itu. Betapapun Asri membujuk, lelaki itu tetap menolak dengan sejuta alasan. Akibatnya, Asri harus menjual perabot-perabot peninggalan ibunya untuk menyambung hidup dari hari ke hari.

Perangai Agus juga kian buruk. Lelaki itu menyumpah dan memaki setiap hari. Kadang, jika terlampau mabuk, Agus juga kerap main tangan.

Dulu, Agus sebenarnya seorang pekerja keras dan ulet di sebuah pabrik roti sederhana. Selama bekerja, tak sekalipun ia pernah terlambat apalagi membolos. Namun, sejak berhenti bekerja, rasa tanggung jawab Agus meruap entah ke mana.

Gantengnya lelaki itu juga tidak akan membuat kenyang, bahkan tak lagi bisa membuat Asri bergairah. Setiap kali mereka hendak bercumbu, aroma ciu dan asap rokok kerap merembes dari mulut itu, mengundang rasa mual saja.

***

Gagak-gagak masih terus berkoak. Sore menjelma malam dan langit serona bulu gagak. Asri masih tenggelam dalam penyesalan dan kenangan akan hari-hari kematian ibunya.

“Aku akan menurut, Bu,” bisik Asri pada dirinya sendiri. Masih ada satu lagi wasiat dari sang ibu, dan Asri tidak akan mengingkarinya.

Asri beranjak dari teras, menuju kamar tidurnya. Dulu, itu kamar ibunya. Tidak banyak perabot yang tersisa dalam kamar itu. Hanya tinggal sepetak ranjang dan kasur pegas lumayan baru, serta lemari kayu tua. Asri merogoh lubang kecil rahasia di belakang lemari tua itu.

Di tangan Asri sekarang adalah sebungkus bahan ramuan yang diwasiatkan oleh sang ibu. Ia tidak pernah tahu ramuan apakah itu, tetapi ia sudah bertekad untuk tidak memungkiri wasiat ibunya lagi. Dibawanya bungkusan itu ke dapur sambil berjingkat, seolah takut dipergoki seseorang.

***

Lilin dinyalakan. Asri mendekati meja kompor.

Tidak ada gas di dapurnya. Asri tidak bisa memanaskan air, tetapi itu tidak menyurutkan niatnya. Dituangnya bahan-bahan ramuan itu ke dalam cangkir, disusul air putih hingga setengah penuh. Asri meludahi gelas, membuang rasa kesalnya ke dalam situ.

Isi gelas itu ia aduk dengan jari. Warnanya perlahan berubah menjadi coklat pekat seperti teh. Sekarang, tinggal menunggu Agus pulang tengah malam, tidur, dan kemudian akan dcekokinya sang suami dengan ramuan itu.

Malam makin larut. Koak belum berhenti, tetapi bunyinya makin jauh dan tenggelam dalam bunyi nyaring meteran listirk.

Jerit meteran listrik tiba-tiba berhenti. Itu pertanda Agus sudah kembali.

***

Asri menunggu di balik bayang-bayang yamg diciptakan lilin, memperhatikan Agus berjalan terhuyung sambil meraba-raba dalam keremangan. Lelaki itu berkali-kali menabrak tembok, memaki, tetapi kemudian segera teler kembali dan tersuruk. Saat suaminya tergeletak lemah di lantai dengan mulut bau terbuka, Asri mendekat. Menyelinap seperti ular berbisa.

Ramuan itu ditumpahkan ke dalam mulut Agus. Asri mengatup rahang suaminya yang tersedak menggunakan kedua lengannya.

Agus menggelepar beberapa saat. Setelah beberapa detik yang mendebarkan, ia tertidur pulas seperti bayi. Asri, dengan pikiran yang kacau karena perbuatannya barusan, merebahkan diri di sisi suaminya.

Itu kali pertama Agus tidak mendengkur setelah sekian lama. Aroma tak sedap dari mulutnya juga lenyap entah ke mana. Barangkali dimurnikan cairan ramuan. Entahlah.

***

Melihat Agus yang menjadi begitu jinak, Asri tidak bisa menolak keinginan untuk menjamah dada bidang suaminya. Ia meletakkan kepalanya yang berat di atas dada Agus yang naik turun, kemudian memejamkan mata. Ia tertidur. Dalam mimpinya, ia terlempar ke masa lalu, saat kedua orang tuanya masih hidup.

Malam itu, Asri mengintip ke kamar bapak-ibunya. Sang ibu sedang tidur pulas dengan kepala merebah di atas dada suaminya. Mesra. Padahal mereka baru saja melalui pertengkaran hebat.

Ayahnya memang lelaki yang kasar, baik ucapan maupun perbuatan. Kalau saja bukan karena ibunya yang pasang badan, Asri pasti sudah babak belur dihajar ayahnya saat kalap.

Waktu itu, begitu melihat kedua orang tuanya kembali akur, Asri sangat gembira. Namun, sayang, esoknya, sang ayah tidak pernah terjaga dari tidurnya.

Asri baru menyadari, saat ayahnya wafat, burung gagak juga berkoak tak henti-henti.

 

Baca juga: Mayat Hidup

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *