Review Film ‘Call Me Chihiro’: Makanan dan Makhluk Sosial

Putri Rizky Rahmadina
review-film-call-me-chihiro-makanan-dan-makhluk-sosial
review-film-call-me-chihiro-makanan-dan-makhluk-sosial (Netflix)

Call Me Chihiro merupakan sebuah film adaptasi dari manga ‘Chihiro-san’ yang karya Hiroyuki Yasuda, yang disutradarai oleh Rikiya Imaizumi beserta Kaori Sawai sebagai penulis naskah film. Film ini mengisahkan seorang wanita bernama Chihiro (Kasumi Arimura), mantan PSK yang memutuskan untuk berhenti dari karir dunia malam. Ia beralih profesi menjadi seorang staff di sebuah toko bento dan singgah di sebuah kota kecil di tepi laut. Meski memiliki masa lalu yang dirasa tabu, Chihiro bukannya malu dengan masa lalunya. Bagian awal film ini bahkan menunjukkan bahwa sebagian pelanggan toko bento sudah tahu masa lalunya, meskipun pemilik toko bento sudah susah payah menutupinya.

Begitulah karakter Chihiro. Nyentrik, tanpa ragu, sekaligus misterius. Ia hidup tanpa penyesalan, bermain tanpa rasa malu akan umur maupun norma yang mengekang perilaku. Ia berkawan dengan siapa saja tanpa melihat latar belakang mereka. Entah ia ketahui atau tidak, pribadinya yang unik itu menarik orang-orang baru dalam hidupnya. Semuanya memiliki satu kesamaan: mereka memiliki masalah hidup masing-masing.

Gelandangan tanpa nama, siswa SMA yang mengalami banyak tekanan hidup, dan anak kecil yang terbiasa ditinggal oleh ibunya, Chihiro mengundang mereka untuk menyantap sekotak bento yang lezat bersamanya. Kisah Chihiro dan ‘pelanggan-pelanggan’ barunya itu pun dikemas dalam alur film yang lambat dan kalem, ditemani sayup-sayup suara laut dan burung camar dari kota dermaga yang menjadi latar film ini.

Dalam artikel ini, saya ingin menunjukkan beberapa poin menarik yang saya tangkap dalam film “Call Me Chihiro”.

 

Nilai Makanan dalam Film Chihiro

review-film-call-me-chihiro-makanan-dan-makhluk-sosial
review-film-call-me-chihiro-makanan-dan-makhluk-sosial (Netflix)


Sudah banyak yang mengomentari alur film Call Me Chihiro yang lambat nan pasif, sehingga saya akan berfokus pada hal lain. Yakni bagaimana posisi simbolik makanan dalam film ini. 

Film ini tidak menampilkan makanan sesering tayangan lain seperti Midnight Diner, Gekikaradou, Rokuhoudo dan sebagainya. Tetapi jangan salah, makanan tetap memiliki peran yang vital dalam pembawaan film ini.

Dari bento, onigiri, dan takoyaki, makanan menjadi sarana berbagi di antara mereka. Baik itu dalam proses menyiapkan makanan, ataupun makan bersama sambil mengobrol. Nikmatnya makanan juga menjadi pelipur sementara dalam kesendirian dan kesusahan yang dialami oleh tokoh-tokoh film ini. Karena seperti ungkapan: the fastest way to a man’s heart is through his stomach. Makanan menjadi cara paling ampuh untuk membuka hati-hati yang menutup diri.

Selanjutnya, film ini juga menunjukkan bagaimana makanan menjadi alat sosial yang membangun koneksi dan komunitas, menjembatani para tokoh dari berbagai latar belakang. Dalam beberapa adegan di film, makanan membuat suasana menjadi santai dan akrab, serta menjadi pemecah kebekuan dalam situasi sosial.

review-film-call-me-chihiro-makanan-dan-makhluk-sosial
review-film-call-me-chihiro-makanan-dan-makhluk-sosial (Netflix)

Mengapa hal ini penting? Karena aspek ini merupakan kontras dari poin selanjutnya. 

 

Esensi Karakter Chihiro

Chihiro sendiri merupakan karakter yang penuh misteri. Ia memiliki sikap yang mudah akrab, mau merangkul tokoh-tokoh lain tanpa segan. Akn tetapi, kita dapat melihat adanya dinding tak kasat mata yang memisahkan Chihiro dengan yang lainnya, bahkan dengan kita sebagai penonton.

review-film-call-me-chihiro-makanan-dan-makhluk-sosial
review-film-call-me-chihiro-makanan-dan-makhluk-sosial (Netflix)

 

Kita tidak benar-benar mengetahui tentang Chihiro sepanjang film ini. Kita hanya mengetahui statusnya sebagai mantan PSK, tetapi tidak tentang siapakah dirinya, bagaimana hubungannya dengan keluarganya, apa yang mempengaruhi cara pikirnya. Pribadi Chihiro yang sebenarnya hanya diimplikasikan dalam sedikit adegan yang harus kita kais untuk mengerti.

Akan tetapi ada satu hal dalam diri Chihiro yang bumbu utama dalam tema film ini.

Chihiro merangkul seorang gelandangan tanpa nama yang sering dihina oleh anak-anak, siswi-siswi SMA yang berada dalam situasi keluarga yang pelik dan tidak merasa cocok dengan kawan-kawannya, seorang anak kecil usil yang harus menjaga dirinya sendiri karena orangtuanya sibuk bekerja. Mereka memiliki satu kesamaan: semuanya kesepian dalam masalah masing-masing. Chihiro menarik mereka bagaikan magnet kesamaan dalam dirinya.

Ia merupakan pribadi yang kesepian tanpa seorang pun yang dapat mengerti dirinya. Menggambarkan dirinya sebagai alien dari planet lain yang tidak dapat dimengerti kecuali oleh mereka yang berasal dari planet yang sama. Kompleksnya rasa kesepian direpresentasikan dengan baik dalam film ini, melalui sikap Chihiro yang misterius dan selalu menjaga jarak meskipun dekat dengan figur-figur lain dalam hidupnya, selalu diam-diam merasa kesepian.

 

Makanan dan Makhluk Sosial


Sejatinya, manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa benar-benar sendirian. Inti dari film “Call Me Chihiro” ini menunjukkan bagaimana kita, sebagai makhluk sosial, menghadapi kesendirian. Kesendirian ini hadir dalam berbagai spektrum. Mulai dari tidak memiliki siapapun, tidak memiliki orang tua yang memiliki kesibukannya sendiri, hingga merasa kesepian meskipun memiliki teman-teman dan keluarga yang dekat. Suasana yang lengang dari latar cerita menambah esensi rasa sepi yang bergema sepanjang film ini. 

Bagaimana cara pribadi-pribadi kesepian ini kemudian menemukan satu sama lain? Melalui makanan.

Dalam hal ini dan banyak hal lainnya, makanan merupakan saluran bagi hubungan dan landasan bagi komunitas. Keberadaan makanan menjadi ekspresi ‘selamat datang’ yang kental. Ia juga mampu memberikan koneksi dan titik awal untuk percakapan, relevan bagi semua orang, tetapi juga bisa menjadi cerita yang sangat pribadi melalui preferensi dan memori yang terlibat. Makanan merupakan simbol empati tanpa kata-kata yang disuarakan antar karakter, mengundang karakter dalam sebuah ruang sementara untuk melepas penat dan rasa sepi yang menggelayuti kehidupan mereka. 

Pada akhirnya, terlepas dari nilai sosial dalam sekotak bento lengkap dengan lauk pauknya,  film ini merupakan potret Slice of Life yang benar-benar realistis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Latar tempat yang stagnan dan menjemukan tetapi diwarnai dengan keunikan dari tokoh-tokoh yang hidup di dalamnya. Manusia sejatinya adalah makhluk sosial yang nggak bisa benar-benar sendirian, dan kita akan terus mencari tempat untuk merasa ‘berada’. Karena itu, film Chihiro sebenarnya cukup terasa menyentuh, karena kesendirian yang dirasakan olehnya dan tokoh-tokoh lain ternyata relateable dengan pengalaman kita yang pasti juga pernah merasakan kesepian. Ketika kita tidak punya siapa-siapa untuk menjadi kawan bercerita, atau ketika kita tidak merasa ‘berada’ dalam lingkungan sosial kita.


REFERENSI

https://asianwiki.com/Call_Me_Chihiro

https://www.tnlcommunityfund.org.uk/media/documents/ageing-better/Ageing-Better-Role-of-Food-in-Building-Connections-and-Relationships.pdf?mtime=20211213115152&focal=none#:~:text=This%20can%20help%20relax%20people,such%20as%20learning%20to%20cook.

https://impactjustice.org/the-deeper-meaning-of-food-in-our-lives/#:~:text=As%20we%20prepare%20to%20share,bond%20with%20others%20through%20food.

Responses (3)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *