Rekayasa genetika merupakan sebuah cabang ilmu biologi yang memanipulasi materi genetik suatu organisme, bagaikan memakan “buah simalakama”, dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati. Istilah ini menggambarkan dilema etika, moral, dan praktis melingkupi eksistensinya. Di satu sisi, rekayasa ini menjanjikan solusi inovatif untuk berbagai tantangan global. Namun di sisi lain, potensi risiko dan dampak jangka panjangnya masih menjadi perdebatan sengit.
Pemanfaatan rekayasa ini menawarkan segudang potensi untuk kemajuan manusia. Dalam bidang pertanian, teknologi ini memungkinkan penciptaan tanaman transgenik yang lebih tahan hama, penyakit, dan kondisi lingkungan ekstrem, seperti kekeringan atau salinitas tinggi. Hal ini dapat berpotensi meningkatkan hasil panen dan mengatasi krisis pangan global. Bayangkan, tanaman padi yang dapat tumbuh subur di lahan kering, atau jagung yang tak rentan terhadap serangan ulat. Di bidang kesehatan, rekayasa genetika telah merevolusi produksi obat-obatan, vaksin, dan terapi gen. Insulin sintetis yang diproduksi melalui bakteri hasil rekayasa genetika merupakan salah satu contoh sukses. Terapi gen memberikan harapan baru bagi penderita penyakit genetik yang sebelumnya tidak dapat disembuhkan, seperti fibrosis kistik (penyakit Huntington), dengan memperbaiki gen yang rusak atau menggantinya dengan gen yang berfungsi normal.
Kekhawatiran dan Risiko
Sisi gelap buah simalakama, ada kekhawatiran dan resiko yang serius menyertai pengembangan rekayasa genetika. Salah satu yang utama adalah potensi dampak ekologis. Pelepasan organisme hasil rekayasa genetika ke lingkungan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem alami. Misalnya, gen resistensi herbisida pada tanaman transgenik dapat berpindah ke gulma, menciptakan “gulma super” yang lebih sulit dikendalikan. Isu keamanan pangan juga menjadi sorotan. Meskipun banyak penelitian menunjukkan produk pangan hasil rekayasa genetika aman dikonsumsi, kekhawatiran tentang potensi alergi, toksisitas, atau efek jangka panjang yang tidak diketahui masih terus diperdebatkan oleh sebagian masyarakat.
Dari segi etika dan moral, rekayasa genetika memicu pertanyaan filosofis mendalam. Sejauh mana kita boleh “bermain Tuhan” dengan memanipulasi kode genetik kehidupan? Isu seperti “desainer bayi” atau kloning manusia menimbulkan dilema moral yang kompleks dan memicu perdebatan panjang tentang batas-batas intervensi manusia terhadap alam.
Baca juga: Rekayasa Genetik: Bisakah Hukum Mengatur Kekuatan Penciptaan?
Landasan Hukum Indonesia
Mengingat kompleksitas serta potensi dampaknya, keberadaan rekayasa genetika di Indonesia diatur dalam beberapa landasan hukum. Regulasi ini bertujuan untuk memastikan pemanfaatan teknologi secara bertanggung jawab dan meminimalis risiko yang mungkin timbul. Salah satu landasan utamanya adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika. Undang-undang ini menjadi payung hukum untuk pengaturan, pengawasan, dan pengembangan produk rekayasa genetika di Indonesia, meliputi tahapan penelitian, pengembangan, pengujian, pelepasan, peredaran, serta pemanfaatan produk rekayasa genetika.
Selain itu ada beberapa peraturan turunan yang juga relevan, seperti: 1). Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika. 2). Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/10/2016 tentang Tata Cara Pelepasan Varietas Tanaman Hasil Pemuliaan dan/atau Produk Rekayasa Genetika. 3). Peraturan Menteri Kesehatan terkait produk farmasi dan pangan hasil rekayasa genetika.
Peraturan-peraturan tersebut membentuk kerangka kerja yang komprehensif untuk memastikan bahwa setiap kegiatan yang melibatkan rekayasa genetika mematuhi standar keamanan hayati yang ketat.
Produk Hasil Rekayasa Genetika
Beberapa contoh produk hasil rekayasa genetika yang telah ada dan digunakan secara luas di masyarakat, seperti: 1). Jagung Bt (Bacillus thuringiensis). Jagung ini disisipi gen dari bakteri Bacillus thuringiensis yang menghasilkan protein insektisida, sehingga tanaman menjadi resisten terhadap serangan hama penggerek batang. 2). Kedelai Roundup Ready: Kedelai ini dimodifikasi genetikanya agar tahan terhadap herbisida glifosat (Roundup), memungkinkan petani untuk menyemprot herbisida tanpa merusak tanaman kedelai. 3). Golden Rice: Padi ini direkayasa genetikanya untuk menghasilkan beta-karoten, prekursor vitamin A, yang bertujuan mengatasi defisiensi vitamin A di negara-negara berkembang. Dan lain-lain.

Dengan demikian, Eksistensi rekayasa genetika memang ibarat memakan “buah simalakama”. Satu sisi ia menawarkan potensi luar biasa untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengatasi berbagai masalah kemanusiaan, namun di saat lain juga membawa risiko dan dilema etika yang tidak bisa diabaikan. Tantangan ke depan adalah bagaimana kita dapat memanfaatkan teknologi ini secara bijaksana, dengan kerangka regulasi yang kuat dan pengawasan yang ketat, demi memastikan bahwa manfaatnya dapat dirasakan secara maksimal tanpa mengorbankan keamanan hayati dan nilai-nilai kemanusiaan.
Referensi:
Jagung Bt | S1 | Terakreditasi | Universitas STEKOM Semarang