Penyalahgunaan Media TIK dalam Perspektif Kepastian Hukum – Era globalisasi saat ini telah banyak menunjukkan kemajuan dalam segala bidang, salah satunya ialah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Peranan teknologi, informasi, dan komunikasi ini telah menempatkan kehidupan masyarakat pada posisi yang strategis karena menghadirkan suatu dunia tanpa batas ruang dan waktu. Pengaruh globalisasi dengan penggunaan sarana teknologi, informasi, dan komunikasi sudah mengubah pola hidup masyarakat dalam berbagai bidang dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini.
Baca juga: Kekayaan Intelektual Jadi Agunan: Jalan Baru Pembiayaan Ekonomi Kreatif
***
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat mempengaruhi dan mengubah berbagai pola kehidupan manusia, salah satunya dengan membentuk masyarakat informasi (information society) melalui internet. Dalam bukunya yang berujudul The Third Wave yang menyatakan bahwa masyarakat telah berkembang dari masyarakat agraris yang lebih mengandalkan hasil-hasil bumi ke masyarakat industri yang mengandalkan hasil industri dan memanfaatkan mesin-mesin dalam proses produksi. Setelah masyarakat industri, masyarakat semakin berkembang lagi menjadi masyarakat informasi yang memiliki tingkat kebutuhan yang tinggi akan informasi sehingga siapa yang menguasai informasi maka akan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
Teknologi mengubah tatanan dan cara hidup masyarakat secara pesat di mana batas ruang dan waktu sudah bukan menjadi kendala besar. Bahkan dengan hadirnya internet semakin mengukuhkan pendapat bahwa teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi budaya yang melekat pada masyarakat saat ini. Kehadiran internet telah membawa dampak yang signifikan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Teknologi mampu membawa manusia kepada tingkat kualitas kehidupan yang lebih baik, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan juga potensi permasalahan sebagai akibat dari penyalahgunaan TIK.
***
Seperti dalam dunia nyata, di dalam dunia maya terdapat juga berbagai bentuk kejahatan. Internet bagai pisau bermata dua telah mengundang berbagai aksi kriminal, baik untuk mencari keuntungan materi, maupun untuk sekedar melampiaskan kejahilan. Hal ini memunculkan kejahatan di dunia maya (cybercrime).
Salah satu bentuk dampak negatif dari teknologi tersebut adalah adanya perdagangan orang melalui cyberspace. Perkembangan peradaban manusia dan kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi sangat memengaruhi berkembangnya modus tindak kriminal perdagangan orang. Perdagangan orang dikenal dengan istilah human trafficking.
***
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama perempuan dan anak tidak secara eksplisit mengatur tentang perdagangan orang yang dilakukan dengan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), akan tetapi jika kita hubungkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dan ditambah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elekteronik (ITE), maka tindak pidana perdagangan orang dalam cyberspace dapat diancam dengan hukum pidana.
Dalam Undang-Undang TPPO menyebutkan delik formil yang menekankan pada perbuatan, terlepas dari akibat yang mungkin ditimbulkan sebagai contoh pada Pasal 2 Ayat (1) yang mengandung makna bahwa tanpa melihat akibat yang terjadi, apakah belum terjadi eksploitasi atau telah terjadi eksploitasi, maka unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang telah terpenuhi yang dengan kata lain seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan motivasi melakukan eksploitasi sudah bisa dikategorikan sebagai perdagangan orang.
***
Menurut Pasal 1 angka 4 UU ITE, Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Sedangkan objek yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan adalah hal-hal yang melanggar adat istiadat yang baik dan sopan santun sesuai dengan norma yang berlaku yang ada pada masyarakat, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari pasal ini berkaitan dengan pertanggungjawaban tindak pidana perdagangan manusia melalui situs online adalah beberapa bentuk sebagai berikut:
- Memasang foto atau gambar pada situs yang melanggar norma kesusilaan dengan maksud melakukan perdagangan manusia.
- Memasang tulisan atau teks pada situs yang melanggar norma kesusilaan dengan maksud melakukan perdagangan manusia.
***
Foto-foto pekerja yang tercantum dalam situs online dan media sosial dapat dikategorikan sebagai alat bukti perdagangan orang yang menggunakan media ITE karena foto juga merupakan suatu bentuk dari informasi dan dokumen elektronik dan diakuinya alat bukti elektronik secara hukum sebagai alat bukti yang sah di muka persidangan tersebut terdapat dalam Pasal 44 UU ITE. Pasal 44 UU ITE tersebut menyebutkan bahwa alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan UndangUndang adalah alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Dengan demikian maka apabila unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang ITE tersebut maka pertanggung jawaban pidananya harus telah memenuhi unsur perdagangan manusia dengan menggunakan media TIK dan ancaman hukumannya adalah primair, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman penjara dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elekteronik merupakan perberatan hukuman ditambahkan dengan subsidair.
***
Sesuai dengan asas kepastian hukum yang menyebutkan bahwa asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara dan asas legalitas yang menyebutkan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang, maka telah memenuhi syarat karena tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang ITE dan perubahannya dapat digunakan untuk membantu proses pidana TPPO, dimana pengaturan mengenai penjeratan hukumnya sampai dengan pembuktiannya tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 UU TPPO yang menyebutkan mengenai alat bukti selain sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Referensi:
Ferina Ayu Ardyta, Skripsi, “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Komersial pada Anak Melalui Media Sosial Online”, Malang: Universitas Brawijaya, 2014, hlm. 4.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010, hlm. 1.
Alvin Toffler, The Third Wave, New York: Bantam Books, 1984, Buku Pertamanya berjudul Future Shock, yang terbit tahun 1970, dan buku ketiganya adalah Powershift: Knowledge Wealth and Violence at the Edge of the 21st Century terbit tahun 1990, dalam Muhammad Amirulloh, Hukum Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Sebagai Hukum Positif di Indonesia dalam Perkembangan Masyarakat Global, Bandung: Unpad Press, 2016, hlm. 4.
David L. Baumer & J. C. Poindexter, Cyberlaw and E-Commerce, McGraw-Hill, New York, USA, 2002, hlm. 4.
Muhammad Amirulloh, Hukum Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Sebagai Hukum Positif di Indonesia dalam Perkembangan Masyarakat Global, Bandung: Unpad Press, 2016, hlm. 4
BPHN, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jakarta: BPHN, 2010, hlm. 2.
Moore, Cybercrime: Investigating High-Technology Computer Crime, Missisippi: Anderson Publishing, 2005, hlm. 8, dikutip dari Devananta, Aria. “Implikasi Cybercrime Pada Bisnis Digital di Indonesia”, 139-146 Jurnal Litbang POLRI, (2021).
Warren G. Kruse, Jay G. Heiser (2002). Computer forensics: incident response essentials. Addison-Wesley. p. 392. ISBN 0-201-70719-5.
Halder, D., & Jaishankar, K. (2011) Cyber Crime and the Victimization of Women: Laws, Rights, and Regulations. Hershey, PA, USA: IGI Global. ISBN 978-1-60960-830-9.
Syaufi, A. (2011). Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. MUWAZAH: Jurnal Kajian Gender, 3(2).
Supriyadi Widodo Eddyono, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP, ELSAM (Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat), 2005, hlm. 2-3.





