Mulai Februari 2024 Wisman ke Bali Wajib Bayar 150.000.
Mulai 14 Februari 2024, wisatawan asing yang berkunjung ke Bali tidak hanya dibebani oleh biaya visa, namun juga pungutan wajib [1]. Selain ditujukan untuk melindungi adat, tradisi, seni-budaya serta kearifan lokal masyarakat Bali, pungutan juga bertujuan untuk memuliakan serta memelihara kebudayaan dan lingkungan alam yang menjadi daya tarik wisata Bali. Besaran biaya yang wajib dibayar oleh wisatawan asing adalah Rp150.000 [2].
Wisatawan asing dapat melakukan pembayaran secara cashless sebelum memasuki Bali, saat tiba di pintu-pintu kedatangan di Bali hingga sebelum meninggalkan wilayah Indonesia. Kepala Dinas Pariwisata Bali, Tjok Bagus Pemayun menyampaikan bahwa dana yang terkumpul akan difokuskan untuk penanganan masalah sampah [3]. Memang, sampah menjadi pekerjaan rumah yang penting untuk diselesaikan pemerintah Bali lantaran isu tersebut kerap kali disorot oleh media asing [4] [5] [6] sehingga mempengaruhi image Bali sebagai destinasi wisata unggulan.
Bukan Hal Baru
Sebenarnya kewajiban membayar ‘pajak’ bagi wisatawan asing bukanlah suatu hal yang baru, dan metode yang digunakan pun beragam. Contohnya, Selandia Baru yang menetapkan IVL (International Visitor Levy) dengan biaya $35 per kunjungan sejak Juli 2019 [7], Sustainable Development Fee di Bhutan sebesar $100/malam [8], dan Kota Venesia di Italia yang menetapkan biaya masuk €5 per hari mulai tahun depan [9].
Ada pula negara yang memasukkan pungutan wisatawan asing melalui pajak yang dimasukkan ke dalam tagihan hotel. Misalnya Perancis dengan range €0.2 – €4 per orang per malam (tergantung di kota mana mereka menginap), Jerman 5% dari total tagihan penginapan, dan Belanda dengan 7% total tagihan penginapan atau kunjungan dengan kapal cruise.
Belanda bahkan berencana akan menaikkan besaran pajak menjadi 12.5% pada tahun depan dan menjadi pajak wisatawan tertinggi di Eropa [10]. Saudara terdekat Indonesia, Malaysia bahkan sejak tahun 2017 memungut pajak turis RM 10 per kamar per malam [11]. Kebijakan tersebut sempat dihentikan saat pandemi, namun dimulai kembali pada 1 Januari 2023.
Baca juga: 5 Wisata Malam di Bali yang Cocok Dikunjungi Bersama Pasangan
Sosialisasi dan Keterbukaan Informasi
Berkaca pada negara tetangga, Selandia Baru menyediakan halaman khusus terkait IVL pada situs Ministry of Business, Innovation and Employment. Pada laman tersebut, Pemerintah Selandia Baru menjelaskan bagaimana IVL dibayar (bersamaan dengan pengajuan visa/New Zealand Electronic Travel Authority bagi warga negara asing yang tidak memerlukan visa), area prioritas, program dan alokasi anggaran, performa keuangan, hingga progress tahunan penggunaan dana [12].
Faktanya, saat ini baik di situs Pemerintah Provinsi Bali belum ditemukan informasi lengkap terkait pungutan wisatawan asing, alur pembayaran maupun rencana penggunaan dana. Diharapkan informasi ini dapat diakses oleh seluruh masyarakat baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.
Selain itu, adanya kejelasan informasi, dokumen perencanaan, transparansi kinerja keuangan dan pelaporan progress implementasi program dapat meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan masyarakat maupun wisatawan mancanegara bahwa biaya yang mereka bayarkan secara nyata memberikan dampak positif bagi destinasi.
Metode Pemungutan
Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 36 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pembayaran Pungutan Bagi Wisatawan Asing, pembayaran dilaksanakan melalui sistem Love Bali/secara non-tunai di counter pada pintu-pintu kedatangan. Langkah tambahan ini terkesan lebih panjang karena mereka harus menginstal aplikasi/membuka web Love Bali, mengisi form dan melakukan pembayaran terpisah (diluar biaya visa maupun akomodasi). Jika wisman tersebut menggunakan Visa on Arrival saat mendarat di Bali, maka durasi yang mereka perlukan untuk pengurusan dokumen di bandara tentu akan meningkat.
Namun demikian, keputusan Pemerintah Bali ini terlihat masuk akal, mengingat bahwa jika pembayaran pungutan diintegrasikan dengan visa (seperti Selandia Baru dan Bhutan) maka ada kemungkinan berimplikasi pada perlunya perubahan regulasi terkait pengelolaan pemasukan dari visa yang merupakan ranah Kemenkumham. Sedangkan, jika mengambil bentuk pungutan melalui pajak hotel (seperti Malaysia dan negara-negara eropa lainnya), maka dana akan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Besaran Pungutan
Sejatinya, kajian yang matang diperlukan untuk menentukan besaran pungutan. Contohnya analisis Willingness to Pay (WTP) untuk mengetahui berapa batasan biaya yang wisman keluarkan sebagai ‘pajak’ turis. Sebuah kajian menemukan bahwa karakteristik socio-demographic dan perilaku berwisata mempengaruhi WTP dan besaran biaya yang mereka berkenan untuk keluarkan. WTP lebih tinggi pada turis berstatus single dan semakin rendah dengan bertambahnya jumlah anak.
Income juga berkaitan dengan besaran biaya yang mereka rela bayarkan [13]. Analisis WTP ini juga dapat membantu pergeseran Bali dari mass-tourism ke quality tourism karena turis berkualitas tentu memiliki WTP lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak, asalkan mereka menerima jasa pariwisata yang berkualitas juga. Sebuah studi menganalisis opini wisatawan terhadap pajak turis yang dipungut berdasarkan akomodasi tempat mereka menginap dari situs TripAdvisor.
Kajian ini menemukan bahwa ada relasi positif antara besaran pajak dengan jumlah keluhan konsumen. Namun demikian, relasi ini melemah pada hotel yang berkualitas tinggi. Dengan kata lain, konsumen kualitas tinggi tidak terpengaruh pada biaya yang mereka keluarkan sebagai pajak turis [14].
Faktor lainnya yang mempengaruhi penentuan besaran pungutan adalah apa area prioritas dan quick win yang akan dicapai. Perlu memperhitungkan berapa proyeksi pendapatan dari pungutan dan berapa alokasi yang diperlukan untuk memenuhi indikator capaian kegiatan. Meskipun penanganan sampah adalah prioritas, bisa jadi kurang feasible menjadi quick win karena sampah Bali sebagian dibawa oleh arus laut [15]. Penanganan sampah sebaiknya menjadi program tahunan yang selalu ada, dan tentunya tidak bermodalkan dari dana pungutan wisman saja- namun juga APBD.
Kesimpulan
- Diseminasi pungutan wajib bagi wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali perlu dilaksanakan dengan baik. Perlu ada halaman yang dapat diakses oleh siapapun termasuk calon wisman yang menjelaskan tentang pungutan, serta tujuan penggunaan dana yang terkumpul.
- Perencanaan kegiatan, penentuan area prioritas/quick win dan pelaporan penggunaan dana yang jelas juga diperlukan. Hal tersebut penting untuk meningkatkan kepercayaan wisatawan dan masyarakat atas pengelolaan dana hasil pungutan.
- Jika berkomitmen menyuguhkan pariwisata berkualitas, maka Bali tidak perlu takut untuk memasang pungutan ‘pajak turis’ tinggi karena wisatawan berkualitas dengan daya beli tinggi tidak akan terpengaruh. Hal ini justru mampu mencegah terjadinya over-tourism di Bali karena secara kuantitas, jumlah wisman yang ‘kurang berkualitas’ akan berkurang.
Referensi
[1] UU Nomor 15 Tahun 2023, Pasal 8 Ayat (3) huruf a
[2] Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2023
[5] https://travel.detik.com/travel-news/d-6666674/tsunami-sampah-di-bali-disorot-media-asing
[6] https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesia-s-tourist-hotspot-bali-has-a-53m-rubbish-problem
[11] https://partnerhub.agoda.com/malaysian-tourism-tax-faqs/
[13] Göktaş, Levent Selman & Cetin, Gurel. (2023). Tourist tax for sustainability: Determining willingness to pay. European Journal of Tourism Research. 10.54055/ejtr.v35i.2813. https://www.researchgate.net/publication/371634431_Tourist_tax_for_sustainability_Determining_willingness_to_pay
[14] Marsi, Antonio and Randon, Emanuela, Tourist Tax and Ratings of Online Reviews (December 13, 2021). Quaderni – Working Paper DSE N° 1168, Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=3984821 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3984821