Opini  

Laut Aral, Perubahan Iklim dan Kontribusi Manusia

Ressy Octaviani
Aral Sea (foto: Pinterest.com)
Aral Sea (foto: Pinterest.com)

Banyak dari kita yang belum menyadari, betapa besar dampak yang ditimbulkan dari buruknya tindakan manusia terhadap alam. Kasus lenyapnya Laut Aral di perbatasan Uzbekistan adalah salah satu contoh nyata, dampak perubahan iklim yang diperparah oleh perilaku manusia. Manusia yang tidak memanfaatkan alam secara bijak, dan tanpa memperhatikan kesinambungan ekologi. 

Kisah lenyapnya Laut Aral disebut sebagai “bencana paling mengejutkan di abad kedua puluh” oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).

Baca juga:

Kisah Masa Depan Bumi Karena Perubahan Iklim

Dampak Perubahan Iklim: Tantangan Kesehatan Mental Anak dan Remaja

Mengenal Laut Aral

Laut Aral, dulunya merupakan danau payau (air asin) terbesar keempat di dunia, yang terletak di Asia Tengah. Membentang melintasi batas antara Kazakhstan di utara, dan Uzbekistan di selatan, serta bagian jalur sutra perdagangan (silk road). Dengan luas sekitar 68.000 kilometer persegi, Laut Aral hampir dua kali lipat luas wilayah Jawa Tengah. Selama ribuan tahun, Laut Aral menjadi muara dua sungai besar, Amu Darya dan Syr Darya. Karena tidak memiliki aliran keluar, permukaan air laut dipertahankan melalui keseimbangan alami antara aliran masuk dan penguapan dari dua muara sungai tersebut.

Selama berabad-abad lamanya, Laut Aral dan sungai-sungai itu telah menjadi sumber kehidupan di Asia Tengah. Menjadi bagian jalur sutra perdagangan yang menghubungkan Tiongkok dengan Eropa, dan terdapat berbagai permukiman dari masyarakat suku Tajik, Uzbek, Kazakh. Masyarakat dari suku-suku tersebut hidup makmur bermukim di kawasan Aral, menggantungkan hidup mereka sebagai petani, nelayan, pedagang, pengembala, hingga pengrajin.

Sejarah Lenyapnya Laut Aral 

Dimulai pada tahun 1960-an, saat Uni Soviet memulai penanaman kapas secara besar-besaran dan membutuhkan air yang sangat banyak untuk irigasi. Kapas merupakan salah satu tanaman yang boros air, sedangkan iklim di kawasan tersebut kering sehingga tidak cocok untuk menanam kapas. 

Uni Soviet sangat berambisi dalam proyek pertanian kapas raksasa yang mereka luncurkan. Dimulai dengan menggali ribuan kilometer saluran irigasi secara manual dari dua muara sungai Laut Aral. Beberapa tahun seterusnya, Soviet terus menambah saluran irigasi hingga pasokan air sungai sudah tak mampu mengimbangi penguapan air laut. 

Setelah itu, proyek irigasi tersebut tidak lagi berkelanjutan. Lambat laun air Laut Aral mengering, menyisakan gurun garam yang luas. Laut Aral telah kehilangan 75% luas permukaannya dan 90% volume airnya dalam kurun waktu 50 tahun.

Kejahatan Uni Soviet

Uni Soviet secara sadar telah melakukan kejahatan ekologi, seperti yang dilansir oleh website “National Geographic”. Tertulis dalam artikel berjudul “Sins of the Aral Sea”, saat mewawancarai Yusup Kamalov, peneliti senior energi angin Akademi Ilmu Pengetahuan Uzbekistan. Dia juga seorang aktivis lingkungan, Ketua Persatuan Pertahanan Laut Aral dan Amu Darya. 

Kamalov mengatakan bahwa, para pejabat Departemen Perairan Soviet sering mengutip karya dari Aleksandr Voeikov. Seorang ahli klimatologi Rusia yang pernah menyebut Laut Aral sebagai “evaporator tanpa guna” dan “kesalahan alam”. Dengan berpegang pada kutipan tersebut, Uni Soviet menganggap perairan Laut Aral memang akan punah karena kesalahan alam itu sendiri. Uni Soviet menilai bahwa kapas lebih penting daripada ikan.

Dampak Sosial Ekonomi

Laut aral pernah menjadi rumah bagi 24 spesies ikan, yang pernah memasok bisnis perikanan penduduk lokal. Setelah mengeringnya laut aral, sebanyak 3,5 juta orang yang tinggal di wilayah tersebut mengalami berbagai dampak sosial ekonomi. Masyarakat sekitar mengalami berbagai masalah kesehatan, hilangnya mata pencaharian, dan kondisi kehidupan yang benar-benar hancur. 

Industri perikanan dan pengalengan yang dulu berkembang pesat seketika lenyap. Semua digantikan oleh masalah kesehatan, seperti anemia, tingginya angka kematian ibu dan bayi, serta penyakit pernapasan dan pencernaan. Beberapa masalah kesehatan tersebut disebabkan oleh terpaparnya debu garam yang beracun dari dasar laut yang mengering.

Perubahan Iklim dan Kontribusi Manusia

Mengeringnya Laut Aral juga merupakan gambaran dari perubahan iklim global yang makin meluas, dimana kontribusi manusia tidak bisa dianggap remeh. Pembangunan tanpa mempertimbangkan batas keberlanjutan alam, penggunaan air tanpa efisiensi, dan tindakan lain yang mengabaikan prinsip ekologi. 

Semua itu memberikan sumbangan pada perubahan iklim yang dihadapi saat ini, dampaknya menambah kerusakan yang terjadi. Sehingga musim panas disana menjadi lebih panjang, dan musim dingin menjadi lebih pendek. 

Upaya Restorasi dan Keberlanjutan

Bendungan Kokaral

Pemerintah dari negara-negara yang termasuk dalam kawasan Aral, bersama lembaga internasional sedang berusaha mengatasi masalah ini lewat berbagai proyek. Pada Agustus 2005, Pemerintah Kazakhstan dibantu oleh Bank Dunia membangun “kokaral”, sebuah bendungan sepanjang 13 kilometer. Proyek bendungan untuk memisahkan wilayah yang kering dengan yang masih dialiri air, agar ikan dapat memenuhi kembali perairan yang tersisa. Berkat “kokaral”, dua tahun kemudian permukaan air meningkat sebanyak empat meter dan salinitasnya menurun drastis sangat berpengaruh dalam mengurangi penyakit.

Cara Lain

  • Membatasi irigasi (penarikan 92 persen air). Namun, empat dari lima bekas Republik Soviet malah bermaksud memperluas irigasi untuk memberi makan populasi yang terus bertambah.
  • Beralih menanam tanaman yang tidak terlalu membutuhkan banyak air. Tetapi, dua negara pengair utama (Uzbekistan dan Turkmenistan) bermaksud mempertahankan kapas demi keuntungan agar mendapatkan mata uang asing.

Kesimpulan

Pembelajaran bagi Keberlanjutan Lingkungan Global

Kasus Laut Aral mengajarkan kita, tentang pentingnya kesadaran dan tanggung jawab dalam menjaga keseimbangan alam. Setiap negara di dunia harus mengambil pelajaran dari Laut Aral, bahwa penanganan lingkungan yang tidak berkelanjutan akan menghasilkan dampak merugikan. Dampak tersebut tidak hanya bagi lingkungan tapi juga bagi kehidupan manusia. 

Keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas dalam setiap pembangunan dan kebijakan. Dengan membangun kesadaran global dan bertindak bersama, kita masih bisa mengharapkan masa depan yang lebih baik untuk bumi dan generasi yang akan datang.

Referensi

https://www.nationalgeographic.com/magazine/article/vanishing-aral-sea-kazakhstan-uzbekistan

https://www.britannica.com/place/Aral-Sea/Environmental-consequences

https://www.worldbank.org/en/results/2005/09/01/saving-a-corner-of-the-aral-sea

https://www.un.org/en/chronicle/article/dry-tears-aral

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *