Hukum  

Spiritual Atau Quasi Spiritual

Penulis: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Dosen Universitas Al Azhar

Adhianti Wardhani
studying (https://pixabay.com)
studying (https://pixabay.com)

Spiritualitas adalah keyakinan akan adanya kekuatan yang berasal dari luar dirinya sendiri, misalnya agama atau budaya (Permana, 2021). Ruang kosmologi manusia tidak pernah membuang gagasan spiritual sama sekali. Manusia masih terus bergerak untuk menyerap dan sekaligus menumbuhkan kesadaran ruang spiritualitasnya. Manusia yang menerima kesadaran akan adanya gagasan serba ruh ini menjadi gelap ketika tidak lagi mampu membedakan apakah yang bertumbuh dalam dirinya adalah nilai spiritualisme ataukah justru ego yang menyeruak.

Kesadaran spiritual berarti menyadari adanya kekuatan adi kodrati, kekuatan Yang Maha Agung atas segenap semesta alam termasuk diri manusia. Bangunan keyakinan atas ide spiritual ini acapkali merupakan sebuah quasi spiritual (spiritual semu) dan bukanlah nilai spiritual yang sebenarnya, karena yang hadir adalah ego.

Ego tersamar dalam bentuk spiritual

Ego tersamar dalam bentuk spiritual yang menipu, ketika yang dihadapinya adalah arogansi ego yang bertumbuh dan sekaligus menubuh dalam kesadarannya. Hadirnya Covid-19 dalam perspektif ruang ide spiritual adalah munculnya sebuah kesadaran akan kehendak Allah sebagai kekuatan adi kodrati atas manusia. Munculnya sebuah virus adalah sebuah bentuk mutlak kehendakNya yang hingga kini sulit terbendung oleh rasionalitas manusia.

Kesadaran spiritual hanyalah sebuah penampilan semata, karena yang hadir ternyata hanya quasi spiritual. Manusia, lalu menjadikan virus ini sebagai unjuk kekuatan ego. Sebagian manusia dengan quasi spiritualnya tanpa menggunakan rasionalitasnya menganggap remeh kehadiran virus ini. Protokol kesehatan tidak dilakukan karena yang terpenting adalah kepasrahan total atas kehendak Allah. Fatalisme telah berbaur dengan ketidakfahaman dan ketidakpedulian. Spiritualitas semacam ini bukanlah spiritualitas yang sesungguhnya. Spiritualitas yang hadir hanyalah sebuah pelarian psikologis, obsesi, serta kebutuhan ruhaniah sesaat (Suwanto, 2022).

Virus adalah makhlukNya dan ia akan tunduk pada Allah. Tidak takut pada virus, hanya takut pada Allah semata adalah sebuah kebenaran, tetapi menganggapnya remeh dan mengabaikannya atau bahkan tidak mempercayainya bahwa virus itu ada justru bertentangan dengan hakikat nilai spiritualitas itu sendiri. Ia tak menyadari bahwa yang hadir dalam dirinya bukanlah nilai spiritual melainkan ego berwujud quasi spiritual yang menyergap kesadaran.

Equilibrium Rasionalitas dan Spiritualitas

Dalam tubuh ada 3 sarana yang menghidupkan manusia: akal untuk berfikir, jiwa spiritual intuitif untuk merasa, dan ruh yang menghidupkan manusia secara utuh. Rasionalitas akal dan jiwa-rasa spiritual dapat difahami, dan hanya komponen ruh yang tak tersentuh dan tak dapat difahami karena ia menjadi sebuah rahasia Allah.

Akal mengikat agar rasa dan jiwa tidak menjadi liar sebagai bentuk luapan ego kehendak manusia. Akal mengajak manusia untuk mampu membedah dan mencerna, juga memilah antara kebaikan dan keburukan. Akal bekerja bersama dengan rasa mengarahkan manusia untuk berada dalam jalur ketuhanan. Al Ghazali menekankan akan adanya relasi rasionalitas dan keyakinan karena pengetahuan itu tidak hanya berkaitan dengan realitas tetapi juga metafisis. Untuk itu harus sejalan antara gerak akal dan kalbu (Cholik, 2015).

Akal dan rasa menuntun manusia untuk mencerna kehadiran Allah dalam dirinya sendiri. Bahwa dirinya bukan semata bentuk dari wujud eksistensi tanpa memahami ruang illahiyah yang telah tertanam. Keduanya bekerja saling mendukung untuk merekonstruksi manusia yang telah keluar dari jalanNya. Tarikan-tarikan spiritual membawanya kembali hadir dari gelap jalan. Rasionalitas dan spiritualitas manusia adalah Cahaya Tuhan yang membuka selubung tabir gelap jalan yang ditempuh.

Spiritualitas manusia

Spiritualitas manusia adalah meyakini adanya kekuatan Allah Sang Adi Kodrati dalam diri sekaligus menghadirkan rasionalitas akal sebagai kendali atas tubuh yang berkehendak. Sejak penciptaan Adam a.s. hingga turunnya Qur’an kepada Rasulullah SAW, tidaklah pernah terlepas dari realitas akal. Manusia dengan akalnya akan mampu membedakan mana yang salah dan benar, juga baik dan buruk. Akal menempati ruang penting dalam struktur tubuh manusia, dan dengan itu manusia menjadi manusia.

Manusia bersama akal dan jiwa spiritualnya membangun sebuah kesadaran untuk mengenal eksistensinya dihadapan Allah dan semesta alam. Bahwa akal juga mengajarkan pada manusia atas eksistensi Allah melalui tanda yang Dia hadirkan. Bahwa akal juga menyadari sepenuhnya akan kebutuhan mendasar manusia atas sebuah kekuatan adi kodrati sebagai kekuasaan maksima yang dapat dijadikan tempat berlindung baginya.

Kehendak manusia terpandu oleh hadirnya rasionalitas akal dan spiritualitas jiwa untuk mampu menekan ego yang justru acapkali hadir tersamar. Rasionalisme dan ruang spiritualisme menjadi sebuah alat yang membendung ego yang hadir menyamar sebagai spiritualitas, akan tetapi sesungguhnya ia hanyalah quasi yang menipu.

Relasi rasionalitas dan spiritualitas

Relasi rasionalitas dan spiritualitas juga bertujuan untuk memahami manusia dengan segala problematikanya. Memahami segala kesulitan, penderitaan, kesedihan, dan apapun itu membutuhkan segenap kapasitas kemanusiaan. Akal tidak mampu bekerja sendiri, demikian pula dengan intuisi rasa manusia. Keduanya bekerja dalam keseimbangan, memadukan dua kekuatan untuk kemudian diarahkan dalam penyelesaian problematika kemanusiaan yang terjadi. Akal harus difahami sebagai daya gerak berfikir ruhani dan bukan gerak otak semata (Harianto, 2019).

Rasa spiritualitas ketuhanan selalu bekerja harmonis dengan kekuatan akal secara seimbang. Inilah yang mampu membawa manusia untuk terhindar dari quasi spiritual yang memabukkan nalar. Bahwa nilai ketuhanan yang diperoleh sejatinya selalu diletakkan dalam relasi kemanusiaan. Hubungan relasional manusia selalu berada dalam jangkauan kesadaran spiritual. Bahwa terdapat keselarasan dan hubungan integral antara spiritualitas manusia dengan aktivitas fikir. Akal efektif dalam geraknya seiring dengan cahaya Illahi (Kamba, 2019).

 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi dan segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Qs.Al Baqarah:164).

Responses (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *