News, Opini  

Problem Kemanusiaan Palestina: Masih Adakah Hukum Internasional?

Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor Universitas Al Azhar Indonesia

admin
Fokky Fuad Wasitaatmadja
Problem Kemanusiaan Palestina: Masih Adakah Hukum Internasional? (foto: Fokky Fuad)

Berikut ini adalah sebuah artikel yang berjudul “Problem Kemanusiaan Palestina: Masih Adakah Hukum Internasional?” di tulis oleh Fokky Fuad Wasitaatmadja, beliau adalah  Associate Professor Universitas Al Azhar Indonesia.

Konflik Palestina telah terjadi sejak puluhan tahun dan hingga kini masih terus melahirkan problematika kemanusiaan yang tiada henti.

Politik Balas Budi

Problem kemanusiaan terus terjadi sejak gerakan Zionisme dikumandangkan menjelang Abad XX. Theodore Hertzl (1860-1904) menginginkan sebuah negara Yahudi moderen yang tidak saja menguasai tanah Palestina, tetapi lebih jauh lagi yaitu kepemimpinan Yahudi atas dunia (Satrianingsih & Abidin, 2016).

Diaspora bangsa Yahudi yang telah menyebar sejak Abad XX SM mendapatkan sebuah momentum untuk menuju tanah yang dijanjikan guna membangun peradaban moderen Yahudi. Zionisme, sebuah gerakan kembali ke Tanah Palestina, sesungguhnya telah dikumandangkan oleh para pemuka agama Yahudi sekitar Abad XVI-XVII. Pada tahun 1914 atas dukungan dari seorang pengusaha Yahudi Perancis ternama, Baron Edmond de Rothschild, sebanyak 14.000 imigran Yahudi telah menempati tanah-tanah pertanian di Palestina (Britannica, Oktober 2023).

Masuknya para imigran ini kemudian dilanjutkan dengan Deklarasi Balfour (Balfour Declaration) yang menyatakan bahwa Tanah Palestina sebagai rumah nasional bangsa Yahudi. Deklarasi yang dibuat di Inggeris ini menunjukkan secara tegas dukungan Inggeris yang sangat besar pada saat itu terhadap terbentuknya Negara Yahudi Israel di Tanah Palestina. Selain Inggeris dukungan terhadap Deklarasi Balfour juga muncul dari Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, Perancis, serta Polandia (Republika, 2021).

Hadirnya negara Yahudi Israel inilah yang telah melahirkan problematika kemanusiaan hingga kini. Tragedi kemanusiaan yang tiada henti terus terjadi sejak berdirinya Negara Yahudi Israel ini. Munculnya Deklarasi Balfour di atas tidak lepas dari adanya dukungan kelompok-kelompok Yahudi Eropa kepada Inggeris untuk memenangkan Perang Dunia I atas Turki (https://www.archives.gov/milestone-documents/press-release-announcing-us-recognition-of-israel).

Hukum Internasional dan Tragedi Kemanusiaan 

Hadirnya negara Israel telah menimbulkan tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Ide untuk menciptakan sebuah negara yang berbasis pada keyakinan teologi secara nyata telah memunculkan beragam penderitaan bagi warga non Yahudi di Tanah Palestina, baik Islam maupun Kristen. Perdamaian menjadi sulit tercipta di Tanah Palestina. Warga Palestina baik Muslim maupun Kristen mendapatkan label sebagai pelaku teroris dan ekstrimis (Le Blanc, 2010: 10). Pada sisi lain dukungan terhadap proses penjajahan Israel terhadap Palestina terus terjadi, sebagai bentuk balas budi atas dukungannya dalam Perang Dunia I.

Jika diurut proses sejak berdirinya Negara Israel, korban telah mencapai jutaan nyawa melayang. Kasus yang sangat mengenaskan adalah terjadinya pembantaian Sabra-Shatila pada tahun 1982 yang menewaskan sekitar 4000 warga Palestina (Al-Jazeera, 2022). Korban yang terjadi dalam kekerasan Israel di tanah Palestina pada bulan September-Oktober 2023 kini telah mencapai lebih dari 5000 jiwa dengan sekitar 50.000 jiwa mengalami luka-luka akibat serangan Israel ke tanah Palestina.

Pertanyaan yang selalu muncul adalah: bagaimanakah peran hukum Internasional guna mampu melindungi warga Palestina dari penjajahan Israel? Hukum Internasional yang dikembangkan sebagai bentuk eksistensi manusia yang beradab mendapat pertanyaan tajam hingga kecaman. Apakah hukum Internasional itu ada? Ataukah hukum Internasional hanyalah sebagai perlindungan bagi kekuatan politik internasional atas nama hukum?

Fakta Penjajahan Israel di Tanah Palestina

Dalam kasus Palestina vs Israel tentang fakta penjajahan Israel di tanah Palestina, hukum Internasional sama sekali tidak berfungsi. Masyarakat Internasional tidak mampu mengadili tokoh-tokoh Israel dalam kejadian tragedi kemanusiaan hingga kini (Yuliantingingsih, 2009). Bahkan Israel sejak lama telah dengan sengaja menghancurkan properti dan rumah–rumah warga Palestina. Pihak Israel berdalih bahwa warga Palestina yang berada dalam wilayah pendudukannya tidak termasuk dalam objek yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa, karena warga Palestina dituduh sebagai pendukung terorisme (The Conversation, 2023).

Tragedi yang terjadi sejak awal pendirian negara Israel hingga kini terhadap warga Palestina tidak mampu terjangkau oleh hukum Internasional. Kejahatan yang dilakukan selalu didukung oleh kekuatan politik negara besar. Tampak jelas dalam kasus pendudukan Israel terhadap Palestina memberikan gambaran bahwa hukum Internasional sama sekali tidak bekerja. Hikmahanto Juwana bahkan menegaskan bahwa Hukum Internasional hanya dijadikan alat legitimasi oleh beberapa pihak, dan bukan dijadikan sebagai pedoman perilaku (Republika, 2021). Lina Hastuti, Pakar Hukum Internasional Universitas Airlangga, menjelaskan bahwa sulitnya penyelesaian konflik Israel vs Palestina syarat dipengaruhi oleh kepentingan politik internasional (https://fh.unair.ac.id/en/konflik-palestina-dan-israel-pentingnya-memahami-jenis-konlik-internasional-dari-sudut-pandang-hukum-dan-politik/).

Pertanyaan lebih dalam juga patut ditujukan pada tujuan dari penciptaan hukum itu sendiri. Apakah kepastian hukum itu ada? Apakah itu hanya sebuah utopia dalam pembentukan hukum itu sendiri? Hukum yang dijalan dengan penuh kepastian mengandung makna bahwa semua hal tentunya dapat diprediksi (predictability), selain itu bahwa aturan hukum sejatinya menjadikan setiap individu mengetahui mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang untuk dilakukan (Marzuki, 2017). Dengan terjadinya proses dehumanisasi pada kasus pendudukan Palestina, tampaknya perlu dipertanyakan kembali hakikat kepastian hukum itu sendiri. Layakkah hukum dinyatakan bersifat pasti terlaksana ketika hukum sekedar menjadi alat legitimasi kepentingan politik negara adi daya?

Baca juga: Spiritual Atau Quasi Spiritual

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *