5 Falsafah Sunda yang Layak Diamalkan dalam Kehidupan

Urang Sunda. FOTO: Instagram/ Kasepuhan Cipta Mulya

Sebagai negara yang memiliki keragaman suku, ras dan budaya, Indonesia tak kekurangan ilmu-ilmu spiritual budaya yang khas. Ajaran tersebut muncul secara turun temurun dari nenek moyang hingga kita kenal sampai sekarang. Salah satunya adalah tentang ajaran falsafah kuno, siloka, pepeling, atau pepatah orang zaman dulu yang mempunyai makna mendalam.

Dalam Budaya Sunda falsafah tersebut menjadi pegangan hidup bagi orang-orang yang menjalankannya. Orang Sunda percaya bahwa ada aturan atau pun tata cara hidup yang perlu dijalankan agar mencapai keselamatan, kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan bermasyarakat.

Dari banyaknya falsafah tersebut, penulis akan menguraikan lima falsafah saja yang populer dan menjadi pegangan hidup dalam budaya Sunda.

Langsung saja kita simak, inilah 5 Falsafah Sunda yang layak diamalkan dalam kehidupan

 

1). Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh

Orang Sunda memiliki konsep sosial bermasyarakat yang berpedoman pada ajaran 3 A (Asah, Asih Asuh). Yakni sebagai makhluk sosial sudah seyogyanya kita saling mengasah atau menajamkan dalam hal positif seperti saling mengajari, mengayomi. Juga saling asih yakni saling menyayangi dan juga asuh yang berarti saling menjaga satu sama lain.

Apabila ketiga falsafah ini dijalankan oleh tiap Individu dalam kehidupan sosial maka sudah pasti akan tercipta tatanan dan kehidupan masyarakat yang damai, nyaman dan harmonis. Tanpa ada pertikaian, perselisihan atau pun permusuhan.

Dan falsafah ini bukan hanya ditujukan pada orang Sunda saja, tapi juga semua kelompok, golongan, ras atau agama apapun karena ini adalah konsep universal tentang kehidupan bermasyarakat untuk seluruh umat manusia di dunia.

 

2). Ulah Kumeok Samemeh Dipacok

Falsafah ini mengandung arti bahwa kita jangan menjadi orang pengecut atau pun penakut dalam hal positif. Kita tidak boleh menyerah sebelum mencoba begitu kira-kira. Tidak boleh kalah sebelum berperang.

Meski apa yang kita hadapi itu mungkin mengandung resiko, penuh ujian dan bahkan amat mustahil dicapai, tapi apa salahnya kita mencoba dan menjalaninya terlebih dahulu.

Falsafah ini juga membentuk mental kita menjadi seorang Ksatria. Apapun yang terjadi yang terpenting kita sudah berani maju untuk mencoba dan melakukan apa yang menurut kita berat, sulit atau mustahil. Kita tak akan pernah lagi tinggal dalam zona nyaman apabila selalu ingat dan mengamalkan falsafah ini.

 

3). Ulah Agul Ku Payung Butut

Apabila orang Jawa punya falsafah “Ojo Dumeh” maka orang Sunda punya falsafah “Ulah Agul Ku Payung Butut“, keduanya memiliki makna yang sama, yakni kita sebagai manusia jangan pernah bersikap sombong, angkuh atau pun jumawa dengan apa yang kita miliki.

Baik itu harta, pangkat, jabatan, ilmu atau keterampilan. Karena sejatinya semuanya itu adalah titipan dan pemberian Tuhan.

Apalagi yang disombongkan adalah “payung butut” alias harta benda yang tidak seberapa, atau kemampuan yang tidak ada apa-apanya. Maka celakalah apabila kita senantiasa sombong, angkuh atau jumawa dengan apa yang kita miliki. Senantiasa ingatlah falsafah ini agar kita terhindar dari sikap sombong dan angkuh.

 

4). Kudu Hade Gogog, Hade Tagog

Hade Gogog secara harfiah bisa diartikan bagus atau baik dalam berucap. Selalu berucap yang baik-baik dan positif. Tidak pernah mengumpat, mengeluarkan kata-kata kotor atau menyakiti orang lain dengan ucapan yang tidak semestinya. Sementara Hade Tagog bisa diartikan bagus, atau baik dalam penampilan dan perbuatan.

Orang yang “Hade Gogog, Hade Tagog” otomatis akan lebih disukai dan lebih mudah diterima oleh pergaulan sosial. Dibanding orang yang tidak bisa menjaga ucapan, perkataan penampilan dan perbuatannya. Maka apabila anda ingin disukai banyak orang pastikan anda sudah menjadi pribadi yang Hade Gogog, Hade Tagog. Selalu hati-hatilah dalam berucap dan bersikap dalam pergaulan sosial.

 

5). Kudu Bisa Ngigel Jeung Ngigelkeun Zaman

Falsafah ini mengajarkan pada kita untuk mampu beradaptasi dan mengikuti perkembangan zaman tanpa harus ikut-ikutan. Bahasanya gaulnya jangan kudet (kurang update). Tapi jangan juga kita dipermainkan oleh zaman yang justru kita malah terlalu jauh mengikuti arus zaman sehingga lupa dengan jati diri kita yang sesungguhnya.

Singkatnya kita harus mampu beradaptasi dan up to date dengan perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan tradisi dan warisan budaya leluhur kita. Itulah yang dimaksud “Ngigelkeun Zaman”. Jadi kita mampu beradaptasi dengan zaman, tidak gaptek dan tidak ketinggalan zaman.

Itulah 5 falsafah Sunda yang bisa kita ingat kembali untuk dijadikan sebagai pegangan agar kita tidak salah arah dan tidak salah kaprah dalam menjalani hidup. Sehingga kita mampu meraih kedamaian, keselamataan dan juga kesejahteraan yang hakiki.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *