Sentralisasi UU Tambang: Tantangan Otonomi Daerah – Di tengah gemuruh mesin penggali dan debu yang mengepul, sebuah pertanyaan menggema di antara bukit-bukit tambang yang terkoyak: “Siapa sesungguhnya yang memiliki kekayaan bumi ini?”
Jauh di Jakarta, di balik pintu-pintu kantor pemerintahan yang tertutup rapat, palu sidang mengetuk dengan tegas, menandai lahirnya sebuah undang-undang baru. Sementara itu, di balai-balai desa terpencil di pelosok Kalimantan, Sumatra, dan Papua, para kepala adat dan pemimpin lokal duduk dengan wajah cemas, membicarakan masa depan tanah leluhur mereka yang kini berada di ujung tanduk.
Sebuah Babak Baru Pertarungan Kepentingan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengubah lanskap politik dan ekonomi Indonesia, mengguncang keseimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah yang telah dibangun selama dua dekade reformasi. Di satu sisi, janji efisiensi dan koordinasi yang lebih baik menggiurkan. Di sisi lain, hantu sentralisasi masa lalu mengintai, mengancam akan melahap kembali otonomi yang telah diperjuangkan dengan susah payah.
Inilah kisah tentang pertarungan kepentingan, antara mimpi pembangunan nasional dan hak pengelolaan sumber daya lokal. Perdebatan ini bukan hanya tentang tambang, tapi juga tentang masa depan Indonesia. Bagaimana kita mengelola kekayaan alam akan mempengaruhi demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Kita perlu menyeimbangkan kepentingan nasional dan daerah. Tantangannya adalah memastikan daerah mendapat manfaat dari sumber dayanya, sambil tetap menjaga koordinasi nasional yang baik.
Apakah kita sedang menyaksikan babak baru kemajuan, atau justru langkah mundur dalam perjalanan bangsa? Mari kita telusuri bersama, dalam sebuah eksplorasi yang tak kalah menantang dari penggalian tambang terdalam sekalipun.
Perdebatan Mengenai Prinsip Desentralisasi
Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah menimbulkan perdebatan terkait hubungannya dengan prinsip desentralisasi yang selama ini dianut Indonesia. Perubahan ini dianggap oleh sebagian pihak sebagai langkah mundur dalam implementasi otonomi daerah, khususnya di sektor pertambangan.
Baca juga: All Ayes on Papua, Keadilan Bagi Seluruh Oligarki!
Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Sejak era reformasi, Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuannya adalah memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya dan mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Dalam konteks pertambangan, kebijakan ini memungkinkan pemerintah daerah berperan aktif dalam pengelolaan sektor tersebut.
Sebelum disahkannya UU Minerba No. 3 Tahun 2020, pemerintah daerah memiliki peran krusial dalam mengelola aktivitas pertambangan di wilayahnya. Mereka dapat bertindak sebagai mediator jika terjadi konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat setempat. Bahkan, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menghentikan sementara atau mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) jika ada laporan pelanggaran oleh perusahaan tambang.
Namun, UU Minerba No. 3 Tahun 2020 telah mengubah paradigma ini secara signifikan. Kewenangan yang sebelumnya dimiliki oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota kini dialihkan ke pemerintah pusat atau provinsi. Akibatnya, jika terjadi kerugian akibat aktivitas pertambangan, seperti kerusakan lingkungan atau konflik sengketa lahan, pemerintah daerah setempat tidak lagi memiliki wewenang untuk mengambil tindakan langsung.
Perubahan ini menimbulkan tantangan baru dalam upaya menyelaraskan UU Tambang dengan semangat otonomi daerah. Masyarakat yang tinggal di wilayah pertambangan, terutama di daerah terpencil, kini harus melapor ke pemerintah pusat atau provinsi untuk menyuarakan keluhannya. Hal ini tidak hanya memperpanjang proses penanganan masalah, tetapi juga bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Beberapa Poin Krusial
UU No. 3 Tahun 2020 dan Sentralisasi: UU No. 3 Tahun 2020 membawa perubahan signifikan dalam pengelolaan sektor pertambangan. Beberapa poin krusial yang dianggap mengarah pada sentralisasi antara lain Peralihan kewenangan penerbitan izin pertambangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, Pengaturan Wilayah Pertambangan (WP) yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, dan Penghapusan kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan wilayah pertambangan rakyat.
Perubahan ini dianggap tidak selaras dengan semangat desentralisasi karena Mengurangi peran pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya, Berpotensi mengabaikan kepentingan dan kondisi spesifik daerah dalam pengambilan keputusan, dan Dapat menghambat pembangunan daerah yang berbasis potensi lokal.
Solusi untuk Menyelaraskan
Untuk menyelaraskan UU No. 3 Tahun 2020 dengan prinsip desentralisasi, beberapa langkah dapat dipertimbangkan:
- Melakukan revisi terhadap UU No. 3 Tahun 2020 untuk mengembalikan beberapa kewenangan ke pemerintah daerah, terutama dalam hal penerbitan izin untuk pertambangan skala kecil dan menengah.
- Membangun mekanisme koordinasi yang lebih kuat antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sektor pertambangan. Ini bisa mencakup pembentukan badan koordinasi khusus atau forum konsultasi reguler.
- Menetapkan pembagian kewenangan yang lebih jelas antara pusat dan daerah, dengan mempertimbangkan skala dan dampak kegiatan pertambangan.
- Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola sektor pertambangan melalui pelatihan, bantuan teknis, dan transfer pengetahuan dari pusat ke daerah.
- Melakukan evaluasi berkala terhadap implementasi UU untuk mengidentifikasi area-area yang memerlukan penyesuaian agar lebih selaras dengan prinsip desentralisasi.
Meskipun UU No. 3 Tahun 2020 membawa perubahan signifikan yang cenderung sentralistik, masih ada ruang untuk menyelaraskannya dengan semangat desentralisasi. Diperlukan komitmen dari semua pihak untuk mencari keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah dalam pengelolaan sektor pertambangan. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat menciptakan sistem tata kelola pertambangan yang efektif, berkelanjutan, dan selaras dengan prinsip otonomi daerah.
Referensi:
https://peraturan.bpk.go.id/Details/138909/uu-no-3-tahun-2020
https://ojs.rewangrencang.com/index.php/JHLG/article/view/336