Pariwisata Indonesia: Ancaman Pidana Pre-Marital Sex Campuran

Fokky Fuad Wasitaatmadja (Universitas Al Azhar Indonesia) dan Yetti Rochadiningsih (Kemenparekraf/Baparekraf RI)

Adhianti Wardhani

Pariwisata Indonesia: Ancaman Pidana Pre-Marital Sex Campuran

Kebutuhan manusia untuk menyalurkan hasrat seksualitasnya dapat dilihat dari dua pendekatan filsafat dan budaya hukum. Filsafat liberal eropa melahirkan budaya kebebasan tubuh sedangkan filsafat komunal timur melahirkan konsep kepemilikan komunal atas tubuh.

Dalam pendekatan filsafat liberal, kebebasan menjadi dasar gerak perilaku manusia. Tubuh bukanlah sebuah objek yang terikat oleh kehendak kekuasaan publik akan tetapi dikendalikan sepenuhnya oleh sang pemilik tubuh dalam ruang privat secara mutlak.

Dalam pendekatan filsafat timur objek yang hadir tidaklah dikuasai sepenuhnya oleh si pemilik akan tetapi kepemilikan komunal dimana sebuah objek dimiliki juga oleh orang lain. Prinsip komunalitas bermakna kebersamaan yang kuat.

Bahwa setiap subjek manusia dan juga objek benda dimiliki secara semi otonom oleh diri pribadi dan publik. Terdapat fungsi sosial terhadap setiap kepemilikan atas sebuah objek. Hal ini berlaku pada konsep kepemilkan tubuh.

Kepemilikan atas tubuh tidak dimiliki secara absolut oleh sang pemilik akan tetapi terdapat pengendalian diluar dirinya untuk ikut mengatur tubuh sebagai sebuah objek. Maka tersusunlah norma-norma kultural yang mengendalikan bagaimana seseorang harus memfungsikan tubuhnya. Ia tidak dengan bebas meletakkan liberalitas tubuhnya secara mutlak sebab berlakunya hukum-hukum moral publik atas tubuhnya.

Baca juga: Konsep Pre-Marital Sex dan Pariwisata Indonesia

Publik ikut menjaga sebuah sistem hukum moral tertentu untuk menjaga berjalannya sebuah peradaban timur. Tubuh menjadi sebuah manifestasi atas campur tangan relasi sosial, ekonomi, juga budaya (Fitriana, 2014).

Hukum-hukum moral ketimuran berbeda dengan hukum-hukum moral Eropa dalam pemaknaan atas fungsi tubuh. Pilar dan fondasi kebebasan bagi manusia di Eropa adalah meletakkan akal dan kehendak yang bebas. Perbedaan ini melahirkan konsep Hak Asasi Manusia yang berbeda pula.

Hak asasi manusia dalam konsep liberalisme Eropa mendukung kebebasan mutlak dalam penggunaan fungsi tubuh manusia. Seseorang memiliki kehendak bebas menentukan kemana tubuhnya digunakan, kebebasan seksual, kebebasan aborsi, hingga perkawinan sesama jenis merupakan wujud konkrit dari pemahaman kebebasan tubuh dalam filsafat liberal.

Hak asasi manusia dalam filsafat komunal timur tidak meletakkan hak asasi manusia secara universal. Bahwa hak asasi manusia juga menghargai penerapan kebebasan beragama dan berbudaya.

Maka penerapan kebebasan beragama dan berbudaya menjadikan konsep hak asasi manusia bersifat lokalitas (bukan universalitas), karena setiap budaya memiliki standar nilai dan norma yang berbeda atas sebuah perilaku manusia.

Ide dan gagasan atas kebebasan dan pembatasan penggunaan fungsi-fungsi tubuh berada dalam pemahaman yang berbeda, karena konsep hak asasi juga dimaknai secara berbeda.

Tubuh tetaplah tubuh, ia terdiri atas susunan tubuh juga jiwa. Perbedaan cara pandang atas tubuh berkaitan dengan persepsi manusia itu sendiri atas tubuh. Tubuh bukanlah mesin biologis, ia sekaligus jiwa. Tubuhlah yang menunjang manusia untuk memahami dunianya (Wattimena, 2009).

 

Globalisasi Pariwisata dan Mix Pre-Marital Sex

Globalisasi adalah sebuah proses mengantarkan pemahaman atas nilai-nilai dari sekelompok pendukung kebudayaan tertentu kepada kelompok pendukung kebudayaan lainnya. Keduanya bertemu memberikan pengaruh dan menanamkan nilai, masing-masing mencoba untuk saling memahami, hingga saling menolak. Globalisasi mempertemukan timur dan barat dengan segenap nilai yang dibawanya (Shihab, 2015).

Orang asing yang masuk ke dalam wilayah Indonesia dalam rangka untuk berwisata merupakan bentuk wujud dari globalisasi. Disana terdapat pertemuan peradaban kebudayaan sekaligus pertemuan pemahaman atas makna kebebasan.

Kebebasan penggunaan tubuh secara penuh telah terjadi dan ditanamkan sejak masa kolonial Hindia Belanda. Konsep kebebasan tubuh dalam tradisi filsafat liberal Eropa menawarkan gagasan kebebasan tubuh kepada manusia berperadaban timur. Proses penerimaan konsep tubuh tersebut mendapatkan penolakan,  tidak hanya dalam sisi sosio-kultural tetapi juga dalam sisi hukum.

Pasal 284 KUHP tentang Zina yang berlaku sejak masa Hindia Belanda adalah bentuk dari pengenalan filsafat liberal atas kebebasan tubuh dimana setiap individu memiliki kebebasan untuk melakukan aktivitas seksualnya selama ia tidak terikat perkawinan dengan pihak lainnya.

Pasal 284 KUHP yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial ini berbeda dengan pemahaman atas zina dalam budaya ketimuran. Bahwa zina dalam budaya timur selalu dipandang sebagai perbuatan melakukan aktivitas seksual seseorang dengan bukan pasangan sahnya dalam perkawinan.

Dengan demikian seseorang yang telah terikat atau belum terikat oleh sebuah perkawinan tidak-lah menentukan seseorang masuk dalam kualifikasi perbuatan tersebut. Tubuh dalam filsafat timur tidak dikuasai secara mutlak, tetapi ia diletakkan dalam ruang publik.

Keberadaan Pasal 284 sejak tahun 1918 ini adalah bentuk penanaman nilai baru berupa pengenalan kebebasan penggunaan tubuh secara penuh bagi masyarakat peradaban timur di Kawasan Hindia Belanda saat itu. Bahwa aktivitas seksual laki-laki dan perempuan dewasa adalah sebuah kehendak bebas dan itu dilindungi oleh hukum.

Berlakunya Pasal 411 KUHP Nasional di Tahun 2022 mengembalikan ide ketimuran atas kepemilikan tubuh secara semi otonom. Pasal ini memberikan kuasa kepada orang tua terhadap penguasaan tubuh anaknya. Bahwa kebebasan menggunakan tubuh si anak dikendalikan pula oleh orangtuanya secara semi otonom.

Anak dan orangtua berbagi kepemilikan dan penggunaan. Ketika anak melakukan perbuatan zina, maka orangtua memiliki kewenangan untuk menghentikannya melalui jalur hukum. Ketika berlaku Pasal 284 KUHP anak dewasa memiliki kebebasan penuh atas pengendalian tubuhnya, kuasa orangtua atas tubuh dewasa si anak tidak mendapat tempat dalam hukum pidana.

Kebebasan dalam filsafat liberal Eropa tentunya berlaku hingga kini, sehingga orangtua Eropa tidak dapat membatasi kehendak anaknya untuk melakukan aktivitas seksualnya. Kehendak bebas ini menjadikan anak berperan penuh atas tubuhnya dan itu adalah bentuk dari penghargaan atas kemanusiaan manusia di Eropa.

Pada posisi yang berbeda, bagi masyarakat timur ide tentang kebebasan melakukan hubungan seksual diluar perkawinan yang sah tidak dapat diterima karena bertentangan dengan nilai kesucian dalam masyarakat (Hadziq, 2019).

 

Ilustrasi Pariwisata Indonesia: Ancaman Pidana Pre-Marital Sex Campuran (Foto: Unsplash/ Bernard Hermant)

Problematika Mix Premarital Sex & Kepariwisataan Indonesia

Problematika pertemuan dua budaya dengan pemahaman filsafat yang berbeda ( Filsafat Eropa dan Timur) baru muncul ketika seorang laki-laki Eropa melakukan aktivitas seksualnya dengan perempuan Indonesia.

Penerapan Pasal 411 KUHP Nasional tentang zina, menerapkan asas nasionalitas dimana akan menjadikan  laki-laki dapat terjerat sanksi pidana apabila ia melakukannya di wilayah hukum Indonesia.Syaratnya disertai  pengaduan dari  orangtua perempuan tersebut.

Dalam konteks kepariwisataan, ketika  turis asing melakukan aktivitas seksualnya dengan  warga negara Indonesia (mix premarital sex), ia perlu berfikir terlebih dahulu. Apakah perbuatan tersebut tidak akan menimbulkan potensi pengaduan dari pihak orangtua si gadis, atau sebaliknya.

Jika dia mengetahui orangtua pasangannya tidak akan mengadukan perbuatan tersebut maka ia dapat melakukannya. Sebaliknya apabila dia mengetahui orangtua pasangannya tidak akan mengizinkan, ada baiknya tidak melakukan perbuatan tersebut.

Hal-hal yang harus di pahami oleh warga Eropa ketika berkunjung ke Indonesia adalah pemahaman mengenai perubahan konsep hukum terkait sex. Hal tersebut merupakan penghormatan terhadap berlakunya aktivitas kebudayaan. Ketika kita berkunjung ke sebuah negara tentunya kita perlu memahami dan menghormati aktivitas kebudayaan yang ada.

Apakah Pasal 411 KUHP Nasional berpengaruh terhadap sanksi pidana yang berpotensi dikenakan kepada para turis Eropa di Indonesia?

Pertama

Jika  turis Eropa melakukan aktivitas seksualnya di Indonesia dengan pasangannya yang juga warga Eropa,  hal ini akan sulit dinyatakan sebagai sebuah perbuatan zina sebagaimana yang diatur dalam KUHP Pasal 411 KUHP. Mengapa? Karena dibutuhkan pengaduan orangtua turis perempuan kepada aparat penegak hukum di Indonesia agar perbuatan pre-marital sex  dapat dinyatakan sebagai perbuatan zina sesuai ketentuan Pasal 411 KUHP;

Kedua

Potensi pengaduan terhadap turis asing akan terjadi apabila ia melakukannya dengan perempuan Indonesia. Sebab memiliki potensi pengaduan oleh orangtua si gadis. Jika tidak muncul pengaduan, maka perbuatan teresebut tentu tidakakan diproses dan dikenakan sanksi pidana.

Pertanyaan di atas tersebut tentunya dapat kita kembalikan lagi kepada warga Eropa. Apakah mereka berkunjung ke Indonesia untuk menikmati pariwisata beserta kebudayaannya? Atau mencari kenikmatan seksual dengan perempuan Indonesia? Jika warga asing tersebut berkunjung untuk menikmati keindahan alam tentunya hukum tersebut tidak akan berpengaruh pada dirinya serta kondisi kepariwisataan tanah air.

Pemerintah dalam hal ini adalah Kemenparekraf/Baparekraf perlu melakukan sosialisasi kepada berbagai pihak. Baik melalui perwakilan Indonesia di luar negeri, para pelaku industri pariwisata, para calon turis yang hendak berkunjung ke Indonesia tentang fenomena mix pre-marital sex antara WNA dan WNI dikaitkan adanya keberlakukan Pasal 411 KUHP Nasional ini. Hal ini diperlukan untuk memberikan pemahaman atas berbagai pemahaman yang simpang-siur terhadap keberlakuan Pasal 411 KUHP beserta dampaknya bagi para wisatawan luar negeri.

 

Catatan: Artikel “Pariwisata Indonesia: Ancaman Pidana Pre-Marital Sex Campuran” ini dibuat mendasarkan pada Draft RKUHP tanggal 6 Desember 2022

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *