Konsep Pre-Marital Sex dan Pariwisata Indonesia

Fokky Fuad Wasitaatmadja (Universitas Al Azhar) dan Yetti Rochadiningsih (Kemenparekraf/Baparekraf RI)

Adhianti Wardhani
Justice. Judge hammer on the table

Konsep Pre-Marital Sex dan Pariwisata Indonesia. KUHP Nasional baru telah diberlakukan sejak selama lebih dari puluhan tahun hanya berada dalam ranah rancangan undang-undang. KUHP Nasional ini menjadi sebuah karya bangsa karena telah menjadi pengganti KUHP lama yang telah berlangsung sejak masa penjajahan Hindia Belanda.

Munculnya KUHP Nasional ini juga menimbulkan beragam silang pendapat khususnya berkaitan dengan berlakunya tindak pidana zina yang diatur dalam Pasal 411 tentang Perzinaan.

Baca juga: Pariwisata Indonesia: Ancaman Pidana Pre-Marital Sex Campuran

 

Kebebasan Individu atas Tubuh

Pasal 411 ayat 1 menjelaskan bahwa jika ada orang yg melakukan persetubuhan dengan bukan isteri/suaminya maka dapat dipidana selama 1 tahun karena telah melakukan perzinaan.

Pada Ayat 2 dijelaskan bahwa aturan di ayat 1 baru bisa dijalankan jika ada pengaduan dari isterinya atau suaminya, atau orangtua bagi yg belum menikah.

Pasal ini menurut beberapa pihak dianggap dapat mengancam pariwisata nasional, karena negara telah masuk ke dalam ranah privat seseorang.

Turis asing yang berasal Eropa terbiasa dengan konsep premarital sex, dimana pelaku melakukan hubungan seksual sebelum menikah (Nurmala, 2019).

Agama dan negara dalam domain publik tidak dapat masuk ke dalam ruang privat untuk mengatur kehendak bebas individu. Individu memiliki kebebasan secara penuh untuk mengendalikan tubuhnya selama tidak merugikan pihak lain atau dalam hal ini adalah pasangan sahnya.

Dalam pendekatan filsafat eropa tubuh berada dalam bentuk kepemilikan privat. Setiap orang memiliki tubuhnya dan ia berkehendak penuh atas tubuhnya selaku pemilik tubuh. Setiap individu mengendalikan, menggunakan tubuh dalam kebebasannya.

Hubungan seksual pra-nikah menjadi bentuk nyata bagaimana seseorang membebaskan dirinya berbuat atas tubuhnya. Dalam perspektif Nietzsche manusia harus menjadi bebas seluas-luasnya untuk menentukan dirinya, dan untuk itulah baginya Tuhan telah mati (Purnamasari, 2017).

 

KUHP Peninggalan Hindia Belanda

KUHP peninggalan Hindia Belanda atau yang disebut dengan Wetboek van Strafrecht telah berlaku di Indonesia sejak 1918-2022 mengadopsi filsafat kebebasan individu ini.

Pasal 284 KUHP Hindia Belanda menjelaskan bahwa zina hanya dapat diterapkan terhadap para pelaku pre-marital sex yang tidak terikat oleh tali perkawinan dengan pihak lain.

Artinya jika pelaku pre-marital sex adalah seseorang yang masih bujangan atau tidak terikat perkawinan dengan pihak manapun, maka ia tidak dapat dinyatakan telah melakukan perbuatan zina sesuai yang diatur di dalam Pasal 284 KUHP.

Berlakunya Pasal 411 KUHP Nasional menggantikan Pasal 284 KUHP Hindia Belanda. Pasal 415 KUHP Nasional mengadopsi konsep kepemilikan tubuh komunal.

Dalam pendekatan komunal, tubuh tidaklah dapat dimiliki secara mutlak dan penuh oleh setiap individu. Setiap individu memiliki tubuhnya namun tubuh itu juga merupakan milik orang lain, khususnya milik orangtuanya.

Dalam kosmologi timur orangtua menentukan kemana tubuh si anak diarahkan hingga ia telah dewasa sekalipun. Si anak tidaklah bebas, karena orangtua memiliki kewenangan atas dirinya.

Anak akan tunduk dalam kekuasaan dan kehendak orangtuanya. Kehendak untuk menikah, memilih jodoh, hingga melangsungkan perkawinan berada dalam kekuasaan orangtua.

Orangtua memiliki kewenangan semi otonom atas diri si anak. Kehendak orangtua ini tidak dimaknai sebagai perampasan kemerdekaan anak, tetapi lebih pada penanaman kasih sayang orangtua terhadap anak dengan membantu serta melindungi si anak (Nasrum, 2015).

Dalam konsep kepemilikan komunal tubuh bukanlah dimiliki secara penuh dan mutlak oleh pemiliknya. Ia berbagi dengan orangtuanya atas penggunaan fungsi tubuhnya.

Tubuh tidak berada dalam ruang privat melainkan ruang publik. Setiap orang akan menilai, membangun dan mengkonstruksi norma terhadap penggunaan tubuh seseorang.

Kebutuhan seksual bukanlah berada ranah privat dalam konstruksi budaya timur. Kebutuhan seksual berada dalam ranah publik, dimana publik memiliki kewenangan membangun norma terhadap penggunaan tubuh dalam memenuhi hasrat seksualnya.

Jika seseorang sampai melakukan zina maka ia telah dianggap melanggar batas penggunaan fungsi tubuh yang telah diatur dalam ranah publik. Dalam konstruksi hukum timur kewenangan publik berada di atas individu, maka hukum dihadirkan untuk melindungi hak-hak publik.

Ketika tubuh bergerak memenuhi hasrat sexualnya maka ia menundukkan dirinya untuk diatur dalam hukum publik dalam sifat komunal hukum timur. Pelanggaran terhadap konsep etik dan norma bagi hukum timur adalah bentuk dari munculnya kehancuran massif manusia (Wasitaatmadja, 2019).

 

Perubahan Paradigma

Berubahnya Pasal 284 KUHP menjadi Pasal 411 KUHP telah menunjukkan perubahan paradigma. Berubah dari konsep Filsafat Liberal Eropa dalam Pasal 284 menjadi konsep Komunal Ketimuran melalui hadirnya Pasal 411 KUHP Nasional.

Budaya hukum timur dengan konsep komunal dapat dilihat dari pendekatan Mazhab Sejarah Hukum yang dikembangkan oleh Karl von Savigny.

Von Savigny melihat bahwa hukum tidak semata dibentuk atau dibuat oleh mekanisme kerja parlemen, menurutnya  Hukum ditemukan dalam budaya sebuah bangsa sebagai sebuah volkgeist.

Hukum merupakan produk budaya sebuah bangsa yang telah berjalan melampaui sejarah. Hukum adalah endapan kehendak budaya yang tidak sekedar dilihat dari prinsip universalisme hukum, tetapi dari bentuk keragaman hukum. Bahwa hukum dapat dikenali dari budaya yang menjadi ciri khas sebuah jiwa bangsa (Aulia, 2020).

Satu hal yang menarik bahwa keberlakuan pasal 411 KUHP Nasional ini menghadirkan kembali kuasa dan kewenangan orangtua atas kehendak anaknya untuk berbuat dan bertindak. Selama berlakunya pasal 284 KUHP Belanda anak memiliki kebebasan mutlak terhadap tubuhnya atas dasar konsep liberalisme Eropa.

Orangtua di masa lalu hanya memiliki kewenangan atas anaknya hingga usia 21 tahun. Maka dalam Pasal 411 KUHP Nasional ini orangtua memiliki kewenangan terhadap anak hingga di atas usia 21 tahun.

Orangtua berdasarkan Pasal 411 ayat 2 dapat mengadukan perbuatan anaknya yang telah melakukan perbuatan terlarang tersebut.

Pengaduan orangtua menjadi dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan penyelidikan hingga penjatuhan sanksi hukum bagi pelaku zina. Jika tanpa pengaduan maka perbuatan persetubuhan tersebut tidak dapat diproses secara hukum.

Pasal 411 KUHP Nasional ini tidak mengadopsi Hukum Islam khususnya, karena pasal ini sifatnya adalah delik aduan, sedangkan perbuatan zina dalam Hukum Islam adalah delik biasa.

Dalam Hukum Islam, aparat penegak hukum dapat memproses hukum terhadap pelaku tanpa membutuhkan pengaduan dari orangtua pelaku atau pasangan sahnya. Maka pendekatan konsep zina dalam Pasal 411 KUHP Nasional ini harus menggunakan epistemologi budaya hukum timur.

 

Pasal 411 KUHP Nasional

Pasal 411 KUHP Nasional ini menganut azas nasionalitas bahwa ia diterapkan pada wilayah hukum Negara Kesatuan Indonesia. Bagi orang asing yang melakukan hubungan seksual di luar nikah tentunya dapat pula diproses hukum dengan syarat adanya pengaduan dari orangtua pelaku.

Dalam budaya hukum liberal Eropa perbuatan pre-marital sex bagi yang telah berusia dewasa bukanlah sebuah pelanggaran hukum. Kebebasan individual dengan meletakkan kebebasan penggunaan fungsi tubuh sebagai kehendak privat yang harus dihormati menjadikan orangtua memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk mengadukan perbuatan pre-marital sex sebagai sebuah perbuatan pidana.

Maka walaupun berlaku azas nasionalitas tetapi kemungkinan kecil bagi orangtua pelaku warga negara asing akan melaporkan anaknya.

Pengaruh keberlakuan Pasal 411 KUHP Nasional tampaknya tidak berdampak terlalu signifikan terhadap masuknya turis Eropa, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat karena perbedaan filsafat dan budaya atas konsep penggunaan fungsi tubuh. Ia baru berdampak jika konsep zina yang diatur dalam KUHP menggunakan delik biasa dan bukan delik aduan.

Pihak aparat penegak hukum dengan delik biasa dapat memproses pelaku pidana persetubuhan diluar nikah tanpa adanya aduan dari pihak orangtua. Jika itu yang terjadi, maka mungkin dapat memberikan dampak terhadap masuknya turis barat ke Indonesia karena perbedaan budaya hukum yang terjadi.

Pengaruh keberlakuan Pasal 411 KUHP Nasional ini lebih pada turis domestik yang tentunya mengadopsi konsep komunal dalam budaya hukum timur.

Para pelaku yang masih bujangan atau tidak/belum menikah akan berpotensi diadukan oleh orangtua (khususnya orangtua si gadis) akibat perbuatan pre-marital sex tersebut.

Dalam hal ini Kemenparekraf RI tampaknya harus mampu menjelaskan tentang keberlakuan pre-marital sex dalam Ketentuan Pidana Pasal 411 KUHP Nasional kepada banyak pemimpin negara agar tidak muncul kesalahpahaman terhadap keberlakuan pasal tersebut.

Catatan: Tulisan ini berdasarkan pada draft RKUHP tanggal 6 Desember 2022.

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *