Kepemilikan Senjata dalam Tradisi Islam
Kepemilikan senjata sendiri dalam tradisi budaya peradaban manusia telah ada sejak ribuan tahun lalu. Bahwa memiliki senjata tidak selalu dikaitkan dengan jiwa membunuh, melainkan pada simbol tertentu seperti kejantanan dan maskulinitas laki-laki. Seorang laki-laki yang dibentuk dalam budaya patriaki mempunyai beban tanggung-jawab terhadap masyarakatnya. Seorang laki-laki tentunya dipersepsikan sebagai sosok maskulin yang membangun sekaligus mebentengi masyarakatnya. Senjata menjadi simbol maskulitas dan kekuatan tersebut. Senjata mampu membentuk persepsi atas identitas laki-laki yang kuat walaupun tidak bersifat mutlak (Merdeka, t.t.).

Kepemilikan dan penggunaan senjata berupa pedang, panah, ataupun tombak juga dikenal dalam peradaban Islam. Berdasarkan catatan sejarah, Nabi Muhammad Saw sendiri memiliki 9 buah pedang yang Beliau sayangi dan diberi nama oleh Rasulullah Saw sendiri, yaitu: sebuah pedang yang Beliau beri nama Zulfiqar (kelak pedang ini diserahkan kepada Sahabat Ali Ibn Abi Thalib, r.a.), pedang yang diberi nama al-Battar, pedang Qul’i (pedang hasil rampasan dari bani Qaynuqa), pedang pedang al-Qadib (yang tidak pernah digunakan untuk berperang), pedang pedang al-Miqdam (diserahkan kepada Ali Ibn Abi Thalib yang kemudian oleh Ali diserahkan kepada keturunannya Zainal Abidin), pedang al-Adhab (sebuah pedang pemberian salah seorang sahabat), pedang ar-Rasub, pedang Hatf, serta pedang al-Matsur. Sebagian pedang ini masih tersimpan di Museum Topkapi Turkiye (Royyani, 2023).

Pemberian nama atas pedang yang dimiliki Rasulullah Saw menunjukkan bahwa Beliau merawat setiap senjata pedang yang beliau miliki. Beliau pada saat tertentu membersihkan pedang-pedang tersebut agar terawat dan tidak berkarat. Sehingga kepemilikan senjata dalam Islam tidak dikaitkan dengan kemusyrikan, atau menjadikan senjata sebagai jimat. Senjata yang dimiliki bukan sebagai benda yang dikeramatkan, melainkan sebuah objek benda yang harus dirawat dan digunakan untuk memperoleh manfaat atasnya.
Keris dan Peradaban Islam di Nusantara
Keris sudah ada sebelum penyebaran Islam di Nusantara dan ditemukan dalam relief candi Borobudur sekitar abad ke-9 M. Sebagai senjata tikam khas Nusantara, keris digunakan oleh masyarakat di berbagai wilayah seperti Jawa, Sumatera, Siam, Sulu, Maluku, hingga Nusa Tenggara. Pembuatan keris melalui teknik tempa logam dan penyebarannya didasarkan pada hubungan diplomatik antara kerajaan dan kesultanan di kepulauan Nusantara. (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/keris-indonesia/).

Keris juga mengalami proses internalisasi nilai-nilai Islam. Masuknya Islam ke tanah Jawa juga membawa ajaran dan tradisi tentang sistem senjata untuk membela diri dan bukan untuk kekerasan. Ketika masyarakat Islam Jawa menerapkan penggunaan senjata sebagaimana yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad Saw, tentunya tidak dengan pedang melainkan menyesuaikan dengan lokalitas budaya setempat yaitu Keris. Sejak masa penyebaran Islam melalui dakwah Wali Songo di Tanah Jawa, Keris menjadi salah satu simbol penyebaran dakwah ini. Hal ini yang perlu diperhatikan, bahwa keris seyogyanya tidak dipahami sebagai benda mistis sehingga menimbulkan konotasi negatif terhadapnya (Fatkurrohman dan Rifchatullaili, 2018).
Lekuk-Lekuk Pada Bilah Keris
Keris yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam di Jawa, kemudian mengalami transformasi dengan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Dalam proses ini, keris mendapatkan makna-makna tauhid yang tercermin dalam bentuk sebilah keris yang diciptakan oleh para Wali. Lekuk-lekuk pada bilah keris menggambarkan perjalanan hidup yang penuh dengan berbagai lika-liku manusia. Seorang hamba Allah akan menjalani ujian dalam hidupnya, tidak dengan kemudahan tetapi dengan jalan kesulitan (Qs.[2]: 155-157). Walaupun kehidupan manusia penuh liku tetapi ujung dari hidup manusia adalah menuju Tuhan. Ujung Keris menunjukkan simbol ujung dari hidup manusia yaitu Tuhan sebagai tempat kembalinya manusia. Luk (lekuk) Keris tidak berjumlah genap, melainkan berjumlah ganjil: luk 3, 9, 11, 13, 15, dst. menunjukkan sebuah bilangan ganjil, simbol dari Tuhan yang menyukai bilangan ganjil.
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda: “Allah memiliki 99 nama, siapa yang menjaganya akan masuk surga. Allah itu ganjil (Esa) dan menyukai bilangan yang ganjil.” (HR. Bukhari-Muslim)
Keris juga dapat berbentuk tanpa luk (tanpa lekuk), hal ini menggambarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah semata-mata menuju Tuhan. Hidup yang ideal adalah hidup yang lurus, semata-mata menyerahkan hidup kepada kehendak Allah Swt. Bahwa segala pengharapan ditujukan semata kepada Allah Swt secara murni (Qs.[49]:56). Bilah keris yang tajam juga melambangkan laki-laki, sedangkan sarung keris melambangkan perempuan. Bilah dan sarung keris menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk Allah yang diciptakan secara berpasangan (Qs.[16]: 72). Disinilah kemudian keris disimbolkan sebagai wujud keterikatan batiniyah antara manusia dengan Allah selaku Sang Maha Pencipta (Fanani, 2011).
Keris Bagi Seorang Bangsawan
Keris bagi seorang bangsawan dikenakan di belakang, di balik punggung, tidak di depan. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang dimiliki tidak boleh ditunjukkan dan disombongkan dihadapan manusia lainnya. Sebaliknya bagi seorang ulama, keris sebagai sebuah kelengkapan busana diletakkan di depan bukan di balik punggung seperti kaum bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa posisi seorang ulama adalah menunjukkan ke depan sebuah jalan lurus menuju Allah. Maka dalam beberapa lukisan kita dapat menemukan lukisan para tokoh yang yang menggunakan keris dalam kelengkapan busananya. Ketika seorang laki-laki meletakkan keris di belakang, hal ini menunjukkan bahwa ia adalah bangsawan Raja. Sedangkan jika meletakkan keris di depan dan diikat dengan sabuk, maka ia adalah seorang ulama.
Baca juga: Mengenal Sejarah Candi Borobudur, Destinasi Wisata Terbaik yang Dimiliki oleh Indonesia
Dalam Tradisi Budaya Islam Jawa
Dalam tradisi budaya Islam Jawa, pemberian nama Keris mengikuti apa yang ditentukan oleh Rasululah Saw. Bahwa setiap keris akan diberi nama oleh pembuatnya, seperti: Keris Kala Munyeng yang dibuat oleh Sunan Giri, Keris Carubuk dan Sengkelat buatan Sunan Kalijaga, dan lainnya. Kala Munyeng memiliki makna waktu (kala) yang terus berputar (munyeng), bahwa manusia harus terus memanfaat waktu secara baik dalam hidupnya (Qs.[103]: 1-3). Keris ini juga dapat dimaknai Kalam Munyeng yang bermakna kalam atau pena, disinilah Sunan Giri memaknai Keris sebagai simbol arti penting penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan bagi manusia (El-Saha, 2019).
Keris Sengkelat milik Sunan Kalijaga, bermakna sengkelaning ati, hati yang kecewa, karena penguasa tidak memikirkan kondisi rakyatnya yang ditimpa kesulitan hidup. Bahwa sebagai penguasa hendaknya memperhatikan nasib orang atau rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin tidaklah bertindak sewenang-wenang dan selalu wjaib memperhatikan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Keris Sengkelat ini merupakan keris yang umum dimiliki oleh rakyat dan menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasan yang zalim. Keris sendiri merupakan simbol sebuah kerja keras manusia dan pantang menyerah untuk mencapai sebuah keberhasilan (Said, 2016).
Bahwa sebagai Umat Islam Indonesia tentunya wajib melakukan upaya pelestarian Keris sebagai budaya Indonesia, dimana di dalamnya dahulu berperan pula ulama-ulama penyebar Islam yang memberikan makna keris dalam simbol-simbol dakwah Keislaman di Nusantara. Begitu besarnya nilai-nilai religus dan budaya yang ada di dalam bilah keris, maka UNESCO sebagai Organisasi Badan PBB yang berkecimpung dalam pelestarian budaya dunia menyatakan Keris sebagai Karya Agung Warisan Kemanusiaan Milik Seluruh Bangsa di Dunia pada tanggal 25 Nopember 2005 (Kompas.com, 2008).
Penutup
Sebagai masyarakat Nusantara, khususnya bagi masyarakat Islam, tentunya tidak dengan mudah menghukumi Keris sebagai simbol kemuysrikan. Sebaliknya juga tidak pula meletakkan keris sebagai benda berhala keramat yang berpotensi mejatuhkan manusia ke dalam lembah jurang kemusyrikan. Bagi kaum Muslim di Nusantara, Keris patut diletakkan dalam proporsinya sebagai senjata bela diri jenis tikam yang digunakan sebagai simbol dakwah di Nusantara. Jika Bangsa Jepang bangga dengan Pedang Katana kaum Samurai, maka Kaum Muslimin Nusantara sebagai bagian dari Bangsa Indonesia tentunya bangga dengan Keris sebagai warisan agung dunia sebagaimana yang telah ditetapkan oleh UNESCO.
“Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan, hebat dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat, Mahaperkasa” (Qs. al-Hadid [57]: 25)