Budaya Makanan dan Tubuh Sehat, Budaya Siapa?
ANN SWIDLER (1986) pernah mengatakan bahwa budaya adalah sebuah perangkat. Simbol, cerita, ritual, kepercayaan, ideologi, dan praktik kehidupan sehari-hari yang digunakan untuk membentuk perilaku manusia. Suatu konsep yang mengakar, sehingga menjadi alat mumpuni untuk menanam pengaruh kepada masyarakat yang hidup mengikutinya. Karena tidak hanya orang lahir dan hidup di dalam sebuah budaya, aspek-aspek dari budaya itu juga akan mempengaruhi sikap dan keputusan yang dibuat oleh individu-individu tersebut (Swidler, 1986).
Bila kita memandang dalam perspektif Swidler, masuk akal untuk menganggap budaya sebagai wadah manjur bagi paham-paham Eurosentris untuk berkembang. Terutama dalam budaya makanan, yang sangat dekat pengaruhnya dengan kehidupan setiap individu. Secara makanan dan bagaimana kita makan adalah sebuah cerita. Sebuah produk budaya yang lahir dan selalu ada dimanapun bumi dipijak.
Masyarakat yang lahir dalam belahan dunia tertentu, tentunya akan terbiasa dengan makanan tertentu. Seperti keterikatan Asia yang kuat dengan nasi, sama halnya bangsa Barat dengan gandum dan roti. Keterikatan itu dimulai dengan individu-individu yang sudah dibiasakan mengkonsumsi makanan tersebut sedari dini. Pengkondisian itulah yang menjadi strategi pemasaran merek-merek besar seperti Coca-Cola pada masa lampau kepada anak-anak, yang terbiasa kemudian menjadi suka dengan minuman soda dari vending machine yang ditaruh dalam sekolah.
Tapi topik Coca-Cola dan berbagai merk lain yang menghiasi rak minimarket bisa dibahas lain waktu. Kebalikannya, kita akan membahas bagaimana pandangan ala Barat mempengaruhi pula jenis-jenis makanan yang mengisi meja makan kita hari demi hari. Apakah pantas, apakah sesuai dengan standar yang kita tentukan, dibawah pengaruh cara pandang tertentu.
Rekonstruksi Budaya oleh Bangsa Barat
Tahukah anda, bahwa semenjak zaman kolonial, makanan menjadi penentu kasta masyarakat?
Orang Eropa percaya bahwa makanan membentuk tubuh kolonial. Hal ini dapat dilihat dari penjajahan Spanyol terhadap suku pribumi Mesoamerica. Menurut mereka, konstitusi Eropa berbeda dari masyarakat Pribumi karena diet/pola makan yang berbeda. Makanan lokal dianggap makanan yang tidak sesuai dan inferior, sehingga mereka tidak sudi untuk mengkonsumsi produk-produk yang sama. Walhasil demi memenuhi kebutuhan, mereka merekonstruksi budaya agrikultur. Meskipun paham ini tidak dipegang lagi, bahkan berubah drastis, bekas-bekas praktiknya masih dapat terlihat hingga saat ini.
Sebagai masyarakat modern, terutama kita yang tinggal di kota-kota besar, tentunya sudah terekspos dengan gaya hidup dan selera Western, termasuk selera makan kita. Namun hal itu tidak hanya berlaku untuk junk food. Untuk makanan sehat, terutama yang berhubungan dengan diet, pun kiblatnya sama saja.
Makanan Sehat, Makanan yang…
Indonesia, seperti negara tropis lainnya, merupakan negara yang sangat kaya akan biodiversitas nya. Sayuran, buah-buahan, dan berbagai pangan nabati lainnya yang asli dari Indonesia yang murah dan mudah terjangkau. Pasokannya pun melimpah ruah hingga sangat tepat jika Presiden RI Joko Widodo dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menganjurkan masyarakat untuk meningkatkan konsumsi buah-buahan lokal.
Namun, tren-tren diet dan informasi nutrisi yang senantiasa kita lihat di media sosial tentunya tidak mencerminkan biodiversitas ini. Media sosial telah menjadi sumber informasi bagi sebagian besar masyarakat modern, terutama kaum muda. Konten-konten populer banyak menunjukkan wanita kulit putih langsing dengan berbagai resep smoothie, tak lupa dengan sayur kale, yogurt, air lemon, dan bone broth, serta berbagai suplemen diet lain yang mendukung gaya hidup sehat ala Barat.
Secara internasional, produk-produk ini dipromosikan sebagai superfood, penunjang gaya hidup sehat, dan tidak sedikit dari kita yang berusaha untuk mengikutinya, tetapi tidak menyadari keberagaman pangan lokal kita yang masih luput dari potret makanan bergizi. Menunjukkan masih sempit dan condongnya media dalam memotret nutrisi dalam segi kultural, menimbunnya bahkan.
Karena ada berbagai cara untuk makan sehat. Ada makanan yang baik untuk tubuh dan ada yang tidak, ini sudah merupakan pendidikan dasar bagi kita. Akan tetapi, dalam tren diet makanan menjadi berlabel ‘baik’ dan ‘jahat’, lagi-lagi merekonstruksi pandangan kita terhadap makanan yang kita santap sehari-hari. Misalnya saja diet keto, atkins, dan berbagai diet rendah karbohidrat lainnya yang menganggap karbohidrat sebagai sesuatu yang harus dihindari. Padahal, pola dan budaya makan kita sangat terikat dengan kehadiran nasi.
Rasisme dalam cermin
Budaya makan seperti demikian banyak diasosiasikan dengan diet, dengan alasan paling sering adalah untuk menjaga kelangsingan badan. Siapa sih yang tidak ingin badan langsing? Malah mungkin kita pun masih berharap seandainya tubuh kita beberapa kilogram lebih ringan.
Nyatanya tidak semua mengamini pernyataan itu. Tidak jarang memiliki badan yang terlalu kurus justru mengundang komentar negatif, terutama dari kerabat terdekat dan orang tua yang lebih mempertimbangkan kesehatan ketimbang bentuk badan. Sayangnya concern tersebut tidak menandingi tekanan sosial besar untuk mengikuti standar kecantikan tak tertulis; bertubuh kurus dan langsing. Standar ini telah melanggengkan persepsi yang salah dalam tren-tren diet ekstrem yang diikuti banyak remaja putri dan wanita muda di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia saja, sebanyak 12-22% wanita usia 15-29 tahun menderita defisiensi energi kronis diduga akibat gangguan makan.
Idealisme yang menyiksa tubuh ini tidak lahir kemarin. Rupanya sejarah standar bertubuh kurus berakar jauh semenjak masa kolonialisme Barat. Di mana kelangsingan adalah potret ras superior, sedangkan kegemukan merupakan tanda kelemahan dan kemalasan. Tidak hanya keduanya, tubuh yang gemuk juga diasosiasikan dengan hasrat dan ketidakberadaban.
Cara pandang ini tentunya tidak lagi, akan tetapi sudut pandang ini masih mengalir dalam beauty standard kita saat ini, yang terlalu mengagungkan kulit putih dan tubuh yang langsing. Memerangkap generasi muda kita dalam kepercayaan diri yang rendah apabila tubuhnya tidak sesuai, melanggengkan body shaming sebagai bahan pembicaraan online masa kini. Padahal berkebalikan dengan standar kecantikan dahulu, tubuh yang montok/gemuk justru dihubungkan dengan kecantikan dan kekayaan bagi masyarakat non-Barat. Apakah gemuk yang berlebihan itu tidak baik? Ya, akan tetapi atas dasar masalah kesehatan, bukan sekedar kecantikan apalagi menyokong standar Barat.
Kesimpulan
Budaya makanan yang sehat merupakan budaya setiap bangsa sejak lampau. Dengan berbagai cara, masyarakat mengolah sumber daya alam di sekitar untuk dapat disajikan menjadi makanan enak yang siap dan aman dikonsumsi. Akan tetapi budaya di mana makanan menjadi berlabel “baik” dan “jahat”, superior dan inferior, sophisticated dan sebaliknya, bukanlah budaya yang baik untuk diserap dalam kehidupan kita sehari-hari. Apalagi standar tubuh yang menjurus pada body shaming bagi bentuk-bentuk tubuh tertentu. Menjaga pola makan yang seimbang untuk kesehatan baik adanya, tetapi tidak dengan standar yang mengekang dan menjatuhkan. Makanan yang kita santap sehari-hari merupakan kacamata budaya, sejarah, dan identitas dari daerah asalnya, maka alangkah baiknya bila kita mampu menikmati tanpa ditakut-takuti tingginya kalori.