Suara Kreatif kali ini memilih atikel dengan tema Kemerdekaan dan Tantangan Ke Depan yang di tulis oleh Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja, Dosen Universitas Al Azhar Indonesia.
Perayaan Kemerdekaan yang diraih oleh Indonesia tampaknya agak berbeda dengan perayaan Kemerdekaan (Independence Day) oleh banyak negara lainnya. Begitu heroiknya perayaan kemerdekaan, mulai pejabat negara hingga warga di kampung kampung turut menikmati perayaan ini. Kemerdekaan dimaknai sebagai sebuah perjuangan bertaruh nyawa. Ratusan ribu orang meregang nyawa merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan Pemberian Sang Penjajah
Banyak negara yang meraih kemerdekaan melalui pemberian oleh sang penjajah, bukan direbut melalui pengorbanan nyawa dan tumpahnya darah manusia Indonesia (Rinardi, 2017). Pemberian hadiah kemerdekaan menjadi kurang memiliki nilai sakral yang tinggi. Maka perayaan sebuah hari kemerdekaan bagi manusia Indonesia adalah sebuah nilai perjuangan, pengorbanan, penderitaan, juga pengabdian kepada Tuhan dan Tanah Air.
Kemerdekaan Adalah Sebuah Karunia Tuhan
Kemerdekaan bagi warga bangsa Indonesia adalah sebuah karunia Tuhan. Sebuah karunia yang diraih melalui sebuah perjuangan dan keikhlasan. Tuhan akan memberikan karunia tetapi itu harus diperjuangan lebih dulu oleh setiap jiwa bangsa Indonesia. Kemerdekaan menjadi harga yang begitu sangat mahal, maka menjadi wajar ketika merayakannya menjadi sangat sakral dan gegap gempita. Kebahagiaan dan tetesan air mata tumpah ruah dalam merayakannya. Hal ini menjadikan warga Indonesia merupakan bangsa dengan tingkat jiwa nasionalisme yang tinggi. Prosentase identitas nasionalisme masih jauh mengungguli identitas suku dan agama di Indonesia (Saragih, 2019).
Kemerdekaan bukan semata bebas lepas dari penjajahan. Bagi manusia Indonesia kemerdekaan menunjukkan eksistensi Tuhan dalam kehidupan manusia Indonesia. Sehebat apapun persatuan yang digaungkan jika tak ada kehendak Tuhan, maka kemerdekaan tidak akan tercapai. Pengakuan ini tampak tertuang tegas dalam Alinea III Pembukaan UUD 1945. Tampak bahwa gagasan manusia bertuhan dalam Sila Ketuhanan berkaitan erat dengan Sila Kemanusiaan dalam ontologi Falsafah Pancasila.
Tantangan Kemerdekaan
Indonesia telah berpuluh tahun merdeka, tetapi tantangan masih menghadang di depan. Kemiskinan, korupsi, ekstremisme-terorisme, separatisme, disintegrasi bangsa hingga ketidakadilan masih terus mewarnai kehidupan berbangsa dan menjadi potensi yang mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara.
Salah satu hal yang menguatkan sekaligus mengancam keutuhan adalah keragaman etnis suku bangsa. Keragaman etnis suku bangsa menjadi unsur yang menyatukan sekaligus memiliki potensi untuk membelah jika sesama anak bangsa tidak mampu menerima ragam perbedaan yang ada. Banyak negara Eropa yang kini terpecah dalam banyak negara kecil karena perbedaan ras dan etnis. Cekoslovakia terpecah dalam dua negara Ceko dan Slovakia, Yugoslavia yang terpecah dalam beberapa negara: Bosnia Herzegovina, Serbia, Kroasia, Macedonia Utara, Montenegro, dan Kosovo.
Salah satu yang masih menjadi faktor yang menguatkan Indonesia adalah Pancasila sebagai landasan falsafah berbangsa Indonesia. Konflik politik, konflik sosial-budaya, konflik etnis yang pernah terjadi selama ini tidak sampai membelah dan membubarkan Indonesia. Pancasila yang lahir dari rahim berfikir manusia Indonesia merupakan falsafah mendasar (filosofische grondslag) yang menjelaskan konsep-konsep dasa4 hidup manusia Indonesia sebagai makhluk Tuhan.
Baca juga: Serba-Serbi Menyambut Hari Kemerdekaan RI yang Ke 78
Pancasila dan Beragam Kompleksitas Tantangan
Pancasila yang syarat nilai ini kini menghadapi beragam kompleksitas tantangan di era peradaban postmoderen. Nilai Ketuhanan bertarung melawan kerasnya nilai materialisme. Nilai kemanusiaan bertarung melawan nilai ekstremisme. Nilai persatuan menghadapi gelombang arus separatisme. Nilai musyawarah bertarung melawan hadirnya nilai individualisme, dan Nilai Keadilan Sosial berhadapan dengan nilai Kapitalisme global.
Nilai-nilai falsafah Pancasila sesungguhnya mampu memperoleh momentum di tengah kehidupan peradaban postmoderen yang jauh dari nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Ketika manusia semakin jauh dari Tuhan ia menjadi semakin jauh dari segenap nilai keadaban. Ia menjadi kehilangan Jati dirinya sendiri sebagai manusia. Kekeringan spiritual manusia postmoderen menyadarkan manusia Indonesia bahwa Pancasila masih tetap dibutuhkan.
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Qs. Al-Furqan [25]: 43)