News, Opini  

Yogyakarta Darurat Sampah, Tak Ada Rindu, Pulang, dan Angkringan

Yetti Rochadiningsih
Ilustrasi Darurat Sampah
Ilustrasi Darurat Sampah (Foto: www.freepik.com)

Yogyakarta sedang Darurat Sampah. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)/Tempat Pembuangan Akhir (TPA) bahkan sampai di tutup karena sudah tidak memungkinkan lagi dalam menerima sampah. Yogyakarta tak selamanya berisi tentang rindu, pulang, dan angkringan.

Di kota wisata ini, juga ada masalah sampah yang tak kunjung selesai. Berdasarkan berita terbaru, dampak penutupan TPST/TPA Piyungan menuai protes warga di sekitar, pasalnya limbah sampah membuat air warga tercemar.

Mengutip SuaraJogja.id, rupanya Ombudsman RI sudah pernah memberikan rekomendasi terkait permasalahan ini. Ombudsman RI pun menilai pemerintah DIY lamban dalam menangani persoalan sampah. Sebab, TPST Piyungan yang saat ini overload tersebut sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2012. Bahkan, pemerintah DIY juga dinilai mengabaikan rekomendasi yang ORI buat tahun 2018 yang lalu.

 

Yogyakarta Darurat Sampah, Mengapa TPA Piyungan Tutup?

Jadi penutupan  TPST/TPA Piyungan, Bantul, Yogyakarta sudah sejak 23 Juli 2023, informasi ini tertuang dalam surat pemberitahuan yang ditandatangani Sekretaris Daerah (Sekda) DIY.

Berdasarkan hasil kesepakatan dikarenakan lokasi zona eksisting TPA Piyungan yang sudah sangat penuh dan melebihi kapasitas maka pelayanan sampah di TPA Piyungan tidak dapat dilakukan mulai tanggal 23 Juli 2023 sampai 5 September 2023. Mohon kerjasama kabupaten/kota untuk mengambil langkah-langkah penanganan sampah secara mandiri di wilayah masing-masing,” bunyi surat pemberitahuan.

Berdasarkan hasil penelusuran penulis, TPA Piyungan yang rencannya akan di pindah TPS sementara di Karanggeneng, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, resmi batal usai mendapat penolakan dari warga. Hingga saat ini Pemerintah Daerah DIY masih menggodok opsi tempat lain sebagai pengganti bersama Pemkab Sleman.

Ubah Masalah Sampah Jadi Berkah

Jadi begini, mungkin kalimat ini terkesan klise bahwasannya sampah itu bukan dibuang namun dikelola, didaur ulang, dan dimanfaatkan. jika kita dapat mengelolanya dengan baik, sampah menyimpan potensi berupa gas metan, briket, kompos, bahan kerajinan, dan masih banyak lagi.

Namun dalam artikel ini penulis tertarik untuk mengambil contoh dari daerah terdekat Yogyakarta. Di Pati, Jawa Tengah TPA telah berhasil diubah menjadi destinasi wisata. Kita tentu bertanya-tanya, kok bisa?

TPA yang terletak di desa Sukoharjo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati ini awalnya seperti berbagai TPA lainnya yang yang identik dengan gundukan sampah dan bau busuk.

Namun, TPA Pati berhasil di ubah menjadi taman, Kebun Binatang Mini, tempat permainan anak, arena outbond, bumi perkemahan, taman kehati (keanekaragaman hayati), dan taman bacaan. TPA ini diharapkan dapat menjadi ruang publik dan wahana rekkreasi alternatif yang bersifat edukatif bagi warga Pati dan sekitarnya. Selain itu masyarakat yang berkunjung dapat melihat proses pengolahan sampah, di TPA Margorejo Pati.

 

Rekomendasi

Artikel ini mengangkat berita yang masih hangat dibicarakan, namun penulis sebagai bagian dari warga sipil juga ingin menyampaikan opini berupa masukan sederhana untuk pemerintah dan masyarakat khususnya di daerah Yogyakarta.

Karena sudah tentu masyarakat menunggu kebijakan terbaik dari pemerintah setempat. Kebijakan ini lebih kepada perubahan mindset dan harus dilakukan oleh seluruh lapisan, baik pemerintah provinsi, pemerintah kota serta masyarakatnya.

Jadi, penulis menemukan fakta bahwa sejak 2011 UGM telah melakukan pengembangan fasilitas pengolahan sampah organik menjadi kompos di Pusat Inovasi Agro Teknologi. Lalu, tahun 2016 mendirikan Rumah Inovasi Daur Ulang dengan konsep pengolahan sampah berbasis 3R (Reduce, Reuse, Recycle).

Penulis melihat, bahwa Pemerintah DIY kurang tanggap dalam mengantisipasi permasalahan sampah. Hal ini dibuktikan sejak tahun 2018 Ombudsman RI telah memberi rekomendasi terkait permasalahan ini dan tahun 2011 UGM telah mengembangkan fasilitas pengolahan sampah organik menjadi kompos.

Selanjutnya, apakah pemerintah setempat mau mendengar rekomendasi yang diberikan pihak lain dan bersinergi dengan perguruan tinggi. Darurat masalah sampah bukan hanya masalah pemerintah namun perubahan mindset dan harus dilakukan oleh seluruh lapisan, baik pemerintah provinsi, pemerintah kota serta seluruh masyarakat.

Bagi seluruh masyarakat sudah saatnya mulai sedikit lebih kreatif dalam memilah sampah yang di hasilkan dari rumah tangga. Jangan ada lagi sampah yang campur, masyarakat dapat memisahkan antara sampah organik dan non organik.

 

Baca juga: 5 Destinasi Pariwisata Super Prioritas Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *