Jejak Langkah dari Kampung Batik

Cerita pendek ini fiksi, saya buat untuk mengapresiasi salah satu Pelaku Ekraf dengan brand "Mejikuhibiniu Butik".

Mejikuhibiniu Butik (Foto: istimewa)
Mejikuhibiniu Butik (Foto: istimewa)

Di sebuah kampung kecil di Jawa Tengah, di mana aroma lilin membatik masih menari di udara, Laras duduk di teras rumah kayunya. Di tangannya, selembar kain batik tua warisan neneknya, motif Parang Kusumo yang halus seperti bisikan leluhur. Tapi matanya tak menatap kain itu, ia memandang sepasang sepatu kulit di pangkuannya, desainnya memadukan batik dengan garis modern, hasil karyanya sendiri.

Baca juga: 6 Brand Slow Fashion Indonesia: Melokal dan Menginspirasi!

“Kenapa tidak dijual saja kain batik biasa, Lar? Sepatu ini terlalu nekat,” tegur Ibunya suatu sore, sambil menyusun kelengkung batik yang akan dikirim ke pasar.
Tapi Laras tersenyum. Ia teringat kata-kata almarhum ayahnya, seorang pengrajin kulit: “Batik bukan hanya untuk dibentang, Nak. Ia harus hidup di setiap langkah zaman.”

Bermodal mesin jahit tua dan kulit sisa produksi tetangga, Laras mulai menciptakan sepatu yang ia sebut “Batik Steps”. Setiap pasang ia hiasi dengan motif batik berbeda: Truntum untuk pengantin, Sido Mukti untuk pebisnis, dan Megamendung untuk anak muda. Tak lupa, solnya ia anyam dari serat alam ramah lingkungan hasil kerajinan ibu-ibu di kampungnya.

Suatu hari, seorang wisatawan Prancis tersesat ke galeri kecil Laras. Matanya berbinar melihat sepasang sneaker batik berwarna nila dengan tali sepatu tenun Sumba. “C’est magnifique! Ini seni sekaligus pemberontakan!” katanya sambil memotret. Keesokan pagi, tagihan @Mejikuhibiniubutik di media sosial. Pesanan mengalir dari Jakarta sampai Lyon.

Tapi kebanggaan sejati Laras bukan pada omzet yang membengkak. Ia melihat perubahan di kampungnya: ibu-ibu yang dulu hanya mengurus rumah, kini bersemangat menganyam serat untuk sol sepatu. Anak muda mulai berbondong pulang dari kota, ingin belajar membuat “cool stuff ala kita”. Bahkan Pemerintah Daerah menjadikan kampung mereka sebagai “Eco-Craft Tourism Village”.

Di akhir cerita, saat Laras berdiri di pameran fashion Milan mewakili Indonesia, ia berkata pada pewawancara: “Ini bukan tentang sepatu. Ini tentang jejak langkah kami yang tak ingin hilang ditelan zaman. Setiap jahitan adalah cerita, setiap motif adalah harga diri. Kami tak lagi mengejar tren global, kami adalah tren itu.”

#BanggaBuatanIndonesia
“Dari kulit, batik, dan anyaman, kami menjejakkan identitas di kancah dunia.”

Produk kreatif Indonesia bukan sekadar barang dagang. Mereka adalah kanvas budaya yang hidup, menghubungkan warisan leluhur dengan napas generasi baru. Setiap pembelian adalah dukungan untuk mimpi anak negeri yang berani berkata: “Lihatlah, inilah kami!” 🌺✨

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *