Konser vs Ekonomi: Belajar dari Singapura

Yetti Rochadiningsih (Analis Kebijakan Ahli Muda)

admin
Konser vs Ekonomi (Desain: Canva - YettiRock)
Konser vs Ekonomi (Desain: Canva - YettiRock)

Konser vs Ekonomi: Belajar dari Singapura – Bayangkan jika setiap konser internasional di Indonesia bukan sekadar memenuhi hasrat penggemar musik, tetapi juga menjadi powerhouse ekonomi yang menggerakkan hotel, maskapai, UMKM, hingga warung kaki lima. Bayangkan turis asing berduyun-dunya datang ke Bali atau Raja Ampat bukan hanya untuk pantai, tapi juga untuk menyaksikan Taylor Swift sambil menikmati kuliner Nusantara. Di Singapura, ini bukan mimpi—ini realitas. Enam hari konser Taylor Swift di sana menyuntikkan Rp6,4 triliun ke perekonomian.

Tapi di Indonesia, satu hari konser Coldplay “hanya” menghasilkan Rp843 miliar—angka yang bahkan kalah dari pendapatan satu hari pameran otomotif di JIExpo. Padahal, negeri ini punya 270 juta penduduk, kekayaan budaya tak ternilai, dan lokasi strategis di jantung Asia Tenggara. Lalu, apa yang salah?

Jawabannya terletak pada cara kita memandang bisnis hiburan: sementara Singapura melihat konser sebagai pintu masuk untuk membangun rantai ekonomi multisektor, Indonesia masih sibuk berebut kue yang sama—dari calo tiket hingga birokrasi yang berbelit. Bisnis hiburan kita seperti orkestra tanpa konduktor: setiap pemain sibuk dengan nadanya sendiri, tanpa harmoni.

Tapi pertanyaannya bukan bisakah, melainkan maukah Indonesia berubah? Jika Singapura—dengan luas 1/5.000 wilayah Indonesia—bisa menjadi magnet konser global, mengapa kita tidak? Ini bukan soal kapasitas, tapi strategi. Saatnya bertanya: Jika panggung sudah ada, mengapa lampu sorak ekonomi kreatif kita masih redup?

Ini bukan sekadar pertanyaan untuk promotor atau pemerintah, tapi untuk kita semua. Karena di balik dentuman bass dan sorak penonton, ada potensi triliunan rupiah yang menunggu untuk diteriakkan: Indonesia bisa! Asalkan kita berani melihat konser bukan sebagai akhir, melainkan awal dari sebuah lomba estafet ekonomi kreatif.

Indonesia: Potensi Terhambat Mentalitas Jangka Pendek

Indonesia sebenarnya memiliki modal besar: populasi muda yang dinamis, kekayaan budaya, dan lokasi geografis strategis. Namun, sejumlah tantangan struktural membuat potensi ini belum tergarap maksimal:

Baca juga: Swiftonomics : Dongkrak Ekonomi Negara Lewat Konser Taylor Swift

Mentalitas ‘Cepat Panen’

Maraknya praktik calo tiket yang menjual tiket Coldplay hingga Rp50 juta (10 kali lipat harga resmi) dan alokasi tiket untuk “orang dalam” mencerminkan keserakahan jangka pendek. “Banyak pihak melihat konser sebagai proyek quick profit, bukan membangun ekosistem yang berkelanjutan”.

Birokrasi Berlapis

Proses perizinan konser di Indonesia melibatkan 14 instansi berbeda, mulai dari kepolisian, dinas pariwisata, hingga pihak keamanan bandara. Proses ini bisa memakan waktu 3-6 bulan—bandingkan dengan Singapura yang hanya perlu 7 hari dengan sistem single-door submission.

Infrastruktur Terpisah-Pisah

Tidak ada skema paket terpadu yang menggabungkan konser dengan destinasi wisata. Akibatnya, 90% penonton Coldplay di Jakarta hanya datang untuk 1 hari tanpa menginap atau menjelajahi objek wisata sekitar.

Roadmap untuk Indonesia

Belum lama konser Fenomena Coldplay dan BTS telah mengguncang Jakarta, keberhasilan Java Jazz Festival juga membuktikan besarnya minat global terhadap negeri ini.  Indonesia kini berada di titik krusial untuk mewujudkan potensinya sebagai pusat hiburan Asia Tenggara. Cerita lama masih belum berubah, tantangan berupa infrastruktur terbatas, regulasi berbelit, dan konsentrasi event di ibukota. Lain halnya dengan negara sebelah, Singapura dan Thailand yang justru memperkuat posisinya.

Please, tolong jangan tonjolkan prestasi korupsi. Indonesia harus bergerak cepat dengan strategi terintegrasi yang menggabungkan reformasi regulasi, pengembangan venue, dan pemanfaatan teknologi. Roadmap berikut menawarkan langkah konkret untuk mengubah Indonesia dari sekadar tempat singgah menjadi destinasi utama hiburan kelas dunia yang memberikan manfaat ekonomi bagi seluruh Nusantara. Untuk mengubah tantangan menjadi peluang, Indonesia perlu langkah strategis:

Revolusi Regulasi

Menerapkan sistem perizinan satu pintu berbasis digital untuk memangkas birokrasi. Sistem ini akan mengintegrasikan seluruh proses perizinan event hiburan dari tingkat pusat hingga daerah, memotong waktu pengurusan dari berbulan-bulan menjadi hanya hitungan hari. Sanksi tegas bagi pelaku calo tiket dan mekanisme transparan dalam penjualan tiket akan menciptakan ekosistem industri hiburan yang lebih sehat dan terpercaya, melindungi konsumen dari praktik jual-beli tiket yang merugikan.

Paket Wisata Terintegrasi

Merancang paket Java Jazz + Candi Borobudur atau Coldplay + Raja Ampat, lengkap dengan tiket pesawat, akomodasi, dan tur berpemandu. Pendekatan ini tidak hanya mendistribusikan manfaat ekonomi ke berbagai sektor, tetapi juga memperpanjang durasi kunjungan wisatawan. Pemerintah daerah bisa berkolaborasi dengan biro perjalanan untuk menawarkan diskon bundle, menciptakan pengalaman wisata yang komprehensif yang memadukan kekayaan budaya dan keindahan alam Indonesia dengan sajian hiburan kelas dunia.

Venue Kelas Dunia

Membangun stadion berkapasitas 50.000-100.000 penonton di destinasi super prioritas seperti Mandalika atau Labuan Bajo, dilengkapi fasilitas akomodasi dan transportasi terintegrasi. Fasilitas ini akan dirancang dengan standar internasional dan teknologi terkini untuk mengakomodasi berbagai jenis event, dari konser musik hingga festival budaya. Dengan infrastruktur pendukung yang lengkap, venue ini akan menjadi magnet baru yang menarik promotor global untuk menggelar acara di Indonesia.

Insentif Kreatif

Menawarkan potongan pajak bagi promotor yang mengadakan konser di luar Jakarta atau menggandeng UMKM lokal sebagai mitra merchandising. Kebijakan ini akan mendorong pemerataan event hiburan ke berbagai wilayah Indonesia, sekaligus membuka peluang bagi UMKM lokal untuk terlibat dalam rantai nilai industri hiburan. Program pendampingan dan pelatihan juga akan disediakan untuk meningkatkan kapasitas UMKM dalam memenuhi standar kualitas yang dibutuhkan dalam industri hiburan global.

Ekosistem Data:

Membangun platform analitik untuk memetakan preferensi penonton (misal: 60% penggemar K-Pop berasal dari kalangan usia 18-25 tahun) dan menyesuaikan paket promosi. Data ini akan menjadi landasan dalam pengambilan keputusan strategis, baik oleh pemerintah maupun pelaku industri. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang demografi dan preferensi konsumen, strategi pemasaran dan pengembangan produk wisata hiburan dapat dilakukan secara lebih tepat sasaran, meningkatkan efektivitas investasi dan tingkat kepuasan pengunjung.

Penutup

Kisah Singapura membuktikan bahwa konser internasional bukan sekadar pertunjukan musik, melainkan trigger untuk aktivasi ekonomi skala besar. Bagi Indonesia, ini adalah saatnya berbenah: mengubah konser dari sekadar acara hiburan menjadi proyek nasional yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Seperti disampaikan Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, “Kita harus berani berpikir besar. Jika Singapura bisa dapat Rp6,4 triliun dari Taylor Swift, kenapa Indonesia tidak?”

Angka Rp843 miliar dari Coldplay bisa menjadi awal bagi Indonesia untuk meraih posisi sebagai entertainment hub Asia Tenggara. Saatnya musik tidak hanya menghentak panggung, tetapi juga mengguncang perekonomian nasional.

Referensi:

Dampak Ekonomi Penyelenggaraan Pertunjukan Musik: Konser Taylor Swift dan Coldplay di Indonesia dan Singapura. Oleh: Mohamad Dian Revindo, Ph.D., Chairina Hanum Siregar, M.E., Tarisha Yuliana, S.E. (LPEM FEB UI)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *