Sastra  

Cinta dan Persahabatan #3

Akhir Perjalanan Cinta Sejati (Tamat)

Dwi Yulianti
Cinta dan Persahabatan (foto: www.freepik.com)
Cinta dan Persahabatan (foto: www.freepik.com)

Cinta dan Persahabatan – Nayla membaca berita mengenai bencana alam yang terjadi semalam di Desa Cisarua, Sukabumi. Darahnya berdesir jika mengingat korban-korban bencana alam yang pernah ditolongnya saat menjadi relawan Tim SAR. Sudah kelima kali diikutinya kegiatan kemanusiaan yang membuatnya lebih menghargai hidup dan kehidupan.

Pekerjaannya sebagai karyawan di perusahaan yang dipimpin kakaknya memungkinkan Nayla mendapatkan izin mengikuti kegiatan kemanusiaan yang dilakukannya. Kak Aliansyah selalu membantunya dengan memberikan kemudahan saat meminta izin pada HRD. Pak Aditama akan  memberikan izin karena alasan yang sama ditambah paksaan dari Hanna yang kadang ingin ikut.

“Mas, aku mau ikut Nayla, tidak jauh hanya di Sukabumi,” rajuk Hanna pada suaminya, Aliansyah. “Sayang agenda kita padat, seminggu ke depan bahkan satu bulan. Papa dan mama juga masih di Belanda pekan depan baru pulang, Hanya kita yang bisa diandalkannya,” jelasnya meminta pengertian Hanna.

Hanna menggerutu saat suaminya tak mengizinkannya. “Sayang lupa, semalam minta dikerok karena masuk angin. Bagaimana mungkin di sana mau menolong orang lain jika menjaga diri sendiri saja tidak bisa?” tanya Ali memberikan alasan yang lebih kuat pada Hanna. Memang belakangan rasa pening dan mual sering datang saat lelah bekerja.

Ali yang sedang membuka bekal yang dibawanya terdiam saat Hanna mulai mengomel seperti biasanya. “Tapi Nayla …,” ucapan Hanna terhenti karena rasa mual yang dirasakannya saat mencium aroma makanan dari kotak bekal yang dibuka Ali.

Hanna berlari menuju toilet dan dimuntahkannya semua isi perutnya. Ali yang kaget melihat istrinya berlari, mengikutinya dan memberikan pijatan lembut di tengkuknya. Ali tersenyum melihat kondisi Hanna saat ini, jika tebakannya tidak salah, saat ini Hanna sedang mengandung.

“Sayang bagaimana? aroma terapinya bisa menghilangkan rasa mual?” tanya Ali pelan  pada Hanna yang kini berbaring di sofa ruang kerja mereka. Hanna hanya memejamkan matanya merasakan perutnya yang terasa tak enak. “Selesai rapat siang nanti kita ke dokter ya, Sayang,” ucap Ali yang dijawab hanya dengan anggukan Hanna yang masih lemas.

***

“Nay, semua sudah siap?” tanya Mba Ina saat melihat Nayla memeriksa isi ranselnya. “Sudah Mba, ada yang mau di bawa lagi?” tanya Nayla sambil menutup ranselnya dan memakainya di punggung.

“Perjalanannya agak jauh, semoga saja medannya bersahabat. Kita bawa obat dan kebutuhan pokok. Tim pertama sudah masuk, kemungkinan sudah sampai. Tim kedua masih dipejalanan satu jam lagi diperkirakan sampai. Kita berangkat sepuluh menit lagi,” jelasnya sambil membantu Nayla memindahkan obat-obatan ke dalam kardus untuk diikat menggunakan bambu.

Lokasi longsor kali ini jauh di pelosok, tujuh kampung mengalami banyak kerusakan. Rumah-rumah tertimbun material longsor. Balai desa menjadi posko utama Tim SAR, semua bantuan dipusatkan di sana. Setiap tim yang terdiri dari dokter dan beberapa relawan akan membantu setiap kampung yang terkena bencana, Nayla berada di tim kelima, bersama Mba Ina sebagai koordinatornya.

Setelah melalui perjalanan hampir tiga jam rombongan kelima sampai di lokasi. Para pemuda sudah membangun posko darurat untuk menampung korban yang selamat, Nayla langsung melakukan koordinasi dengan beberapa pemuda terkait dapur umum. Dokter dan tenaga medis langsung membuka obat-obatan yang dibawa untuk segera melakukan pertolongan pertama.

“Nay, sudah makan?” tanya Mba Ina saat melihat Nayla duduk memperhatikan dokter yang sedang mengobati korban luka di poskonya. “Belum, mba. Baru selesai merapikan perlengkapan untuk digunakan besok,” jawab Nayla sambil tersenyum. “Ada kenangan dengan seorang dokter?” tanya Mba Ina asal menebak.

Nayla tak menjawab, Nayla teringat sosok yang menatapnya dulu di rumah sakit. Tatapan matanya mengingatkannya pada tatapan Rasya saat dia meninggalkannya di bangku taman. “Hei, malah melamun, ayo kita makan,” ajak Mba Ina sambil menarik tangannya. Nayla tersenyum malu dan mengikuti Mba Ina berjalan menuju anggota tim lain yang sedang makan.

Awal pertemuannya dengan Mba Ina terjadi saat pertama kali mengikuti Tim SAR, pertemuan selanjutnya terjadi beberapa kali dalam kegiatan yang sama, hingga akhirnya mba Ina diangkat menjadi  kordinator. Hubungan mereka semakin dekat dan terjalinlah sebuah persahabatan walau usia mereka berbeda tiga tahun.

“Sepertinya kita akan tertahan di sini, lokasi kita cukup parah, hujan kemarin juga memungkinkan terjadi longsor susulan, kita harus bersiap,” laporan ketua Tim SAR saat mereka berkumpul untuk makan malam. Semua anggota mendengar penjelasan lanjutan sambil menikmati makan malam.

“Sebagai informasi, tim yang masih bertugas adalah tim tiga, lima, dan enam. Tim yang lain sudah kembali ke posko utama, karena lokasi longsor sudah aman, dan bantuan bisa diberikan melalui jalan yang sudah dibuka. Mereka yang masih bertahan akan di perbantukan untuk tiga tim yang masih bertugas, jika ada yang ingin berhenti bertugas, besok waktu pergantiannya. Pukul 13.00,” jelas ketua tim saat menutup kegiatan makan malam dan meminta kami semua beristirahat.

***

“Sayang, selamat ya. Mama senang sekali mendapat kabar dari kamu Ali, mama akan jadi nenek,” ucapan mama terdengar sambil merangsek masuk melewati Ali yang membukakan pintu. Mama langsung memeluk Hanna yang baru saja bangun.

Papa yang masuk belakangan tersenyum melihat Ali yang terpaku di depan pintu, papa menepuk bahunya pelan dan mengucapkan selamat. Ali tersenyum dan mencium punggung tangan papa yang kemudian memeluknya. “Mama sudah tidak sabar, sejak di bandara hanya cucunya saja yang disebut-sebut,” jelas papa yang melangkah masuk bersama Ali.

Kini mereka berbincang di ruang tamu, semua nasihat yang diucapkan mama pada Hanna, hanya dijawab dengan anggukan kepala mengiyakan. Papa dan Ali yang duduk di bagian lain, berbincang mengenai perkembangan perusahaannya, juga kemungkinan kerja sama dengan rekanan lain.

Pencarian terhadap korban longsor ditingkatkan, semalam longsor kembali terjadi. Tim SAR yang masih ada di lokasi langsung memberikan pertolongan, karena kejadian di malam hari dan hujan mengguyur, beberapa anggota Tim SAR mengalami luka-luka. Saat ini mereka juga mencari anggota tim yang terperangkap longsor.

“Mas, Nayla mas …, Nayla! Hanna takut jika itu menimpa Nayla mas …,” suara Hanna tak terdengar lagi hanya isak tangis yang kemudian juga menghilang dengan badannya yang luruh melunglai. Ali menghampiri dan membopong Hanna menuju kamar, dimintanya asisten rumah tangga menghubungi dokter pribadi mereka.

Mama dan papa mengikuti Ali ke kamar, mereka saling berpandangan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Hanna sudah dibaringkan di kasur, Ali mengambil aroma terapi dan memijat lembut kening Hanna, dipanggilnya dengan pelan agar tidak mengagetkannya. Saat dilihatnya mata Hanna mengerjap, Ali tersenyum dan berbisik, “Sayang tidak perlu khawatir. Jika ada apa-apa Nayla pasti ada yang menolongnya.”

Hanna terdiam mendengar ucapan Mas Ali, Nayla memang sangat baik. Dia tak pernah menyakiti ayah dan ibu juga sayang pada Mas Ali. Apalagi padaku, batin Hanna berkata. Dicobanya tersenyum mendengar ucapan Mas Ali, tak lupa didoakan untuk keselamatan Nayla.

***

“Mba Ina, aku mau jalan-jalan melihat suasana malam boleh?” tanya Nayla setelah makan malam mereka selesai. “Jika sendiri tidak boleh, tapi kalau ditemani koordinator tim, boleh,” ucapnya sambil tersenyum meledek.

“Baik bu koordinator, Nayla siap didampingi,” ucap Nayla sambil menahan tawa. Kini mereka berjalan berkeliling melihat apa yang dilakukan alam pada sebuah kehidupan. Beberapa rumah yang masih bisa digunakan terlihat cukup ramai, kebersamaan masyarakat di kampung sangat jelas terlihat.

“Longsor …! longsor …!”

“Selamatkan diri, ayo …, lari …!”

Suara teriakan-teriakan membuat suasana panik di sekitar Nayla dan Mba Ina. Namun jiwa penolong yang sudah tertanam, tak membuat mereka berlari, Mba Ina membaca situasi, mereka berdua menyingkir agar tidak tertabrak orang yang berlarian. Saat didengarnya, sebuah panggilan hati mereka berdua bergerak.

“Ada korban yang tertimbun, masih bernapas!” Nayla dan Mba Ina bergegas menghampiri asal suara, setelah sedikit mendapatkan informasi mereka bergegas menuju lokasi. Beberapa pemuda sedang membantu melakukan evakuasi, penerangan yang hanya mengandalkan obor membuat suasana temaram.

Dengan bantuan Nayla dan Mba Ina korban berhasil diamankan, kini mereka akan mencari jalan menuju posko darurat. Mereka mencari batang kayu atau alat apapun yang bisa digunakan sebagai tandu darurat, tak mungkin membawa korban tanpa tandu karena lukanya cukup parah. Setelah dibuat tandu sederhana kini mereka membawanya melalui jalan yang curam.

Nayla dan Mba Ina berjalan di belakang para pemuda sambil mengamati dan melihat situasi di belakangnya, khawatir longsor akan melalui jalan mereka. Suara dahan yang tergesek semakin keras, mereka saling berpandangan. “Naik ke tempat tinggi. Di depan ada bukit. Cepat!” Mereka berjalan semakin cepat seiring suara yang semakin mendekat.

“Mba Ina …!”

Nayla berteriak kaget saat Mba Ina terjatuh dengan luka di lututnya. “Ayo cepat!” teriak pemuda di depannya. Mereka tetap bergerak, Nayla membangunkan Mba Ina yang kini tak bisa berjalan dengan cepat karena luka di lututnya.

Mereka berjalan terseok. “Nay pergilah, tinggalkan aku di sini. Nanti tim lain yang akan datang menolong,” ucap Mba Ina sambil mendorong tubuh Nayla agar terus berjalan. Nayla menggeleng perlahan. “Mba aku akan menggendongmu, pegangan yang kencang!” Perintah Nayla sambil mengangkat tubuh Mba Ina dan menggendognya di punggung.

“Nay, ini akan memakan waktu, pergilah Nay!” teriak Mba Ina saat dirasakan Nayla mulai berjalan perlahan dengan beban tubuhnya. Nayla tak menjawab hanya dilangkahkan terus kakinya menuju arah bukit yang dikatakan oleh pemuda yang sudah menghilang berjalan di depannya. Mba Ina menangis dengan sikap Nayla yang tak ingin meninggalkannya.

“Ayah, Ibu, Mas Ali. Maafkan Nayla jika sudah merepotkan. Nayla belum bisa membahagiakan ayah dan ibu. Semoga kalian selalu bahagia. Hanna …, maafkan aku juga.” suara Nayla dalam hati.

***

“Nay, masih sakit?”

Suara yang lama tak pernah didengarnya kini ada di sampingnya. Berpakaian putih-putih dengan senyum bahagia. “Aku di mana?” batin Nayla melihat sekeliling. Diingatnya terakhir kali saat dia berjalan dengan kelelahan, namanya dipanggil oleh seseorang yang dirindukannya. Rasya, Dokter Rasya.

Di tatapnya sosok yang ada di sampingnya kini, tangannya menggenggam erat tangan Nayla seakan tak ingin dipisahkan. “Dokter, ini obat untuk pasiennya jika sudah sadar. Keluarganya juga sudah ada di depan. Apakah diizinkan masuk?” tanya seorang perawat sambil memberikan obat yang dimaksud.

Dokter Rasya mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ditatapnya kembali gadis yang selalu ada  di hatinya. “Nay, berjanjilah jangan pernah pergi lagi dariku. Jangan menolakku hanya untuk kebahagiaan orang lain. Aku ingin hidup bahagia bersamamu, Nay. Sekarang dan selamanya,” ucap Rasya tanpa ingin dibantah Nayla.

Nayla tersenyum dan mengangguk pelan. Rasya tersenyum dan berbisik, “Terima kasih, Sayang.”

 

TAMAT

Oleh: Oase_biru

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *