Sastra  

Cinta dan Persahabatan #2

Persahabatan Mengalahkan Kisah Kelam di Masa Lalu. (Eps 2)

Dwi Yulianti
Cinta dan Persahabatan (foto: www.freepik.com)
Cinta dan Persahabatan (foto: www.freepik.com)

Cinta dan Persahabatan – “Nay, selamat ya. Aku tahu kamu pasti akan mendapatkannya. Jadi bagaimana dengan tawaranku?” tanya Hanna sambil mengulurkan tangannya pada Nayla kemudian mencium punggung tangan ayah dan ibu Nayla. Digumamkan terima kasih, namun tak menjawab pertanyaan Hanna.

Jika dijawabnya saat ini ayah pasti akan mengiyakan, sedangkan dia tak ingin melanjutkan kuliah saat ini. Nayla ingin bekerja untuk membantu ayah dan ibunya. Pengobatan Kak Ali dijadwalkan masih satu tahun lagi. Beberapa operasi akan dilakukan hingga bisa dipastikan sakit kepalanya menghilang selama kakak mengonsumsi obat dan mengikuti terapi sesuai saran serta nasihat dokter.

“Hanna, ayo kita pulang!” suara papa yang sedikit memerintah membuat Hanna menoleh dan mengerucutkan bibirnya. “Nay, aku masih menunggu jawabanmu ya,” ujar Hanna sambil melangkah meninggalkan Nayla dengan orang tuanya. Hanna menghampiri papanya, dibawah bayang-bayang tatapan Ayah Nayla yang mengulas kembali masa lalunya.

***

Flashback on

“Ma, sudah waktunya kita pulang?” tanya Pak Adi khawatir melihat istrinya yang sudah lelah. “Sebentar lagi mas, biar mudah melahirkannya juga nanti. Mama mau ke seberang membeli perlengkapan untuk putri kita, sebentar Pa,” jawabnya sambil mencoba tersenyum.

Taman dekat rumah sakit menjadi tempat favorit Pak Adi mengajak istrinya berjalan-jalan menjelang kelahiran putrinya. Jika istrinya mulai merasakan kontraksi nanti bisa langsung ditangani di rumah sakit. Menurut prediksi dokter dua sampai tiga hari lagi istrinya akan melahirkan. Setiap pulang bekerja, diajaknya istrinya ke taman.

“Pa, mama ke seberang dulu ya …,” ucapan yang belum selesai berganti dengan teriakan beberapa orang yang ingin menghentikan langkah istrinya.

“Ibu… awas!”

“Hei… ambulance! minggir!”

Pak Adi yang binggung melihat keadaan di hadapannya hanya terdiam melihat tubuh istrinya terserempet dan terjatuh di trotoar. Beberapa orang satpam rumah sakit langsung menghambur dan membantu mengamankan keadaan. Mobil ambulance yang membawa pasien diberikan jalan menuju rumah sakit.

Tak lama sebuah brankar dorong sampai dengan beberapa perawat yang mengiringi, istrinya dinaikkan ke atas brankar dan didorong masuk ke dalam IGD rumah sakit. Pak Adi tersadar saat beberapa orang menegur dan mengingatkannya. “Pak istrinya sudah di bawa ke rumah sakit, bapak tidak ikut?” tanya seorang pedagang yang selalu memperhatikan Pak Adi dan istrinya di taman.

“Oh. Iya pak. Saya susul istri saya dulu, terima kasih,” ucapnya pelan dan mulai melangkah. Pak Adi tak bisa memikirkan apa yang akan terjadi, istrinya kini sudah di ruang IGD, saat dokter datang dan memeriksanya di mintanya perawat untuk mencari keluarganya.

“Keluarga Ibu ….”

“Saya suaminya, Sus.”

Perawat mengamati sejenak, kemudian mengangguk. “Dokter ingin berbicara dengan bapak. Silakan ikut saya,” ucapnya cepat. Pak Adi tak menjawab, hanya mengangguk dan mulai melangkah mengikuti perawat ke dalam ruangan.

“Kami harus melakukan operasi. Kami akan berusaha untuk menyelamatkan keduanya, namun kami memerlukan bantuan bapak,” ucap dokter menjelaskan.

“Kondisi istri bapak sudah pendarahan, kami membutuhkan persetujuan bapak jika nanti kami harus memutuskan tindakan yang tepat,” lanjutnya sambil meminta perawat memberikan berkas yang harus ditandatanganinya.

“Papa …, selamatkan putri kita. Mama ingin melihatnya sehat dan tumbuh besar,” ucapan istrinya terngiang lirih di telinganya.

Dilihatnya butir bening menetes dari sudut mata istrinya. Pernikahan mereka hampir lima belas tahun dan baru diberikan amanah saat ini. Istrinya sangat senang saat diberitahukan jika dia mengandung. Tak lama butir bening itupun meluruh perlahan.

Di tandatanganinya surat pernyataan yang menuliskan dia memilih menyelamatkan istrinya terlebih dahulu, kemudian diserahkan kembali pada perawat yang langsung memberikan pada dokter untuk melihatnya. Dokter mengangguk dan memberi tanda jika operasi akan segera dilakukan.

Di hadapannya seorang lelaki mengendong putrinya yang tertidur menghadap istrinya yang terbujur kaku, perlahan butiran air mata penyesalan menetes perlahan. “Apakah keputusanmu sudah bulat? mencari pekerjaan sekarang sulit. Semua bukan kesalahanmu, istrinya yang menyeberang tanpa melihat kondisi jalanan,” ucap seorang satpam yang mencoba menenangkan sopir ambulance sore kemarin.

“Bang, aku tahu bagaimana perasaan bapak itu. Karena istriku juga baru melahirkan. Aku pasti akan sangat terpukul jika terjadi denganku,” ucapnya pelan. “Lagi pula kini aku trauma mengendarai mobil Bang,” lanjutnya.

Flashback off

***

“Bagaimana keadaan Kak Ali?” tanya Hanna pelan saat melihat Kak Ali yang terpejam. Nayla menoleh saat dilihatnya Hanna datang bersama mama dan papanya. Nayla bangun dan mencium punggung tangan mama dan papa Hanna, meminta mereka duduk di sofa karena Kak Ali masih tidur semenjak operasi selesai.

“Dokter bilang setelah operasi kakak akan tidur agak lama,” jelas Nayla saat mereka semua sudah duduk di sofa. Kali ini adalah operasi terakhir yang dilakukan sesuai jadwal yang diberikan dokter. Setelah ini kakak hanya akan menjalankan beberapa terapi saja.

“Ya, semoga saja setelah ini kakakmu benar-benar sembuh. Kecerdasan seorang Aliansyah dalam mengambil keputusan diperusahaan, masih kami butuhkan. Kami tidak menyangka jika kakakmu bisa bekerja dengan sangat baik dan bertanggung jawab di tengah penyakit yang dideritanya,” ucap Pak Aditama menilai karyawan terbaiknya.

“Bolehkah mama memberikan beasiswa kuliah untuk Ali, saat dia sembuh nanti? Sayang kan Pa, anak sehebat Aliansyah hanya tamat SMA,” janji mama sambil melirik Kak Ali yang masih tertidur.

Ayah dan ibu yang baru masuk dan mendengarnya mengucapkan terima kasih pada Pak Adi dan Ibu Widiya yang telah memberikan Ali, putra mereka kesempatan bekerja hampir satu tahun ini. Apalagi biaya pengobatan yang dibayarkan perusahaan,  membuat Ali bisa menjalankan tiga kali operasi sesuai yang dijadwalkan.

“Ali sangat hebat dalam mengambil keputusan di perusahaan, jadi kami juga sangat terbantu. Apalagi sabar mengajarkan putri kami yang manja ini,” ucap papa memuji sambil melirik Hanna yang masih mengobrol dengan Nayla.

“Hanna tidak manja ya, Pa. Hanna hanya perlu waktu untuk mempelajari bisnis perusahaan papa yang besar dan ribet itu. Kalau Kak Ali kan memang pintar dari sananya,” bela Hanna meminta persetujuan mama.

Saat diingatnya Hanna yang selalu bersemangat menceritakan keberhasilan mereka jika memenangkan beberapa kontrak kerja sama, mama tesenyum. Hanna selalu memuji Kak Ali yang pintar, baik hati dan juga mau menolong siapa saja tanpa pamrih.

“Han… Mama boleh minta sesuatu tidak?” tanya mama pelan. Hanna mengangguk menandakan jika mama bisa memintanya.

“Bisakah kamu dan Ali menjadi sebuah keluarga? Mama yakin Ali akan menjadi suami yang baik untukmu Han,” tanya mama meminta persetujuan pada papa. “Ma, Hanna belum memikirkan sejauh itu,” jawab Hanna sambil menunduk.

Mama tersenyum sambil berucap, “Bukan sekarang juga Han, kalian cobalah saling mengenal dulu.” Hanna tak lagi membantah. Diliriknya Kak Ali yang ternyata sudah mulai sadar, saat mereka saling bertatapan, Kak Ali menyunggingkan senyuman.

***

“Kak, kita rayakan dengan makan malam yuk. Kak Ali memang hebat. Papa bilang perusahaan Surya Kencana sulit di tembus, tapi tadi Kak Ali melewatinya dengan sangat baik. Papa saja sampai memberikan jempolnya,” puji Hanna pada Ali yang berjalan di samping Hanna.

Setelah pertemuan tadi Hanna meminta izin pada papa untuk jalan-jalan di taman, menghilangkan jenuh setelah hampir satu bulan bekerja mempersiapkan kontrak tadi. Papa mengiizinkan dengan syarat Ali menemaninya.

“Keberhasilan tadi berkat semua tim yang sudah bekerja keras, apalagi kamu yang selalu memberikan penyemangat Han,” ucap Ali sambil tersenyum. “Kak Ali muji atau meledek, penyemangat apa? marah-marah iya kalau ada yang salah. Hanna tidak bisa sesabar Kak Ali, mengapa ya?” tanyanya pada diri sendiri.

“Beneran Han, kalau tidak ada kamu kita pasti nyantai kerjanya,” ucap Kak Ali menegaskan. Hanna tersenyum sambil mengangguk. Di seberang ada gerobak jualan minuman jahe, Hanna teringat jika Kak Ali sangat menyukainya.

Hanna langsung mengambil langkah untuk menyeberang, sebuah motor yang melaju kencang membunyikan klaksonnya. Kak Ali yang masih di atas trotoar terkejut melihat Hanna yang terdiam di tengah jalan. Dilangkahkan kakinya cepat untuk menarik Hanna agar tidak tertabrak.

Hanna yang berhasil ditarik kini berjongkok menutup matanya melihat tubuh Kak Ali yang terlempar karena hantaman sepeda motor yang kemudian terjatuh karena direm oleh pengendaranya. “Aaaaaa…, Kak Ali!” teriak Hanna seketika melihat darah mengalir dari kepala Kak Ali yang tergeletak di tengah jalan.

“Sudah Han… kita doakan saja Kak Ali ya,” ucap Nayla menenangkan Hanna yang masih sesegukan. Papa dan mama yang datang belakangan menghampiri mereka. “Sayang, sudah. Kita doakan saja semoga Kak Ali baik-baik saja ya,” ucap mama menenangkan.

“Bagaimana keadaan Ali Pak?” tanya papa saat dilihat ayah dan ibu yang baru saja menemui dokter. Bapak menarik napas dalam. “Pak Adi, maafkan saya. Sepertinya ini adalah balasan dari apa yang terjadi pada istri bapak dahulu,” ucapnya lirih.

“Pak, kita akan menjadi satu keluarga, tidak ada lagi masa lalu yang akan menghalanginya. Benarkan Han?” tanya papa pada Hanna yang mulai berjalan ke arah mereka. “Ayah, Ibu… tadi Hanna mengajak Kak Ali ke taman, memang ingin mengikuti permintaan mama. Hanna ingin Kak Ali tahu jika Hanna juga sayang pada Kak Ali,” ucap Hanna pelan sambil menunduk.

“Tapi Pak Adi…,”

“Kami sudah mengetahuinya semenjak Hanna dan Nayla menjalin persahabatan, Nayla selalu mendahulukan kebahagiaan Hanna dibandingkan kebahagiaanya,” ucap papa pelan.

Sesaat kemudian dilanjutkan ucapannya, “Mereka sudah sangat dekat dan saya tidak ingin memisahkan mereka hanya karena kisah di masa lalu. Semua sudah diatur-Nya, kita hanya menjalani saja. Saya tidak mungkin bertemu istri saya yang sekarang jika ….” Ucapan papa terhenti karena mendengar suara lelaki yang memanggil namanya.

“Pak Adi, Ibu Widiya… Izinkan saya melamar Hanna untuk menjadi istri saya,” lirih suara Kak Ali terdengar jelas diantara keheningan yang tercipta di dalam ruang rawat rumah sakit.

Di balik pintu yang sedikit terbuka itu, seorang calon dokter mendengarkan apa yang dibincangkan di dalam. “Dokter Rasya, ruangannya ada di sebelah sini,” ucap seorang perawat mengingatkannya. Saat berjalan melewati ruang rawat tersebut, dicobanya menoleh ke dalam, sesaat matanya bertatapan dengan mata yang membuatnya tak akan pernah melupakan kisah cintanya dua tahun silam.

Baca juga: Cinta dan Persahabatan

Oleh: Oase_biru

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *