Sastra  

Bagyo

Nurul Huzaimah
www.freepik.com
www.freepik.com

Bagyo – “Di … di maana ibumu, Nak?” Terbata-bata lelaki tua tersebut bertanya gugup kepada seorang perempuan muda yang memberinya minum.

Tangan keriput itu bergetar ketika meletakkan gelas minuman di meja di depan perempuan muda cantik jelita tersebut. Kembali tangan itu bergetar ketika terangkat hendak mengelus pipi mulus sang dara belia di hadapannya.

“Mau apa?” bentak dara di hadapannya si lelaki tua reflek.

Tentu saja, perempuan tersebut terkejut karena tingkah tidak sopan gelandangan yang sedang disantuninya. Sontak, dia berdiri seraya mengentakkan kakinya. Kecemasan terhadap kemungkinan menerima pelecehan menguasai hati si cantik jelita.

Si lelaki spontan ikut berdiri. Dengan sepasang kaki lusuh yang bergetar hebat, dia menyangga badannya pada sandaran kursi yang semula dia duduki. Pemilik muka pucat dan lusuh tersebut menatap lekat perempuan muda di hadapannya. Dalam taksirannya, gadis yang kini berdiri kaku di hadapannya tersebut berusia sekitar 20-an tahun. Persis. Putrinya pun, usianya pasti sekitar itu.

***

Tanpa memperhatikan ekspresi kemarahan bercampur takut dari perempuan di hadapannya tersebut, lelaki tua nan lusuh tersebut mendekat. Tangannya kembali terulur hendak menjamah wajah cantik di depannya.

“Tidak tahu diri!” Sebuah bentakan menggelegar kembali menghentikan niatnya.

Kembali dia menarik tangan keriput tirusnya yang terus menerus bergetar tersebut, urung untuk mengelus wajah indah di hadapannya. Wajah yang dalam bayangannya adalah wajah putri cantiknya yang telah beranjak dewasa.

Bagyo, lelaki tersebut mengeluh pendek. Kembali dia terduduk di kursi dengan mulut sedikit menganga menatap suara yang membentaknya. Pemilik suara tersebut adalah seorang pria muda berperawakan gagah. Penampilannya rapi necis, karena meskipun hanya mengenakan kaos dan celana pendek selutut tetapi kaos dan celana pendek tersebut terlihat rapi dan diseterika licin.

***

Terlihat kemudian Bagyo memiringkan kepala. Tatapannya lekat ke arah pria muda yang sekarang berdiri di sebelah perempuan cantik yang dia kira sebagai anak. Sesekali diliriknya pula si perempuan muda nan cantik manis tersebut.

Tanpa bisa dimengerti untuk apa dan kenapa, senyum Bagyo terbit. Tubuh renta itu pun kembali berdiri. Kali ini dia mendekat ke arah si pria muda.

“Rio …,” desis Bagyo dengan suara lirih dan gemetar. “Kamu pasti Rio.”

“Be ….”

Ucapan perempuan cantik di hadapan Bagyo terputus oleh cengkeraman pria muda tersebut pada lengannya. Perempuan cantik tersebut meringis kesakitan. Mata bening indahnya berkaca-kaca menatap ke arah si pria yang Bagyo tebak bernama Rio.

Pria bernama Rio tersebut menggeram pendek. Dia tidak merasakan bahwa perbuatannya akan sangat menyakitkan bagi perempuan cantik yang dia cengkeram lengannya. Cengkeraman tersebut baru terlepas ketika perempuan cantik itu mengaduh pelan.  Perlahan, dia mengusap bekas cengkeraman tangannya dengan penuh penyesalan.

Sebaliknya, Bagyo kembali melangkah maju. Lelaki tua lusuh dan ringkih tersebut makin mendekat dengan wajah yang tampak sumringah.

***

“Tepat sekali. Kamu Rio. Dan ini pasti adikmu,” ucap Bagyo. Suaranya parau dan nyaris tidak jelas karena bibirnya yang gemetar merusak artikulasi suaranya.

“Siapa namamu, Anak Cantikku?” tanya Bagyo kembali.

Kedua orang berlainan jenis kelamin di hadapan Bagyo terperangah. Baru saja tadi gelandangan tua itu menebak nama Rio dengan tepat, lantas sekarang mengaku-aku jika si perempuan cantik itu sebagai anak cantiknya.

“Di mana ibu kalian? Aku kangen sekali.  Aku ingin minta …”

“Sinting!” sambar Rio cepat.  Suara gertakan yang diikuti geraman Rio memutus suara parau lirih yang hampir serupa ratapan dari Bagyo.

Rio meraup piring makanan di meja yang belum sempat termakan Bagyo. Lelaki gelandangan tua renta itu bahkan belum sempat menyentuhnya. Hanya air putih dingin saja yang diteguknya hingga hampir tandas. Selebihnya, Bagyo hanya sibuk menatap perempuan cantik yang telah berbelas kasih menjamunya dengan sepiring nasi berlauk lengkap serta segelas air dingin.

Rio meraih selembar kantong plastik lantas dengan gerakan kasar dia menuang makanan di piring ke dalam plastik di tangannya. Setelahnya kantong plastik berisi makanan tersebut diserahkannya ke tangan lelaki lusuh tersebut.

Akan tetapi, Bagyo bukannya menerima uluran makanan tersebut. Lelaki renta tersebut justru duduk berlutut di lantai menghadap Rio. Air matanya mengalir sembari terus memandangi wajah tampan Rio.

***

“Maaf, maafkan Bapak, Nak. Ijinkan Bapak bertemu ibu kalian,” ujarnya tersendat.

“Kenapa?  Untuk apa?” Rio melunak.

“Bapak ingin meminta maaf, ingin mengatakan bahwa Bapak telah mencari kalian selama bertahun-tahun. Bapak sama sekali tidak menyalahkan ibumu karena telah meninggalkan Bapak dan membawa kalian pergi.

“Kenapa Ibu pergi?” Perempuan jelita di sisi Rio menyela.

Isakan Bagyo mengusik perasaan lembutnya. Sehingga, tidak butuh waktu lama bagi Ratih, nama yang disandang perempuan cantik tersebut, untuk segera berempati terhadap kondisi prihatin yang ditunjukkan Bagyo.

Rio mengernyit menatap Ratih dengan pandangan tidak suka. Cepat sekali dia segera memberi isyarat kepada Ratih untuk diam dan menyuruhnya masuk.

“Jangan pergi!” Bagyo menengadah melihat Ratih yang bergerak perlahan hendak meninggalkan mereka. “Aku masih kangen. Bertahun-tahun aku mencari kalian dan baru berjumpa setelah diriku tua renta begini.

“Pak,” panggil Rio pelan. Lelaki tampan parlente tersebut merasa salah tingkah, tidak tahu bagaimana harus memperlakukan lelaki gelandangan renta yang kini berlutut di hadapannya tersebut.

Sebaliknya, Bagyo merasa bahagia sekali dipanggil bapak oleh Rio. Dengan segera dia bangkit berdiri dan menatap kedua anak muda di hadapannya dengan wajah cerah.

“Ya, Nak! Ini Bapak,” sahut Bagyo. Perasaan bahagia dan haru yang meluap nampak dari suara riang dan roman mukanya yang berbinar.

“Kebetulan, nama saya memang Rio. Tapi, saya bukan anak Bapak,” ujar Rio tegas. Disampaikannya kalimat pengingkaran tersebut dengan hati-hati setelah didahului dengan berdehem beberapa kali.

***

Bagyo menggeleng-geleng. Tangan renta nan kusamnya pun turut bergerak-gerak seirama dengan gelengannya.

“Kalian benar-benar anakku. Anak kandungku,” tandas Bagyo.

“Tidak mungkin!” Tiba-tiba Ratih menjerit histeris. Rio segera mendekat untuk menenangkan Ratih.

Pemuda tampan nan gagah itu merangkul Ratih. Kemudian dipapahnya tubuh tinggi langsing tersebut untuk duduk di kursi. Dia sendiri juga ikut duduk bersisian dengan Ratih, kemudian memberi isyarat menyilakan Bagyo untuk duduk pada kursi di hadapan Rio dan Ratih.

“Begini, Pak. Nama saya memang Rio.” Rio membuka suara, seperti halnya tadi, dia memulai percakapan setelah mengawali dengan berdehem beberapa kali.

“Stop! Jangan disela dulu!” Rio mengangkat tangannya ketika terlihat olehnya Bagyo membuka mulut. Dia tidak menghendaki Bagyo menyela ucapannya lantas mengacaukan suasana kembali. “Ini Ratih, istri saya,” ujar Rio kembali setelah suasana tenang. Dia mengangkat sedikit jemari tangan kanan Ratih yang sedari tadi digenggamnya untuk memperkenalkannya pada Bagyo.

Demi mendengar penuturan Rio, muka Bagyo mendadak pias. Sepasang bibir pucatnya terlihat bergerak-gerak seolah sedang mengucapkan sesuatu. Namun, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

“Kami memang baru menikah, tetapi tidak mungkin bila kami bersaudara. Kami berdua sangat mengenal kedua orang tua dan beberapa kerabat kami masing-masing. Sebelum hari ini, kami belum pernah berjumpa dengan Bapak. Emm …, maaf, siapa nama Bapak?”

***

“Si—siapa nama ibu kalian, Nak?” Bagyo bertanya gugup. Seolah tak mendengar perkataan Rio, dia malah mengajukan pertanyaan balik.

“Ibu saya Lili, ibunya istri saya Seruni. Mereka dua orang wanita yang berbeda,” terang Rio berusaha sabar.

“Saya Bagyo. Saya pamit, mohon maafkan saya.” Bagyo berdiri. Kakinya yang bergetar membuat gerakannya sangat lambat.

“Tunggu. Makanlah dahulu.” Tergesa Rio meraih bungkusan plastik berisi nasi dan hendak dituangkannya kembali ke piring.

“Terima kasih. Saya harus mengejar istri dan anak-anak saya.” Bagyo tersenyum dan terus melangkah.

“Tunggu, Pak!” Rio maklum terhadap kondisi kejiwaan Bagyo. Dia tidak lagi berusaha menahan dan meminta Bagyo memakan nasinya. Sebaliknya, pria ganteng tersebut merogoh saku celana pendek yang dikenakannya. Dia mengeluarkan sejumlah uang dan menjejalkan uang dan bungkusan nasi ke tangan Bagyo.

Tak terduga, Bagyo menarik tangan Rio yang terulur. Tubuh renta itu kembali berlutut sembari memeluk erat tangan Rio. Air matanya berhamburan deras.

“Pukul Bapak, Nak! Pukul seperti Bapak dahulu sering memukulimu ….”

***

“Lelaki yang tega mencuri cincin kawin dari istrinya, tentulah dia lelaki paling jahat di dunia. Dan lelaki tersebut adalah saya.” Bagyo mengisak.

Selanjutnya, mengalirlah cerita demi cerita kejahatan Bagyo. Rentetan kejahatan Bagyo yang dilakukannya beruntun bagai rangkaian rel kereta api dimulai semenjak awal pernikahannya dengan Harti hingga Harti terpaksa meninggalkannya, setelah pertengkaran serius hingga menyebabkan kandungan Harti perdarahan.

Di hadapannya Rio dan Ratih menyimak dengan seksama. Mereka mendengar setiap patah kata yang keluar dari lisan Bagyo dengan prihatin. Lelaki dengan penyakit kleptomania yang juga temperamental parah. Setiap istrinya berusaha mengingatkannya dan berusaha mengobatinya maka hanya pertengkaran parah dan pemukulan-pemukulan yang diterimanya. Barulah setelah istrinya meninggalkannya dengan membawa Rio dan kandungannya dia merenung dan tersadarkan.

Sayang, penyesalan tinggalah penyesalan. Hingga menjelang ujung usianya lelaki tersebut kesepian dan terus menerus mencari keberadaan istri dan anaknya. Dia sadar bahwa Harti adalah cinta sejatinya.

Baca juga: Kehidupan Kedua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *