Sastra  

Ujian

Listian Nova
Sumber: koleksi pribadi
Harap Tenang, Anda sedang Diuji

UJIAN– Jam beker menjerit, menarikku keluar dengan paksa dari alam mimpi. Mataku belalakan, rasanya seperti hendak copot saja.

Aku terjaga di atas meja belajar dengan punggung linu karena semalaman tidur dengan posisi bertumpu pada meja. Pantatku sakit karena terus beradu dengan kerasnya alas duduk.

Aku meraih jam beker di sudut meja, membekuknya agar berhenti menjerit. Soalnya aku masih tergagap, di mana, sih, tombol untuk mematikan dering menyebalkan ini?

Setelah membanting jam ke lantai, akhirnya berhenti juga suara ribut itu. Jarum detiknya masih berdetak. Aman, artinya belum rusak. Sementara jarum jam menunjuk pukul 5. Masih terlalu pagi.

***

Kuambar ranjang tidur dan kurebahkan diri di atas busa empuk. Rasanya terlalu dini untuk bersiap-siap ke sekolah sekarang. Belajar seharian kemarin membuat kepalaku pening dan tubuhku kaku. Semalam aku juga bergadang sampai lewat tengah malam. Aku butuh istirahat. Setengah jam cukuplah.

Kuraih ponsel di dekat bantal, menyetel alarm pukul 05.30 dan empat alarm tambahan dengan jeda 15 menit. Tanganku kemudian melorot. Kelopak mataku terkatup perlahan seperti daun putri malu menanggapi rangsang sentuhan.

Putri malu. Mimosa pudica. Gerakan menutup daun karena sentuhan adalah salah satu contoh seismonasti … bahkan dalam mimpi, aku masih mempelajari materi ujian.

***

Wajahku terasa hangat. Pandanganku menangkap semburat yang jatuh ke kelopak mata.

Kubuka mata. Silau.

Silau. Sial. Matahari sudah tinggi.

Kuremas ponsel dalam genggamanku, kuketuk-ketuk layarnya. Gawai itu rupanya mati. Dayanya sudah habis. Pantas saja tidak ada bunyi.

Aku melompat dari kasur, memelototi jam beker yang terlentang di lantai. Pukul 07.50.

Astaga! Aku terlambat!

***

Aku bergegas membongkar lemari baju sembari melucuti semua pakaian kecuali celana dalam. Masa bodoh dengan bau pesing dan apak, aku harus cepat-cepat.

Hari ini ujian hari pertama. Aku tidak ingin ikut remedial, apalagi nilai merah hanya karena bangun kesiangan.

Kuambil satu stel kemeja putih dan celana kelabu dari gantungan, beserta dasi dan sabuk yang berserakan di laci. Seragam ini rupanya masih lusuh, belum disetrika. Masa bodohlah. Kukenakan saja langsung semuanya.

Aku bergegas keluar kamar, namun untaian tali skipping menjegal kakiku. Aku tersandung, tersungkur ke depan.

***

Duk! Dahiku mencium tembok. Pandanganku gelap sedetik, dan kulihat kemerlap bintang-bintang. Kepalaku berdenyut.

Sakit sekali rasanya sampai-sampai aku ingin menangis. Sayangnya, aku tidak punya waktu. Ujian Akhir Semester dimulai pukul 08.00. Aku hanya punya waktu kurang dari 10 menit.

Dengan air mata mengalir enggan dari sudut mata, aku berlari keluar kamar. Kutapaki anak-anak tangga ke lantai dasar, dua sampai tiga anak tangga sekaligus. Begitu sampai di lantai dasar, aku baru ingat kalau tasku tertinggal di kamar.

Tidak hanya tas, tetapi juga alat tulis dan kartu ujian. Asem!

***

Kunaiki lagi anak-anak tangga itu dengan tergopoh. Napasku nyaris habis karenanya.

Begitu kembali ke kamar, aku meraih tasku dan menyerok semua alat tulis yang bertebaran di meja belajar ke dalam tas itu. Jangan sampai lupa, kartu ujian juga kuselipkan dalam saku kemejaku.

Aku melompati kembali anak-anak tangga menuju lantai dasar. Tujuh anak tangga terakhir aku lewati dengan lompatan jauh. Aku tidak takut cedera. Aku sangat terlatih. Aku atlet gimnastik andalan sekolah.

Krek!

Suara sobekan berbisik nakal dari belakang. Rupanya kemejaku tersangkut di tiang pegangan tangga. Jahitan samping seragam putih itu sobek dari pinggang sampai ke perut.

Apes! Apes! Sial sekali nasibku pagi ini!

***

Biarlah sudah. Toh hanya sobekan pendek. Kumasukkan saja kemeja itu ke dalam celana. Lalu kunaikkan celana sampai ke atas pusar dan kueratkan sabuk agar celana itu tidak melorot.

Biar saja terlihat culun. Aku ganteng, kok. Orang ganteng tetap terlihat bagus dengan gaya apapun. Bukan bermaksud sombong, tetapi memang begitu kenyataannya: dua cewekku bilang aku seganteng Taehyung.

Aku melewati ruang tengah dan menuju parkiran sepeda. “Pandu berangkat, Bu!” pamitku pada Ibu yang sedang sibuk berkebun di halaman.

Ibu melirik dengan tatapan melotot. Pasti beliau kesal karena aku terlambat. Aku pasti tidak dibangunkan karena sudah dianggap dewasa dan bertanggungjawab. Ya, memang begitulah seharusnya. Kadang-kadang Ibu agak kejam, tetapi aku tahu itu semua demi kebaikanku.

“Du, Pandu!” pekik Ibu dari balik pagar. Pasti mau ceramah.

Namun aku sudah mengayuh sepedaku ke jalanan. “Pandu ada ujian, Bu!”

Maafkan anakmu ini, Bu.

***

Aku meninggalkan Ibu yang melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak entah apa. Aku pikir, kadang Ibu berlebihan menasihatiku. Bukannya Ibu nanti jadi malu sendiri pada tetangga?

Kukayuh sepeda sekencang mungkin, menyelip kendaraan-kendaraan yang setengah berhenti karena terjebak dalam kemacetan. Sesekali, kuserobot jalur pejalan kaki untuk mengakali kemandekan di jalanan.

Orang-orang yang kulewati mendengus kesal. Beberapa menatapku dengan tatapan menyelidik dan dahi berkerut. Aku maklum. Memang aku yang salah.

Lampu merah, tinggal 1 menit lagi. Aku berhenti. Di penyebrangan, seorang ibu dan dua anaknya melewati zebra cross sambil melirikku. Anak-anak itu tertawa dengan telunjuk mengarah ke wajahku. Si ibu merengut, menasihati anak-anaknya, tetapi jelas sekali sedang berusaha menahan tawa.

Apa yang salah dariku?

Aku mematut bayanganku pada kaca hitam mobil di sebelahku … astaga, penampilanku seperti badut!

Rambutku masih terkuncir ke atas. Pucuknya berdiri seperti antena. Rambutku memang sedikit gondrong dan biasnya kuikat agar tidak mengganggu saat belajar.

Selain rambut, dasiku ternyata juga salah. Bukan dasi kelabu yang menggantung di kerahku, tetapi dasi bermotif hati warna jingga yang mencolok.

Alamak! Kenapa dasi adikku ada di laciku?

***

Klaskson kendaraan saling berbunyi tak sabaran. Rupanya, lampu sudah berganti hijau sejak aku sibuk mencopot dasi norak itu. Aku mengayuh sepedaku kembali, kali ini lebih bertenaga dan laju dari sebelumnya.

Menit-menit berlalu. Peluhku menetes deras. Aroma tubuhku yang sedikit masam karena belum mandi bertambah-tambah. Ketiakku tetutama, amat tak sedap baunya.

Gerbang sekolah sudah tampak, tetapi sudah tertutup rapat. Pasti karena jam masuk sekolah sudah lama lewat. Aku memutar setang. Sepedaku berbelok tajam menuju sisi sekolah.

Gerbang samping harusnya masih dibuka. Kalaupun juga ditutup, aku bisa memanjat pagar pendek itu dengan mudah.

***

Beruntung, gerbang geser itu setengah terbuka. Aku menerabas masuk tanpa menekan tuas rem. Setelah mengepot, aku tinggalkan sepeda sayangku di halaman samping begitu saja. Aku langsung melompat masuk ke koridor sekolah.

Kelasku tepat di sebelah pintu keluar koridor itu. Aku berlari, belok kiri, berhenti.

Ruang kelasku sudah tertutup rapat. Tulisan besar di pintunya berbunyi, “HARAP TENANG, SEDANG UJIAN”.

Aku mendorong pintu kelas perlahan. Was was. Siapa pengawas ujian pertama hari ini, ya? Semoga bukan guru killer.

Pintu terbuka … tetapi tidak ada siapa-siapa di dalam kelas. Aku melongok keluar. Juga sepi.

Aku memeriksa jam digital di meja guru. Keterangan tanggal dan hari di layar menunjukkan bahwa sekarang adalah hari Minggu.

 

Baca juga:

Mayat Hidup

Antara Aku, Abang Ojek dan Papan Iklan

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *