Sastra  

Temaram Kota Menyelimuti Hati

Ketika semua berjalan tak sesuai keinginan. Temaram kota yang menyelimuti hati sirna karena sebuah kehangatan.

Dwi Yulianti

Tak ada yang pernah mengira, Rania akan memasuki ibukota. Lamarannya pada sebuah perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan Internasional membuatnya meninggalkan desa kelahirannya. Rania tersenyum melihat lampu-lampu yang mulai menyala di antara temaram kota. Walaupun sangat menyilaukan matanya tapi senyum kebahagiaan mengembang dari sudut bibirnya

“Rania, bagaimana menurutmu? Kita bisa berhemat jika tinggal bersama,” tawar Beni ketika menjemput Rania di terminal antar kota. Beni adalah tetatangga di desanya yang lebih dahulu berjuang di ibukota.

“Apakah nanti tidak ada yang berpikiran buruk mengenai hal ini?” tanya Rania pelan sambil menatap mata Beni untuk menemukan kejujurannya.

“Aman Rania, aku bukan lelaki yang mudah terbawa arus pergaulan bebas. Aku masih menghargai ayahku yang seorang guru di desa,” jawab Beni memberikan alasan yang kuat.

Rania akhirnya mengangguk. Apa yang dikatakan Beni memang benar. Rania yakin Beni tak akan mencoreng wajah ayah dan ibunya yang sangat dikagumi masyarakat di desanya. Mereka menjadi penggerak pemuda pemudi untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dengan terus menuntut ilmu.

“Baiklah. Aku akan tinggal bersamamu, tapi aku akan tetap membayar uang sewa,” ucap Rania memutuskan apa yang menurutnya terbaik.

Beni pasti bisa memberikan arahan padanya saat menemui kesulitan di sini. Lagi pula dia belum memahami jalan-jalan menuju kantor barunya. Besok untuk ke kantor pertama kalinya, Rania akan meminta Beni mengantar.

Walaupun hanya sampai depan gedung saja, namun Rania yakin tidak akan kesasar dibandingkan berangkat sendiri. Rania tersenyum di belakang punggung Beni yang kini mendorong kopernya.

***

“Ben, ini uang sewa sebulan. Terima kasih sudah mempermudahku selama ini,” ucap Rania sambil menyodorkan uang yang didapat dari gaji bulanannya.

Uang yang diterimanya memang cukup banyak dibandingkan saat dia bekerja di desanya, namum pengeluarannya sebulan juga tak sedikit. Rania juga sudah mengirimkan uang untuk ibunya di desa. Adik perempuan satu-satunya kini masih duduk di kelas 3 sekolah lanjutan atas masih memerlukan banyak biaya.

“Wah Rania. Selamat ya sudah gajian. Bagaimana di kantor sudah nyaman bekerja di sana?” tanya Beni memancing pendapat Rania mengenai pekerjaannya.

“Aku senang bisa bekerja kantoran, walaupun lelah namun aku punya penghasilan bulanan. Apalagi ini untuk membayar sekolah adikku di desa,” jawab Rania memberikan alasan.

Beni tersenyum senang. Adanya Rania di rumahnya membuat Beni terbantu dalam enjaga kebersihan rumahnya. Jika sebelumnya dia memanggil orang untuk membersihkan apartemen yang disewanya, kini Rania dengan senang hati mengerjakannya.

Adik Rania sebentar lagi lulus, ini kesempatannya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Ditahannya keinginan yang sudah lama dipendam pada Rania. Beni berencana mengajak adik Rania juga tinggal di sini bersama mereka.

***

“Kak Beni, aku sudah tidak kuat lagi. Apakah aku bisa pulang ke desa?” tanya Riri pelan.

“Malam ini kamu harus bekerja. aku sudah mentrasfer pembayaran ke rekeningmu. Jika kamu tidak pergi jangan salahkan aku jika nanti kakakmu, Rania yang akan menggantikanmu,” ancam Beni pada Riri.

Riri menggelengkan kepalanya cepat. Tak mungkin dia merepotkan kakaknya lagi dengan masalahnya kini. Semua memang salahnya. Jika saja Riri menuruti ucapan ibunya, dia tak akan terjerumus sedalam ini.

Sudah hampir sebulan Riri tinggal di apartemen Beni. Rania sendiri sedang keluar kota bersama pimpinan kantornya. Saat pamit pada Beni, Rania hanya mengatakan jika ada proyek di daerah hingga dia harus mendampingi bosnya.

Beni hanya sesekali menghubungi Rania, itupun jika Riri menanyakan kabar kakaknya. Jika tidak menghubungi kakaknya Riri mogok tak mau mengikuti perintahnya.

“Jangan lupa meminum obat yang kusiapkan di dalam tas. Jika lalai maka resikonya tanggung sendiri,” pesan Beni sebelum Riri turun dari mobilnya dan menghilang ke dalam sebuah hotel.

***

“Riri, kamu sakit apa?” tanya Rania saat tiba di bangsal rumah sakit.

Dilihatnya adiknya yang terbaring lemah dengan mata terpejam. Beni memberi kabar padanya jika Riri sakit, tanpa berpikir panjang Rania langsung kembali pada temaram kota yang kini disesalinya.

Kehamilannya kini tak bisa ditutupi. Perut buncitnya pasti akan terlihat jelas. Beni yang melihat kondisi Rania terkejut. Sejak kapan Rania hamil? tanya Beni membatin.

Rania tak ingin orangtuanya tahu kondisi mereka di ibukota. Dimintanya Beni untuk tak memberi kabar ke desanya. Beni menyetujuinya, namun dia ingin mengetahui siapa yang menghamili Rania?

Rania berjanji akan menceritakan semuanya saat adiknya sembuh. Saat ini dia hanya ingin fokus pada kesehatan Riri juga kandungannya yang mulai memasuki masa persalinan.

Beni menyetujui dan berjanji akan menunggu Rania siap bercerita. Apalagi rasa bersalah menyergap melihat ketulusan Rania menjaga Riri. Bagaimana nanti jika Rania tahu jika Riri sakit karena kesalahannya. Dia terlalu menginginkan keuntungan tanpa mempertimbangkan kesehatan Riri yang kelelahan bernyanyi setiap malam di hotel.

Suara indah Riri membuat Beni mengenalkannya pada EO di hotel tempatnya bekerja. Uang yang didapatkannya sebagai manajer Riri digunakan untuk mengobati penyakit orangtua Rania di desa. Saat mengirimkan dikatakannya jika uang itu adalah uang Rania, dia hanya membantu mengirimkannya.

***

Kondisi Riri kini semakin membaik, Rania tersenyum sesaat dilihat adiknya sedang makan disuapi Beni. Namun rasa hatinya tak dapat dibohongi, Rania kini tertegun di pintu masuk ruang rawat Riri. Hingga Riri memberi tanda pada Beni akan kehadiran Rania.

“Kak Rania, masuk. Riri kangen dengan kakak,” ucap Riri sambil merentangkan tangannya. Beni yang ikut melihat ke arah pintu segera beranjak bangun dari duduknya. Dia takut Rania semakin berpikiran buruk padanya.

Rania tak bergeming, rasa sakit  dalam hati membuatnya tak bisa melanjutkan langkah untuk masuk. Beni yang melihat wajah kesakitan Rania langsung bangun dan menghampirinya. “Rania…! Apakah sudah waktunya?” tanya Beni sambil memegang lengan Rania.

“Suster! Istri saya mau melahirkan, tolong!” seru Beni saat dilihatnya seorang perawat tak jauh darinya. Beni pernah menawarkan diri menjadi ayah dari anak yang dikandung Rania, namun Rania dengan tegas menolaknya.

Baca juga: Kembang Api

***

“Pak Beni, terima kasih sudah membantu kami. Bu Rania tak pernah bercerita jika dia memiliki suami,” ucap Pak Lukman sambil menepuk bahu Beni pelan.

“Bu Rania sangat baik. Kami juga yakin itu semua karena kebaikan Pak Beni. Hingga akhirnya Bu Rania bersedia meminjamkan rahim Bu Rania untuk putra kami,” lanjut Pak Lukman menjelaskan.

Beni terdiam sesaat. Rania tak pernah menceritakan anak siapa yang dikandungnya, namun kini semua seakan tercerahkan dengan kehadiran Bapak dan Ibu Lukman.

Temaran kota yang menyelimuti hati Rania dan Beni seakan sirna dengan pancaran cahaya matahari yang semakin hangat. Beni tersenyum saat Pak Lukman memberikan cek yang sudah disepakatinya bersama Rania.

Bapak dan Ibu Lukma membawa putra mereka meninggalkan rumah sakit. Kebahagiaan yang diberikan melalui rahim Rania tak menghentikan senyum mereka berdua. Setelah lima belas tahun menikah akhirnya mereka berhasil mendapatkan keturunan melalui Rania.

***

“Rania, mengapa kamu tak mau menunggu aku. Kini aku mendapatkan keuntungan yang sama dengan jumlah uang yang tertulis di atas cek ini,” ucap Beni dalam hati. Saham yang dibelinya mengalami meningkat pesat.

Beni bersama sahabatnya kini mendapatkan keuntungan besar, dan ini sudah direncanakan Beni untuk melamar Rania. Orang tua Rania yang datang saat dikabari mengenai sakitnya Riri, kini sudah berada di dalam kamar rawat Rania.

“Beni, bagaimaa kabar Rania?” tanya ibunya melihat Rania yang masih terpejam di bangsalnya.

“Rania tinggal beristirahat saja ibu. Jika sudah membaik dokter pasti akan mengizinkan pulang,” jawab Beni berusaha tersenyum agar mereka tak khawatir dengan kondisi putrinya.

“Syukurlah, Riri juga besok sudah boleh pulang dari rumah sakit,” ucapnya senang.

Beni tersenyum saat mendengarnya. Syukurlah semua masalah yang dihadapinya satu persatu terselesaikan. Kini dia tak perlu khawatir lagi akan kekurangan  jika nanti memutuskan menikahi Rania.

“Ayah, ibu. Aku ingin menyampaikan hal yang penting,” ucap Beni perlahan takut membangunkan Rania.

Ayah dan ibu Rania saling pandang sejenak sebelum akhirnya mengangguk menyetujuinya.

“Ayah… Ibu. Kini aku siap melamar Rania dan menjadikannya istriku selamanya,” ucap Beni penuh keyakinan.

Suara Beni didengar Rania, perlahan dilihatnya suasana temaram kota pada jendela di samping tempatnya tidur. Suasana yang ditemuinya pertama kali saat bertemu Beni. TAMAT

 

12 Januari 2025 / Penulis: Oase_biru

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *