Kembang Api – Bau arang yang terbakar dan suara tawa samar dari tetangga menjadi latar malam tahun baru kami. Di balkon rumah Keira, semuanya sudah disiapkan: ayam yang sudah siap dipanggang, beberapa jagung yang sudah diolesi mentega, dan selimut tebal untuk melawan udara dingin yang menusuk kulit, karena baru saja turun hujan malam itu. Aku dan Nadia baru saja tiba dari minimarket, membawa sekantong marshmallow dan berbagai macam keripik, yang menurut kami akan menjadi teman sempurna untuk malam itu.
Keira tampak sibuk dengan panggangan kecil yang ada di depannya, dengan tangan yang sudah hitam karena abu. “Cepet bantu aku nyalain arang, nih!” serunya, terlihat tidak sabar.
Nadia, yang baru saja melepas jaketnya, tertawa kecil. “Niat banget, Kei. Ini beneran tahun baru atau pesta perpisahan sama ayam peliharaan kamu?”
Aku ikut tertawa, tapi tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di dada. Aku mencoba mengusir perasaan itu, berpura-pura tidak ada yang aneh. Sambil meletakkan keripik di meja kecil yang penuh dengan peralatan makan plastik, aku mencoba mencari topik lain. “Tapi ya, ini lumayan rapi, loh. Biasanya kan kamu berantakan banget, Kei.”
Keira memutar matanya. “Iya.. iya, ketawa aja terus. Aku bikin ini biar kalian nyaman. Malam ini kan… spesial.”
Kata “spesial” itu terasa menggantung di udara. Aku melirik Keira, mencoba menebak maksud di balik kata-katanya, tapi tak ada yang bisa kutangkap. Malam ini seharusnya menjadi malam yang penuh kebahagiaan, tapi entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang berbeda.
***
Kami sibuk membolak-balik ayam, mengipas arang, dan menghangatkan tubuh di bawah selimut. Suara kembang api kecil yang terdengar dari kejauhan semakin jelas, menandakan bahwa malam semakin larut. Setelah setengah jam bekerja, kami akhirnya duduk mengelilingi panggangan kecil. Jagung bakar sudah matang, marshmallow mulai meleleh di ujung tusuk sate, ayam panggang yang tinggal tersisa setengahnya dan udara malam yang semakin dingin sedikit terobati dengan kehangatan api.
Nadia tiba-tiba memeriksa ponselnya. “Eh, jam berapa sekarang?” tanyanya.
“Masih jam sebelas.” jawab Keira dengan nada datar, tanpa menoleh.
Nadia menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara yang agak berat, “Nggak tahu kenapa, tapi tahun baru kali ini rasanya beda.”
Aku menatapnya, mencoba menangkap maksud perkataannya. “Beda gimana?”
Nadia diam sejenak. Matanya menatap kosong, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Alby pindah minggu lalu,” katanya pelan, seperti memutar kembali kenangan yang terlalu sulit untuk dilupakan.
Keira, yang sedang menyiapkan marshmallow, berhenti sejenak. Aku ikut terdiam, menunggu Nadia melanjutkan. Suasana tiba-tiba menjadi sunyi, hanya suara angin malam dan gemericik arang yang terdengar.
“Alby dapat beasiswa kuliah di Bandung. Keluarganya juga pindah ke Kalimantan karena kerjaan ayahnya di sana. Aku pikir, walaupun jauh, dia bakal masih ngabarin aku. Tapi sejak dia pergi, dia nggak pernah ngehubungin lagi.” Nadia melanjutkan, suaranya mulai bergetar.
“Dia sahabatku dari kecil, sekolah juga bareng terus sampai SMA. Bahkan, aku selalu rayain tahun baru sama keluarganya dia. Aku pikir, kita bakal bareng selamanya. Tapi sekarang… kayaknya dia udah lupa sama aku.”
Aku meraih tangannya, mencoba memberikan sedikit kenyamanan. “Nad, kamu nggak tahu pasti. Mungkin dia lagi sibuk adaptasi di tempat baru. Kamu tetap berarti kok buat dia. Percaya deh.”
Nadia tersenyum kecil, tapi sorot matanya masih menunjukkan betapa berat hatinya. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya malam ini, dan aku bisa merasakannya.
***
Hening sejenak. Kami bertiga terdiam, hanya ditemani oleh suara angin malam dan percikan kecil dari api yang mulai mereda. Aku merasa saat ini adalah waktu yang tepat untuk bicara tentang apa yang juga membuatku merasa kecewa.
“Aku juga ngerasa kehilangan dan… hmm, kecewa sih lebih tepatnya,” kataku pelan. Kata-kata itu keluar dengan berat, seperti sebuah rahasia yang sudah lama ingin aku ungkapkan.
Nadia dan Keira menoleh ke arahku, mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Randy,” ucapku, mencoba menahan perih yang muncul begitu saja hanya dengan menyebut namanya. “Aku pikir dia suka sama aku. Selama ini dia sering bantuin aku ngerjain tugas, sering anterin aku pulang. Ternyata ya, itu cuma karena rumah kita deketan. Kirain itu tanda kalau dia punya rasa juga.” Aku menghela napas panjang, merasa segala sesuatunya menjadi begitu berat. “Yang paling bikin kecewa. Beberapa hari lalu, aku lihat dia nembak Dita di taman. Dita bilang dia nggak bisa nolak, dan akhirnya mereka jadian.”
Nadia menatapku dengan pandangan yang penuh empati. Lalu, dengan suara pelan, dia bertanya, “Dita tahu kamu suka sama Randy kan?”
Aku mengangguk pelan. “Tahu. Aku sering cerita ke dia. Ya, karena kita temen sebangku aku pikir dia bakal ngerti perasaanku. Eh ternyata aku baru tahu kalau Randy itu ramah sama aku karena dia pengen deket sama Dita.”
Tapi ya… dia nggak salah. Aku yang cuma… ngerasa bodoh aja. Aku yang terlalu berharap lebih.”
“Kamu nggak bodoh kok,” Keira akhirnya angkat bicara, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Kamu cuma suka dan percaya sama orang yang salah.” Ujarnya sambil mengusap bahuku.
Aku tersenyum kecil, meski rasanya perasaan sakit itu tetap ada. “Tapi tetep aja sakit, Kei. Aku pikir, aku berarti buat dia. Ternyata aku cuma jembatan buat dia bisa deket sama Dita.”
***
Hening lagi. Suara kembang api semakin keras, tanda waktu hampir menunjukkan tengah malam. Keira, yang sejak tadi lebih banyak diam, akhirnya memecah keheningan dengan suara yang pelan, hampir tersembunyi di balik suara letusan kembang api yang semakin sering terdengar.
“Kalian tahu nggak,” katanya dengan suara bergetar, “kenapa aku ngajak kalian ke sini?”
Kami menggeleng, tertarik dengan perubahan nada suara Keira yang tiba-tiba begitu serius.
“Karena aku nggak mau rayain tahun baru sendirian,” jawabnya pelan, tatapannya jauh, seperti menembus ruang kosong yang hanya ada di pikirannya.
“Mama sama Papa kan udah nggak ada. Sekarang aku tinggal sama kakak. Tapi dia sibuk banget. Aku tahu dia punya kehidupan sendiri, pagi sampai sore sibuk kerja, malamnya jalan sama pacar, sekarang aja sibuk malam tahun baruan sama pacarnya. Hmm. Aku… sering ngerasa kesepian di rumah sebesar ini.”
Kami berdua langsung meraih tangan Keira, merasakan beban yang ada di sana. Tanpa berkata apa-apa lagi, kami memeluknya erat. Keira yang biasanya tegar, akhirnya menangis. Itu adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi.
“Kamu nggak sendiri, Kei.” bisik Nadia, suaranya penuh kehangatan. “Kan masih ada kita.”
Keira tersenyum kecil di tengah air matanya, meski tak ada yang bisa menutupi rasa sakit yang masih ada di matanya. “Mungkin… kita semua kayak kembang api. Nyala sebentar, bikin hidup orang sekitar kita lebih cerah dan berwarna, terus tiba-tiba padam, dan selesai gitu aja.”
“Tapi menurut aku, itu nggak sia-sia.” Ucapku.
***
Aku menatap langit, di mana kembang api terakhir mulai meledak dengan warna-warni yang menari. “Kembang api itu indah justru karena dia cuma sebentar. Sama kayak yang kita alami. Walaupun kehilangan, aku rasa kita masih bisa menyala buat satu sama lain, di sini.” kataku dengan bijak sambil merangkul Keira dan Nadia.
Malam itu, dengan segala luka yang kami bawa, kami tahu bahwa kami tidak pernah benar-benar sendiri dan kesepian. Tahun baru ini bukan hanya tentang kepergian dan pergantian, tapi tentang harapan.
Di bawah langit yang diterangi kembang api terakhir, kami tersenyum kecil, tahu bahwa meskipun perjalanan hidup penuh dengan perpisahan dan perubahan, kami masih punya satu sama lain. Dan itu sudah lebih dari cukup ~Selesai~
Baca juga: Squid Game Season 2: Permainan yang Menegangkan