Sudah bukan rahasia lagi kalau Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat literasi terendah di dunia. Kita tidak bisa begitu saja menuding media sosial atau perkembangan teknologi sebagai biang kerok kemalasan membaca masyarakat Indonesia.
Di negara-negara dengan tingkat literasi tinggi, membaca sudah menjadi kebiasaan dan budaya. Kebiasaan membaca bahkan telah ditanamkan sejak dini pada anak-anak.
Menanamkan kebiasaan membaca sejak dini pun tidak mudah. Butuh lingkungan dan sistem yang mendukung tumbuhnya minat baca mereka. Salah satunya adalah contoh dari orang tua di rumah. Sayangnya, sistem dukungan yang solid seperti itu belum memadai di negara + 62. Oleh karena itu, problem literasi di Indonesia terbilang kompleks dan banyak faktor penyebabnya.
Kemiskinan yang Belum Teratasi
Masyarakat pra-sejahtera dengan penghasilan dibawah UMR mana kepikiran untuk beli buku? Untuk bertahan hidup memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah susah. Belum lagi harga buku di indonesia yang cenderung mahal membuat mereka berpikir kalau buku bukanlah barang yang penting untuk dibeli.
Fasilitas Perpustakaan Umum yang Bisa Diakses Semua Kalangan
Ketidakmampuan membeli buku sebenarnya bisa diatasi dengan memanfaatkan fasilitas perpustakaan yang tersedia, baik di sekolah atau kampus, perpustakaan umum, perpustakaan keliling maupun taman baca masyarakat yang dikelola oleh komunitas. Namun, terkadang akses yang jauh ke perpustakaan umum atau kurang variatifnya bahan bacaan di perpustakaan membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan untuk membaca buku.
Menurut data Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI yang dikutip oleh Media Indonesia, hingga Februari 2023 baru 5,6% dari 164.610 perpustakaan di Indonesia yang mengantongi akreditasi dari Perpusnas.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip oleh Katadata menunjukkan bahwa pada tahun 2021 terdapat 10.794 perpustakaan yang terakreditasi di Indonesia. Jumlah tersebut didominasi oleh perpustakaan sekolah sebanyak 8.662 unit (80,24%). Sisanya adalah 1150 unit (10,65%) perpustakaan umum, 700 unit (,48%) perpustakaan perguruan tinggi dan 282 unit (2,61%) perpustakaan khusus. BPS mendefinisikan perpustakaan terakreditasi sebagai perpustakaan yang telah mendapatkan pengakuan secara formal oleh lembaga akreditasi dan memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan pengelolaan perpustakaan.
Kesenjangan yang Lebar Antara Ketersediaan Buku dengan Jumlah Penduduk
Dalam kegiatan webinar Duta Baca Indonesia bertema Darurat Buku di Indonesia pada 25 Mei 2022, Deputi bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas RI, Deni Kurniadi mengatakan rasio antara jumlah koleksi di perpustakaan daerah dengan jumlah penduduk Indonesia adalah 1: 90. Artinya, 1 buku ditunggu oleh 90 orang. Jumlah koleksi ini masih sangat kurang jika dibandingkan dengan rasio kebutuhan buku dengan penduduk di Indonesia. Sebab, rasio standar menurut UNESCO adalah 1 orang minimal membaca 3 buku per tahun.
Deni juga menambahkan bahwa jumlah terbitan nasional dibandingkan jumlah penduduk Indonesia menghasilkan rasio 1: 514. Hal ini menandakan jumlah terbitan secara nasional tidak mencukupi untuk penduduk Indonesia.
Sistem Perbukuan di Indonesia yang Tidak Sehat
Penulis novel Cantik itu Luka, Eka Kurniawan pernah mengungkapkan opininya mengenai penyebab mahalnya harga buku di Indonesia. Menurutnya, yang menyebabkan harga buku mahal adalah banyaknya potongan seperti potongan toko buku (40%), PPN yang sudah termasuk dalam harga buku yang tertera (kecuali buku pelajaran umum dan kitab suci yang bebas PPN), potongan untuk penerbit (50%).
Komponen pajak atau PPN nya kompleks dan terdapat di semua rantai produksi, penerbitan sampai jual-beli. Ada PPN dari penerbit ke toko buku, PPN dari perusahaan kayu ke pabrik kertas, PPN dari pabrik kertas ke percetakan, PPN dari percetakan ke penerbit hingga PPN yang dibebankan pada konsumen sebagai pembeli buku.
Lalu bagaimana dengan royalti bagi penulis dan keuntungan penerbit? Royalti penulis itu hanya 10% dan keuntungan penerbit hanya sekitar 5%.
Jumlah yang memprihatinkan ini membuat pihak penerbit terpaksa mengakalinya dengan menekan biaya produksi atau menaikkan harga jual. Beberapa penerbit bahkan menekan royalti bagi penulis.
Sistem perbukuan seperti ini tentu tidak sehat. Pertama, penulis tidak dihargai dengan layak atas ide, kreativitas dan kemampuannya. Kedua, negara seolah tidak niat mencerdaskan kehidupan bangsa karena mahalnya pengetahuan yang harus dibeli oleh masyarakat.
Buku elektronik pun tidak sepenuhnya bisa dijadikan solusi. Untuk mengakses buku elektronik membutuhkan koneksi internet yang lancar dan stabil. Nah, masalahnya tidak semua daerah di Indonesia mudah dijangkau oleh sinyal internet.
Untuk mengaksesnya pun butuh gawai yang memadai. Bagi masyarakat kelas menengah ke atas kebutuhan ini mudah dipenuhi. Namun, tidak demikian halnya pada masyarakat menengah ke bawah.
Jangankan setiap anggota keluarga punya ponsel pintar. Kemarin waktu sekolah daring akibat Pandemi Covid-19 saja, banyak anak yang terkendala dalam mengikutinya karena ponsel pintar yang dimiliki oleh keluarga tersebut harus digunakan bergantian dengan orang tuanya.
Buku Cetak Tetap Penting di Tengah Gempuran Konten Digital
Bagi para pencinta buku, sensasi membaca buku cetak tidak bisa digantikan dengan buku elektronik. Bau buku–entah yang masih baru atau buku tua– tekstur sampul dan kertasnya sampai aktivitas menandai bagian-bagian penting dengan highlighter adalah keasyikan tersendiri yang hanya bisa didapat dari buku cetak.
Membaca buku cetak juga cenderung lebih nyaman ketimbang elektronik karena tidak membuat mata cepat lelah. Berbeda dengan membaca artikel daring atau menonton video, membaca buku cetak memberikan kesempatan pada kita untuk mengambil jeda. Kita bisa berhenti dulu barang sejenak di bagian-bagian tertentu, kemudian memahami atau merenungkannya lebih dalam. Dengan demikian, membaca buku cetak dapat melatih fokus dan kemampuan menganalisis bacaan.
Menumbuhkan Minat Baca untuk Mengembangkan Jenis Literasi Lainnya
Literasi memang memiliki cakupan yang luas. Tidak terbatas pada persoalan baca tulis belaka. Sekarang kita juga mengenal jenis literasi lainnya seperti literasi keuangan dan digital. Namun, untuk bisa mencapai kemajuan dalam jenis literasi tersebut, hal paling dasar, yaitu minat baca masyarakat harus ditingkatkan terlebih dulu.
Minat baca bisa tumbuh jadi kesadaran kolektif kalau dibiasakan sejak dini dari unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Pemerintah, otoritas keagamaan, tokoh masyarakat, pendidik, komunitas dan siapapun yang peduli pada literasi, seharusnya saling bekerja sama untuk memfasilitasi masyarakat dengan sarana dan prasarana yang memadai.
Referensi:
- https://m.mediaindonesia.com/humaniora/571647/baru-56-perpustakaan-di-indonesia-yang-kantongi-akreditasi
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/20/indonesia-miliki-10794-perpustakaan-terakreditasi-pada-2021
- https://www.perpusnas.go.id/en/berita/kondisi-darurat-buku-di-indonesia
- https://malangposcomedia.id/literasi-maha-mahal/