Artikel Kak Ayu yang berjudul: Meningkatkan Sustainability Pariwisata di Indonesia Melalui Kebijakan, merupakan gambaran dari kepariwisataan di Indonesia saat ini.
Pada tahun 2019, Indonesia didatangi oleh 16,11 juta wisatawan mancanegara atau setara dengan pertumbuhan 1.8% dari tahun sebelumnya [1]. Sektor Pariwisata berhasil menyumbang devisa sebesar 16.91 milyar USD (Rp280 T) [2], dan 1 dari 10 tenaga kerja di Indonesia berkecimpung dalam sektor ini (11.83% dari total Pekerja) [3]. Namun dibalik angka-angka yang terkesan fantastis, terdapat ancaman yang harus disadari dan diperhatikan dalam langkah pengembangan Pariwisata ke depan, salah satunya over-tourism.
Istilah over-tourism dikenalkan oleh Skift di tahun 2016 untuk merujuk pada keadaan dimana Pariwisata memberikan pengaruh negatif berlebihan pada kehidupan masyarakat lokal dan/atau kualitas pengalaman turis. Pada dasarnya, hal ini terjadi karena manajemen pengunjung yang kurang baik dan pengembangan yang kurang terkendali [4]. Fenomena over-tourism merupakan situasi yang dibilang cukup umum dihadapi oleh berbagai negara di dunia. Film dokumenter The Last Tourist berhasil merangkum sebagian dampak over-tourism pada 14 negara di dunia [5].
Kasus over-tourism di Indonesia sendiri paling jelas tergambar di Bali. Sejak border internasional dibuka untuk wisatawan mancanegara di awal tahun 2022, jumlah wisman yang tiba di Bali terus meningkat. Sayangnya, hal tersebut diiringi dengan beberapa insiden tidak menyenangkan yang dilakukan oleh wisman. Mulai dari mengemudi motor secara ugal-ugalan, membuat keributan, dan perbuatan lainnya yang tidak sesuai dengan norma/adat istiadat setempat sehingga menimbulkan keresahan masyarakat Bali [6].
Anti-thesis dari over-tourism adalah responsible tourism yang mengedepankan penggunaan Pariwisata untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan destinasi dalam rangka mendukung pembangunan Pariwisata berkelanjutan [7]. Baik alam, budaya maupun masyarakat tidak dipandang sebagai komoditas/produk wisata yang dijual untuk keuntungan ekonomi semata melainkan asset yang dilindungi dalam kegiatan Pariwisata.
Meningkatkan Sustainability Pariwisata di Indonesia Melalui Kebijakan
UNWTO mendefinisikan Pariwisata berkelanjutan sebagai Pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan di masa kini dan masa depan, menjawab kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan komunitas lokal [8]. Untuk mendukung implementasi Pariwisata berkelanjutan, partisipasi seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan. Tidak hanya dari sisi pemerintah, organisasi swasta (NGO), pengelola usaha Pariwisata maupun masyarakat lokal tapi juga turis yang berkunjung.
Pasca pandemi, World Economic Forum (WEF) menyampaikan 10 prinsip destinasi berkelanjutan yang memerlukan behavior change dari para pemangku kepentingan agar dapat mewujudkan Sustainable Development Goals [9], yakni:
Sertifikasi dan pengawasan secara ilmiah
Sertifikasi Pariwisata berkelanjutan yang berlaku secara internasional minimal merujuk pada kriteria yang ditetapkan oleh Global Sustainable Tourism Council meliputi GSTC Industry Criteria untuk Hotel dan Tour Operator serta GSTC Destination Criteria. Adapun pengawasan yang dilakukan tidak hanya pada aspek yang terkait dengan ekonomi seperti jumlah pengunjung, lama menginap dan total pengeluaran namun juga mencakup indikator sosial-budaya dan lingkungan terhadap masyarakat lokal.
Pengembangan tenaga kerja
Penciptaan lingkungan kerja yang baik, lebih fleksibel dan adaptif dilengkapi dengan remunerasi gaji yang sesuai. Pemerintah juga diharapkan dapat memfasilitasi re-skilling maupun up-skilling dari para pekerja di sektor ini untuk memenuhi demand industri saat ini.
Mengembangkan komunitas
Penyusunan kerangka perencanaan pengembangan destinasi secara inklusif, memperhatikan kesejahteraan komunitas/masyarakat lokal dan melindungi sumber daya alam dan budaya sebagai bagian dari asset.
Mengatur pengunjung
Manajemen carrying capacity agar pengunjung mendapatkan pengalaman berkualitas di destinasi. Memudahkan pengunjung untuk mendukung perilaku yang mendukung keberlanjutan melalui pemasaran, pembelajaran, manajemen and pengawasan.
Melindungi warisan budaya
Perlindungan budaya/warisan budaya yang melekat pada destinasi wisata yang menjamin kelestarian sejarah, budaya dan alam, salah satunya melalui dokumentasi. Poin ini muncul dikarenakan terjadinya komodifikasi budaya untuk menyesuaikan dengan Pariwisata massal selama ini telah menggeser/mengurangi nilai dari suatu produk kebudayaan.
Melindungi alam
Mendorong pemangku kepentingan untuk memprioritaskan konservasi, manajemen dan restorasi alam. Menyusun mekanisme agar pengunjung dapat berkontribusi pada perlindungan lingkungan, memberi pemahaman pengunjung atas mekanisme konservasi alam untuk menguatkan hubungan antara alam, wisata, konservasi dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Produksi dan konsumsi sumber daya secara bertanggungjawab
Menyusun dan mengimplementasikan strategi produksi dan konsumsi sumber daya secara bertanggungjawab serta mendorong pelaksanaan circular economy. Menciptakan mekanisme yang mampu meningkatkan kesadaran pengunjung atas pola konsumsi dan mengapa perlu memilih pilihan yang lebih sustainable.
Kalibrasi infrastruktur
Perencanaan strategis dan investasi pada infrastruktur berkelanjutan untuk mencapai keseimbangan dan perkembangan inklusif destinasi berkelanjutan. Dalam pengembangan infrastruktur, pertimbangan pertama kali dilakukan terhadap environmental impact assessment (EIA), social impact assessments (SIA) dan health impact assessments (HIA). Kemudian, baru menentukan carrying capacity atas infrastruktur tersebut.
Pengaturan efektif
Pengaturan secara inklusif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (hingga komunitas lokal) serta regulasi efektif penting untuk membimbing, mempermudah dan mendorong industri untuk mengimplementasikan praktek Pariwisata berkelanjutan.
Mengupayakan resiliensi
Destinasi resilien perlu membuat perencanaan sistematis lintas sektor mulai dari tingkat nasional hingga lokal agar dapat mempersiapkan, memitigasi dan mengatasi faktor disrupsi eksternal di bidang kesehatan, politik dan lingkungan seperti pandemi, konflik, cuaca ekstrim dan perubahan iklim.
Kebijakan dalam Meningkatkan Sustainability Pariwisata di Indonesia Melalui
UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Pada bagian menimbang huruf c, disebutkan bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional.
Berkelanjutan (sustainability) juga menjadi salah satu asas penyelenggaraan Pariwisata berdasarkan Pasal 2. Dalam Pasal 4, beberapa poin dalam tujuan Pariwisata searah dengan pengembangan berkelanjutan seperti meningkatkan kesejahteraan rakyat; menghapus kemiskinan; mengatasi pengangguran; melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya; dan memajukan keudayaan.
Lebih lanjut, prinsip penyelenggaran Pariwisata yang dimuat dalam Pasal 5 juga telah mencakup 8 (delapan) poin yang sejalan dengan prinsip sustainable tourism dari sisi ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan. Oleh karena itu dapaat disimpulkan bahwa UU Kepariwisataan telah memberikan kerangka umum yang dapat menjadi acuan untuk penyelenggaraan Pariwisata berkelanjutan.
PP Nomor 50 Tahun 2011 tentang RIPARNAS Tahun 2010 -2025
Berkelanjutan (sustainable) merupakan bagian dari visi pembangunan kepariwisataan dalam Pasal 2 ayat (4). Misi dalam tiap pilar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) telah memuat poin-poin yang searah dengan sustainable seperti destinasi berwawasan lingkungan, pemasaran bertanggungjawab, industri yang bertanggungjawab pada lingkungan alam dan sosial-budaya serta kelembagaan yang mendorong terwujudnya pembangunan kepariwisataan berkelanjutan.
Namun sayangnya, sasaran pembangunan kepariwisataan nasional dalam ayat (7) hanya memuat indikator yang lebih menggambarkan capaian ekonomi.
Sasaran pembangunan kepariwisataan nasional tersebut antara lain: Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara; jumlah pergerakan wisatawan nusantara; jumlah penerimaan devisa dari wisatawan mancanegara; jumlah pengeluaran wisatawan nusantara; dan produk domestik bruto di bidang Kepariwisataan.
Sementara dalam bagian keenam, Pasal 55 dan Pasal 56 pengembangan manajemen usaha mengacu pada prinsip-prinsip pembangunan Pariwisata berkelanjutan, kode etik Pariwisata dunia dan ekonomi hijau adalah mendorong tumbuhnya ekonomi hijau di sepanjang mata rantai usaha Pariwisata; dan mengembangkan manajemen usaha Pariwisata yang peduli terhadap pelestarian lingkungan dan budaya.
Sebenarnya strategi ini sudah cukup menggambarkan bahwa manajemen usaha Pariwisata diharapkan memperhatikan lingkungan dan budaya, namun ada baiknya jika strategi-strategi yang lebih konkret untuk mewujudkan sustainable tourism dimuat dalam beberapa babnya.
1.Daya Tarik Wisata
Pembangunan, pemantapan dan revitalisasi daya tarik wisata berorientasi untuk meningkatkan kualitas dan daya saing dengan orientasi pasar. Meskipun revitalisasi dilakukan untuk menjaga keberlanjutan, namun tampak bahwa pasar memiliki prioritas yang lebih. Selain itu, proses pembangunan, pemantapan dan revitalisasi seharusnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam menyusun strategi dan membuat keputusan, terutama komunitas lokal.
Masukan maupun consent dari masyarakat lokal penting karena mereka yang akan bersentuhan langsung dengan wisatawan dan mereka yang memahami batas-batas wilayah/budaya yang dapat dijadikan area wisata. Contoh kasus yang timbul akibat tidak memperhatikan suara masyarakat lokal seperti penolakan wisatawan di Baduy [10], penyalahgunaan gunung suci di Bali untuk wisata [11], dan lainnya.
2.Aksesibilitas Wisata
Penyediaan dan pengembangan sarana transportasi bertujuan untuk meningkatkan konektivitas menuju destinasi, bukan hanya itu di dalam destinasi perlu memperhatikan kapasitas, keamanan dan kenyamanan pengunjung.
Kondisi saat ini belum memberikan fondasi dasar yang mendorong pengunaan moda transportasi ramah lingkungan, atau upaya penyediaan informasi untuk moda/rute yang menghasilkan emisi paling kecil sebagai pilihan yang lebih sustainable dipilih oleh pengunjung.
3.Pembangunan Prasarana Umum, Fasilitas Umum dan Fasilitas Pariwisata
Strategi pengembangan, peningkatan kualitas dan pengendalian Prasarana Umum, Fasilitas Umum dan Fasilitas Pariwisata dilaksanakan dalam rangka meningkatkan daya saing dan memenuhi kebutuhan pengunjung dengan memperhatikan daya dukung lingkungan. Keseluruhannya perlu memperhatikan prinsip sustainable dan circular economy yang dapat meminimalisir dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat sekitar.
Misalnya mengatur mekanisme manajemen limbah padat (sisa makanan, plastik) seperti mengurangi jumlah sampah/penggunaan ulang atau daur ulang jika tidak memungkinkan [12], melakukan pengawasan terhadap emisi karbon yang dihasilkan oleh kegiatan pariwisata dalam rangka dekarbonisasi [13] dan seterusnya.
4.Pemberdayaan Masyarakat
Strategi terbilang cukup komprehensif karena memuat pengembangan potensi, peningkatan kapasitas, pengarusutamaan gender, pemberian insentif usaha bagi usaha skala mikro, kecil dan menengah yang dibuat oleh masyarakat lokal dan dukungan berupa penguatna kemitraan dan perluasan akses pasar dan permodalan. Masyarakat juga diajak untuk mendukung pengembangan Kepariwisataan di daerah. Namun demikian ada satu hal yang luput dari perhatian pemerintah, yakni upah yang layak.
Pada tahun 2021, rata-rata upah pekerja di sektor Pariwisata hanya 2,23 juta rupiah (lebih rendah Rp510.000 dibandingkan dengan upah minimum provinsi). Angka ini juga menurun jika dibandingkan dengan rata-rata upah tahun 2020 di angka 2,3 juta rupiah (turun 3.04%). Selain itu, rata-rata upah bagi buruh perempuan hanya 1,83 juta rupiah, jauh di bawah rata-rata laki-laki di 2,52 juta rupiah [14]. Oleh karena itu, semestinya tidak hanya berfokus pada cara mengeksploitasi sumber daya manusia namun juga bagaimana memperjuangkan kesejahteraan mereka.
5.Pengembangan Investasi
Mencakup pemberian insentif, kemudahan dan promosi investasi di bidang Pariwisata namun belum memprioritaskan investasi Pariwisata ke arah yang lebih menghijaukan sektor Pariwisata (green investment). Infrastruktur Pariwisata seperti hotel menyumbang 1% emisi global dan terus meningkat.
Dalam operasionalnya, mereka mengkonsumsi sumber daya energi dan air dalam jumlah tinggi. Investasi yang mengintegrasikan keberlanjutan dengan kegiatan Pariwisata sangat penting untuk mencapai efisiensi biaya, peningkatan citra, kepuasan pelanggan hingga sustainability goals. Investasi dalam inovasi dan digitalisasi dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja melalui peningkatan ketahanan usaha mikro, kecil, dan menengah [15].
6.Pemasaran Pariwisata
Kegiatan marketing tidak sebatas bertujuan untuk mempromosikan Pariwisata, namun juga perlu menjadi media edukasi calon wisatawan. Wisatawan (terutama mancanegara) perlu memahami hukum serta norma/adat istiadat yang berlaku di daerah yang akan mereka kunjungi agar tidak terjadi gesekan dengan penduduk lokal akibat perilaku yang tidak pantas. Langkah ini mendorong wisatawan agar memahami dan mendukung upaya pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh destinasi.
7.Resiliensi
Kebijakan belum memuat strategi untuk meningkatkan resiliensi sektor Pariwisata untuk menghadapi disrupsi di masa depan dari sektor kesehatan, politik dan lingkungan. Pacific Asia Travel Association (PATA) percaya bahwa resiliensi menjadi syarat utama yang harus dipenuhi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan [16]. OECD menyarankan beberapa langkah untuk membangun resiliensi ekosistem Pariwisata [17].
Langkah tersebut antara lain: Membuat kebijakan dalam rangka merespon krisis secara cepat berdasarkan data serta mengevaluasi dampak agar responsif; Mendukung destinasi yang kuat, stabil dan diverse agar tidak terjadi over-reliance pada sektor Pariwisata/satu market; Mendorong UMKM di sektor Pariwisata untuk membangun resiliensi dengan melakukan identifikasi resiko, menciptakan strategi resiliensi, dan mendapatkan dukungan finansial serta transformasi digital; Memperbaiki kondisi pekerjaan untuk mendorong tenaga kerja yang kompeten dan inklusif di sektor Pariwisata dan Memperkuat data.
Permenparekraf Nomor 9 Tahun 2021
Mengutip dari lampiran dalam Permenparekraf tersebut “Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan ini merupakan revisi dari Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan Tahun 2016 yang telah sesuai dengan standar Global Sustainable Tourism Council dan telah mendapat pengakuan dari UNWTO, dalam menjawab tantangan pengembangan di sektor Pariwisata saat ini, khususnya penekanan isu kearifan lokal di Indonesia serta isu CHSE yang menjadi tindakan antisipatif bagi penyebaran virus COVID-19. Pedoman ini diharapkan dapat memperkuat tradisi dan kearifan lokal masyarakat yang multikultur dalam mengelola daya tarik lingkungan alam dan budaya di destinasi Pariwisata secara terpadu dan berkelanjutan”
Menetapkan regulasi ini belum dapat menjadi solusi yang absolut. Hal ini karena Pariwisata merupakan urusan pemerintahan konkuren berdasarkan UU Pemerintahan Daerah. Mengimplementasikan ini menjadi suatu hal yang opsional dan tidak menjatuhkan sanksi saat tidak menjadikan aturan ini sebagai acuan.
Khusus untuk Pariwisata alam, Badan Standardisasi Nasional (BSN) mengeluarkan SNI 813:2014 untuk mendukung penerapan Pariwisata berkelanjutan di destinasi wisata alam [18].
Permenparekraf Nomor 13 Tahun 2020
Dalam membuat peraturan ini pemerintah bertujuan mengembalikan kepercayaan masyarakat domestik dan internasional untuk berwisata dengan aman, nyaman, dan sehat sebagai dampak dari pandemi Covid.
Memuat standar dan sertifikasi yang menjadi jaminan kepada wisatawan dan masyarakat bahwa produk dan pelayanan yang diberikan sudah memenuhi dimensi kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan. Pemenuhan standar oleh usaha Pariwisata, usaha/fasilitas lain terkait Pariwisata, serta destinasi Pariwisata dapat mengurus sertifikasi SNI 9042:2021. Sertifikasi bersifat sukarela [19].
Rekomendasi Meningkatkan Sustainability Pariwisata di Indonesia Melalui Kebijakan
Ripparnas Tahun 2010-2025 perlu perubahan fundamental dengan memasukkan sasaran pembangunan yang lebih fokus pada dampak lingkungan dan sosial-budaya, seperti target pengurangan emisi karbon, kualitas hidup masyarakat di area wisata, dst.
Pemerintah perlu melibatkan partisipasi masyarakat dalam membuat keputusan terkait daerahnya. Hal ini dapat mengubah paradigma top-down dalam perencanaan/pengembangan/revitalisasi daya tarik wisata.
Pada dasarnya, kebijakan perlu memberikan gambaran strategi yang lebih jelas untuk mempromosikan upaya menghijaukan sektor Pariwisata, menaruh perhatian pada SDM dan mekanisme yang dapat membangun resiliensi ekosistem Pariwisata.
Selanjutnya, sertifikasi SNI menjadi nilai tambah dari suatu usaha Pariwisata, namun kebijakan perlu juga mendorong para pelaku usaha Pariwisata ini untuk menerapkan sustainability tourism dan mensertifikasi usahanya misalnya dengan pemberian insentif bagi yang telah tersertifikasi.
Referensi Artikel Meningkatkan Sustainability Pariwisata di Indonesia Melalui Kebijakan:
[2] https://www.bps.go.id/indicator/16/1160/1/jumlah-devisa-sektor-pariwisata.html
[4] UNWTO, ‘Overtourism’? Understanding and Managing Urban Tourism Growth beyond Perceptions https://www.e-unwto.org/doi/pdf/10.18111/9789284420070
[5] https://thelasttouristfilm.com/about/
[6] Compton, Natalie B, Hiatt, Gabe. 2023. ‘It’s disgusting’: Bali locals are fed up with bad tourists, https://www.washingtonpost.com/travel/2023/04/11/bali-bad-tourists-deported/
[7] Goodwin, Harold. 2017. The Challenge of Overtourism, Responsible Tourism Partnership Working Paper 4. October 2017, https://haroldgoodwin.info/wp-content/uploads/2020/08/rtpwp4overtourism012017.pdf
[8] UNWTO, Sustainable Development, https://www.unwto.org/sustainable-development
[9] World Economic Forum, 2022. Ten Principles for Sustainable Destinations: Charting a new path
[11] Riani, Asinda. 2023. Larangan Mendaki Gunung di Bali Akibat Tingkah Turis Nakal Jadi Sorotan Media Asing. https://www.liputan6.com/lifestyle/read/5320359/larangan-mendaki-gunung-di-bali-akibat-tingkah-turis-nakal-jadi-sorotan-media-asing
[12] UNWTO. Indicators of Sustainable Development for Tourism Destinations, A Guidebook. https://webunwto.s3.eu-west-1.amazonaws.com/s3fs-public/2022-02/Solid%20Waste%20Management_Excerpt_IndicatorsofSustainableDevelopmentforTourismDestinations_UNWTO_2004.pdf?08XoiZ3an7rRjYsQeIRw2UiW6gfFGZeB=
[13] UNWTO. 2021. Recommendations For The Transition to A Green Travel and Tourism Economy. https://webunwto.s3.eu-west-1.amazonaws.com/s3fs-public/2021-05/210504-Recommendations-for-the-Transition-to-a-Green-Travel-and-Tourism-Economy.pdf?VersionId=wiwmhlGgXT4zwXles_Q8ycdITGIQfaMt
[14] Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2022. Statistik Upah Tenaga Kerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2018-2021, https://api2.kemenparekraf.go.id/storage/app/uploads/public/63e/d9b/e8d/63ed9be8d8a97910858031.pdf
[16] PATA, 2021. Tourism Destination Resilience. https://src.pata.org/tourism-destination-resilience/
[17] OECD. 2022. OECD Tourism Trends and Policies 2022 Chapter 2. Building resilience in the tourism ecosystem. https://www.oecd-ilibrary.org/sites/efa87744-en/index.html?itemId=/content/component/efa87744-en
[18] Putri, Karsiani, 2020. BSN Tetapkan Standar Pengelolaan Pariwisata Alam demi Mewujudkan Pariwisata Berkelanjutan. https://bali.tribunnews.com/2020/06/23/bsn-tetapkan-standar-pengelolaan-pariwisata-alam-demi-mewujudkan-pariwisata-berkelanjutan
[19] https://chse.kemenparekraf.go.id/id/bantuan
Response (1)