Ungkapan Hati Terdalam Seorang Guru Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) – Akhirnya Surat yang tak pernah diharapkan memenuhi ruang-ruang pesan pada grup yang saya ikuti. Surat dengan Nomor: B/1043/M.SM.01.00/2025 tertanggal 7 Maret 2025 dan ditandatangani Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, berulang kali saya baca. Saya berharap huruf-huruf di atas kertas putih di sana berlari dan berganti.
Terbayang perjuangan demi perjuangan yang harus saya lalui. Di awali dengan menerjang panas dan hujan saat ingin diakui sebagai pendidik, Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan menjadi tujuan pertama saya untuk mengembangkan kemampuan dalam mengajar, dengan mengikuti kegiatan yang diselenggarakan Kesharlindung.
Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Tahun 2021, menjadi motivasi dan penyemangat untuk meningkatkan pendapatan dalam keluarga saat tanggung jawab pencari nafkah berpindah haluan. Bukan untuk mencari sensasi, namun amanah-amanah yang telah diberikan harus memiliki masa depan yang lebih baik dari saya. Terbayang saat riak hingga ombak datang menghampiri. Hanya nasihat dari kedua orangtua tercinta dan pepatah kuno “Sawang Sinawang” menjadi penyejuk batin yang meradang.
Berusaha keras memberikan yang terbaik saat pelaksanaan tes Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) hingga akhirnya lolos dengan nilai di atas passing grade, membuat mimpi-mimpi indah mulai dirajut. Setahun, dua tahun, dan akhirnya kabar baik di tahun 2024 membuat rajutan mimpi yang sempat terkoyak mulai kembali dijalin. Sudah terbayang sebuah kehidupan yang lebih baik akan saya jalani bersama keluarga. Namun…, semua seakan sirna.
***

Teringat kembali kemeriahan perayaan Hari Guru Nasional di Jakarta Internasional Velodrome, November silam. Undangan yang bertuliskan nama Dwi Yulianti, S.Mat, S.Pd. pada lampirannya menjadi tiket masuk ke dalam gedung yang meriah.
Saya bukan orang yang suka berpolitik atau membicarakan politik. Menjadi penanggung jawab sebagai kelas saja, saya menemui banyak warna. Apalagi beliau yang mendapat amanah menjadi pemimpin dari dua ratus delapan puluh dua jutaan rakyat dengan beragam warna budaya. Tapi kala itu, saya terhanyut dengan retorika panjang yang akan mengangkat nasib guru di Indonesia.
Baca juga: Sejuta Pantun Guru Depok

Saya tak pernah merasakan kehangatan dan keyakinan perubahan kehidupan guru saat menghadiri peringatan Hari Guru Nasional sebelum-sebelumnya. Namun saat itu, saya ikut bernyanyi dengan pimpinan negeri ini dan jajarannya. Terhanyut dengan lagu “Indonesia Jaya” yang seakan menggambarkan perjuangan saya dan ratusan rekan guru lainnya.
Hidup tiada mungkin, tanpa perjuangan
Tanpa pengorbanan, mulia adanya…
Berpeganglah tangan, satu dalam cita
Demi masa depan, Indonesia Jaya…
Saya mungkin hanya sebutir debu yang beterbangan, namun saya berniat untuk berbuat baik menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik. Saya ditemani puluhan, ratusan, ribuan, hingga puluhan ribu guru-guru di Nusantara yang memiliki Visi, Misi, dan Tujuan sama dalam dunia pendidikan.
Saya bukan pribadi yang bisa lantang bersuara seperti anggota Dewan Terhormat, namun izinkan saya menyuarakan isi hati dan ungkapan perasaan. Saya ingin meluapkan kesedihan, kemarahan, dan ketidakberdayaan yang kini ada. Hanya dengan tulisan, saya bisa merangkaikan kata demi kata untuk mengungkapkannya.
***
Penantian Panjang Tak Berujung
Delusi dan halusinasi bergantian menghampiri
Menggambarkan sebuah kebenaran ataukah hanya impian?
Seakan sukma dan raga enggan menelisik
Lelah yang semakin membumi
Sebuah bintang yang bersinar terang tak mampu bertahan
Empat tahun mencoba tetap memendarkan cahayanya
Di antara gelapnya langit yang seharusnya berwarna
Menahan pekatnya awan hitam agar tak menurunkan butir air
Keyakinan untuk mengubah satu warna kehidupan
Seakan tak kunjung tiba menghampiri hembusan nafas
Bintang itu bukan semakin bersinar, melainkan tertutup debu kosmik
Hingga semakin lama kian meredup
Saat lambung bersuara meminta kebutuhannya
Saat cacing-cacing dalam usus ramai mencari mangsanya
Saat magnet pendidikan mulai menarik logam hingga emas
Namun tak ada yang bisa mengerti jeritan hati
Penantian panjang yang kini mulai menggoreskan kanvas
Kembali mengendurkan pembuluh nadi, vena, hingga kapiler
Ketika para punggawa berkoar efisiensi untuk kemakmuran
Namun tak pernah dirasakan oleh ratusan semut yang berbaris rapi
Memahami kondisi jalan yang membentang penuh liku
Dengan lubang dan aspal yang semakin mengelupas
Namun rasa dan asa ini sudah sampai batas penantian
Tenggelam dalam doa di atas sajadah penuh air mata
***
Saya meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Hasil akhir yang akan saya terima itu adalah yang terbaik dari Allah. Walaupun dalam hati yang paling dalam saya memohon untuk menyegerakan apa yang seharusnya saya terima. Saya tidak mewakili rekan lain namun saya yakin harapan terbesar mereka sama dengan yang saya harapkan.
Terima kasih untuk doa dan dukungan semua orang baik. Semoga penantian panjang ini akan indah pada akhirnya.
Penulis: Dwi Yulianti (Oase_biru) – Guru Kelas VA SDN Pondokcina 3
Referensi:
