Hutang Negara kepada Kaum Perempuan!

Ibarat air susu dibalas air tuba, peran para wanita yang turut serta memajukan kesejahteraan bangsa justru selalu dipandang sebelah mata. Terbukti hingga 79 tahun usia kemerdekaan, banyak sekali kasus diskriminasi yang menimpa kaum Perempuan di Indonesia.

Izhar Arjuna

Menjadi kelompok yang “termarjinalkan,” tak membuat sumbangsih kaum Perempuan untuk membangun peradaban di negeri ini bisa dianggap sepele. Sebut saja nama-nama seperti Najwa Shihab, Menteri Sri Mulyani, Menteri Retno, Gubernur Khofifah hingga mantan Presiden, Ibu Megawati Soekarno Putri. Nama-nama tersebut merupakan beberapa perempuan tangguh yang turut menyumbangkan tenaga dan pikiran mereka untuk membangun negeri.

Belum lagi mereka yang menjadi pahlawan Nasional seperti Dewi Sartika, HR Rasuna Said, hingga Cut Njak Dien. Daftar nama-nama hebat tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan Indonesia pun memberikan dampak yang besar dalam upaya memajukan kesejahteraan bangsa. Besarnya sumbangsih yang diberikan oleh kaum wanita, menunjukkan bahwa mereka ingin ambil peran dalam upaya mewujudkan cita-cita bangsa.

Rasa aman dan nyaman harus selalu dihadirkan oleh negara kepada kaum perempuan. Ilustrasi: Canva.com edited by Izhar Arjuna

Namun ibarat air susu dibalas air tuba, peran para wanita yang turut serta memajukan kesejahteraan bangsa justru selalu dipandang sebelah mata. Terbukti hingga 79 tahun usia kemerdekaan, banyak sekali kasus diskriminasi yang menimpa kaum Perempuan di Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bahwa negara gagal menciptakan situasi aman dan nyaman pada kelompok yang turut menentukan arah peradaban bangsa.

Artikel ini mencoba menjelaskan bahwasanya negara memiliki hutang budi berupa “rasa aman” kepada kaum Perempuan sejak awal berdiri hingga saat ini. Maraknya kasus diskriminasi pada kaum Perempuan harusnya menjadi introspeksi bagi negara. Sebab, rasa aman dan nyaman harusnya selalu dihadirkan oleh negara kepada kaum perempuan.

Langsung saja check this out!

Diskriminasi pada kaum Perempuan

“Diskriminasi” dan “Perempuan” seolah menjadi kata yang tidak dapat terpisahkan di negara ini. Ada banyak sekali bentuk-bentuk diskriminasi yang menimpa kaum Perempuan. Diskriminasi tersebut berupa streotip, subordinasi, marginalisasi, beban berlebihan hingga berbentuk kekerasan. Kekerasan kepada perempuan menjadi salah satu diskriminasi yang paling sering terjadi di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan berbagai catatan tahunan (catahu) yang selalu dikeluarkan oleh Komnas Perempuan Indonesia tiap tahunnya. Catahu merupakan “catatan khusus” Komnas Perempuan yang isinya tingkat kekerasan yang dialami Perempuan dalam kurun waktu satu tahun.

Diskriminasi dan Kaum Perempuan
“Diskriminasi” dan “Kaum Perempuan” menjadi kata yang tidak dapat terpisahkan di negara ini. Ilustrasi: Canva.com edited by Izhar

Berdasarkan catatan tahunan yang dikeluarkan Komisi Nasional Perempuan di website resminya menyebutkan bahwa pada tahun 2023 terdapat 289.111 kasus kekerasan terhadap kaum Perempuan di Indonesia. Angka ini turun sebanyak 12%  dari jumlah kekerasan yang terjadi di tahun 2022. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti menunjukkan rasa aman yang dimiliki para wanita berhasil terpenuhi. Dalam catatan tahunannya, Komnas Perempuan melaporkan bahwa di tahun 2023, kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan negara mengalami peningkatan. Masing-masing pada ranah publik meningkat 44% dan di ranah negara terjadi peningkatan sebesar 176%.

Sepanjang tahun 2023, Komnas Perempuan total menerima 4.374 aduan dengan hampir 76% pengaduan merupakan kekerasan berbasis gender. Bahkan di tahun 2023 saat ini, kekerasan seksual juga terjadi di dunia maya. Kekerasan berbasis gender menjadi yang dominan terjadi dengan 836 kasus. Adapun kekerasan berbasis gender yang terjadi di tempat umum memiliki persentase sebesar 8% (100 kasus). Banyaknya kasus kekerasan berbasis gender menunjukkan peran negara belum memberikan rasa aman kepada kaum Perempuan di Indonesia.

Hutang Negara Pada Kaum Perempuan

Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa negara memiliki tujuan untuk “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”. Artinya negara harus melindungi kepentingan segenap kelompok warga negara tanpa terkecuali, termasuk kaum Perempuan. Memastikan tidak adanya diskriminasi yang menimpa warganya sudah menjadi tanggung jawab negara berdasarkan konstitusi tersebut.

Ilustrasi: Canva.com edited by Izhar Arjuna

Akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwasanya banyak sekali tindakan diskriminasi terhadap kaum hawa di Indonesia hingga saat ini. Perbuatan diskriminasi tersebut mulai dari pelecehan secara verbal hingga tindak kekerasan seksual. Banyaknya diskriminasi di ruang publik, transportasi umum, hingga di tubuh instansi menjadikan Perempuan Indonesia tidak merasa aman sebagai warga negara. Belum lagi tindakan pelecehan yang terjadi di dunia maya yang belakangan ini marak terjadi. Hal ini tentu menunjukkan kesan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi para perempuan Indonesia di negerinya sendiri.

Dengan kondisi seperti ini, penulis akan menyatakan bahwa negara berhutang “rasa aman” kepada para perempuan di Indonesia. Berhutang rasa aman kepada “kelompok mereka” adalah bentuk kegagalan negara dalam menjalankan amanat undang-undang. Oleh karena itu harusnya negara segera berbenah untuk terus menjamin rasa aman dan nyaman bagi kaum Perempuan di negeri ini. Perlu diingat, bukankah ketika negara gagal mewujudkan tujuannya artinya pemangku kebijakan menodai cita-cita luhur para pendiri bangsa ini? Mari kita jadikan bahan renungan bersama!

Penutup

Pramoedya Ananta Toer, penulis buku Bumi Manusia pernah menulis sebuah catatan yang berisi keberadaan kaum Perempuan pra dan pasca kemerdekaan. Dalam bukunya yang berjudul “Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer,” Pramoedya Ananta Toer menceritakan bagaimana mirisnya kondisi perempuan kala itu. Pramoedya menyatakan ada banyak sekali kaum Perempuan yang menjadi korban dalam upaya memerdekakan bangsa ini. Perempuan-perempuan tersebut dijadikan pekerja yang bertugas “menghibur” para tentara Jepang. Tak sedikit dari mereka menjadi korban kekerasan dari para tentara tersebut. Mirisnya keberadaan para wanita tersebut tidak pernah berusaha untuk dicari maupun dilacak oleh negara pasca kemerdekaan. Kaum Perempuan yang menyatakan dirinya sebagai warga negara Indonesia menjadi “orang buangan” karena negara tidak pernah mencari tahu keberadaan mereka.

Catatan Pramoedya Ananta Toer tersebut harusnya membuat negara menjadi sadar dan berupaya untuk terus melindungi kaum Perempuan di Indonesia. Jangan sampai kejadian serupa terjadi lagi di masa kini. Jangan sampai juga negara “berhutang” lagi kepada para Perempuan di Indonesia dalam menjamin keamanan dan kenyamanan sebagai warga negara!

Sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Sumber: Komnas Perempuan

Toer, Pramoedya Ananta. “Perawan dalam Cengkeraman Militer” Cet ke-23. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2023)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *