Sastra  

Pohon-Pohon Berbisik di Ibu Kota

Donyawan Maigoda
Pohon-Pohon Berbisik di Ibu Kota
Pohon-Pohon Berbisik di Ibu Kota. Sumber: pixabay.com

Pohon-Pohon Berbisik di Ibu Kota – Di tengah hiruk pikuk ibu kota, berdiri pohon-pohon tua yang seakan telah melihat segalanya. Mereka tidak hanya saksi bisu dari perubahan zaman, tetapi juga pengamat setia dari kebijakan yang datang dan pergi. Hari itu, di bawah langit yang kelabu, angin sepoi-sepoi membawa bisikan-bisikan gelisah dari dedaunan yang berderak.

Pohon Beringin, yang berdiri gagah di depan gedung pemerintahan, berbicara dengan lirih. “Lihatlah mereka, para penguasa yang tak pernah mendengar rintihan kita,” katanya kepada Pohon Trembesi yang ada di seberang jalan.

Pohon Trembesi mengangguk, ranting-rantingnya bergoyang pelan, dan berkata. “Mereka sibuk dengan janji-janji manis yang tak pernah ditepati. Kami pohon-pohon ini sudah menyaksikan terlalu banyak janji kosong.”

Baca juga: Green Marketing: Strategi Pemasaran yang Ramah Lingkungan

***

Sementara itu, di sudut taman, Pohon Mangga berbisik pada Pohon Kersen. “Mereka menebang saudara-saudara kita untuk membangun gedung-gedung tinggi, tanpa memikirkan dampaknya. Alam akan semakin tersisih.”

Pohon Kersen mengeluarkan suara kesal, daunnya gemetar. “Benar, mereka selalu bicara tentang pembangunan, tapi lupa bahwa kami adalah paru-paru kota ini. Tanpa kami, udara segar akan menjadi kenangan.”

Angin membawa suara-suara itu ke telinga-telinga manusia, namun tak ada yang benar-benar mendengarkan. Manusia-manusia itu, yang disebut sebagai pemimpin, terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mereka berdiskusi tentang kebijakan baru, tentang proyek-proyek besar yang akan membawa “kemajuan”, sementara pohon-pohon terus meratap nasibnya.

Di satu sisi jalan, berdirilah Pohon Jati, yang tumbuh kokoh selama puluhan tahun. Ia memandang dengan mata penuh kekecewaan pada gedung-gedung tinggi yang merampas sinar matahari. “Mereka lupa bahwa kemajuan bukan hanya tentang beton dan baja. Kemajuan sejati adalah ketika manusia hidup harmonis dengan alam.”

***

Pohon Jati menatap lurus ke arah gedung pemerintahan, di mana para pemimpin duduk di kursi empuk mereka. “Oh, andai saja mereka bisa mendengar kami. Andai saja mereka bisa merasakan penderitaan kami,” gumamnya.

Pohon-pohon itu, meskipun tak bisa bergerak atau berbicara seperti manusia, menyampaikan pesan mereka melalui angin dan dedaunan yang berguguran. Mereka berharap, suatu hari nanti, manusia akan sadar bahwa kebijakan yang baik bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan alam.

Dan di hari itu, ketika matahari perlahan tenggelam, pepohonan di ibu kota terus berbisik, berharap suatu saat suara mereka akan didengar. Mereka menunggu dengan sabar, karena mereka tahu bahwa perubahan membutuhkan waktu, dan pepohonan selalu tahu cara menunggu.

***

Namun, malam itu sesuatu yang berbeda terjadi. Pohon Beringin yang berdiri megah di depan gedung pemerintahan mulai merasa resah. Ia merasakan getaran-getaran aneh dari dalam tanah, seperti ada sesuatu yang hendak keluar dari perut bumi. “Ada apa ini?” bisik Pohon Beringin pada dirinya sendiri, akar-akarnya yang dalam terasa semakin gelisah.

Di seberang jalan, Pohon Trembesi merasakan hal yang sama. “Apakah ini pertanda buruk?” tanyanya pada Pohon Beringin. Namun, sebelum mereka sempat berdiskusi lebih jauh, angin malam yang biasanya lembut berubah menjadi angin kencang yang menderu. Daun-daun berjatuhan, ranting-ranting saling bergesekan, menciptakan suara yang nyaring dan memekakkan telinga.

Di tengah kekacauan itu, suara keras dari arah gedung pemerintahan memecah malam. Bukan suara rapat atau pidato seperti biasanya, melainkan suara mesin-mesin berat yang mulai beroperasi. Pepohonan itu tahu persis apa yang sedang terjadi—proyek baru dimulai lagi. Tanah di sekitarnya akan dirombak, akar-akarnya akan terancam, dan kehidupan mereka akan sekali lagi terancam.

Pohon Mangga yang biasanya diam, kali ini tidak bisa lagi menahan kemarahannya. “Berapa banyak lagi yang harus kita korbankan untuk kebijakan-kebijakan ini?” serunya dengan nada getir. “Mereka berbicara tentang kemajuan, tapi hanya untuk segelintir orang. Kami, yang memberikan udara segar dan keteduhan, terus-menerus dianggap remeh.”

Pohon Kersen, yang akarnya mulai terpapar karena tanah di sekitarnya digali, bergoyang dengan marah. “Lihatlah, ini adalah harga dari keserakahan mereka! Tanah ini dulu subur dan hijau, tapi sekarang yang tersisa hanya debu dan suara bising.”

***

Sementara itu, di dalam gedung, para pemimpin duduk di balik meja-meja mereka, membicarakan angka-angka dan diagram-diagram yang tak berarti bagi alam. Mereka tak pernah benar-benar mengerti bahwa di luar sana, kehidupan sedang berjuang untuk bertahan.

Namun, sesuatu yang ajaib terjadi. Pada saat mesin-mesin itu hendak meratakan tanah, tiba-tiba mereka berhenti. Angin berhenti bertiup, dan suasana menjadi hening. Dari dalam tanah, terdengar suara lirih, seperti jeritan dari masa lalu yang terlupakan. Pohon Jati, yang sudah lama menjadi saksi bisu, akhirnya angkat bicara dengan suara yang dalam dan berwibawa.

“Kalian, yang mengaku sebagai pemimpin, dengarlah kami! Kami adalah bagian dari alam yang kalian abaikan. Kami telah tumbuh di sini jauh sebelum kalian tiba, dan kami akan terus berdiri lama setelah kalian pergi. Jangan anggap kami sebagai penghalang, karena tanpa kami, kota ini akan menjadi hutan beton yang tak berjiwa.”

Suara Pohon Jati bergema di udara malam, membuat semua mesin dan manusia di sekitarnya terdiam. Orang-orang mulai merasakan ada sesuatu yang salah, seolah-olah alam sedang memberikan peringatan terakhirnya. Dan meski tidak semua dari mereka memahami sepenuhnya, ketakutan mulai menyelinap di hati mereka.

***

Beberapa pemimpin mulai merasa gelisah. Mereka saling memandang, bingung dengan apa yang terjadi. Salah satu dari mereka, yang lebih tua dan bijak, berdiri dari kursinya dan melangkah keluar gedung. Dia melihat ke arah Pohon Jati yang berdiri kokoh, dan untuk pertama kalinya, dia merasakan sesuatu yang aneh—seperti ada kekuatan tak terlihat yang sedang berbicara kepadanya.

“Apakah ini peringatan?” tanya pemimpin tua itu pada dirinya sendiri. “Atau hanya imajinasi yang terlalu jauh?”

Tapi Pohon Jati, dengan daunnya yang bergetar pelan, seolah menjawab dengan tenang, “Ini bukan imajinasi, ini adalah kenyataan yang kalian abaikan. Dengarkanlah kami sebelum terlambat.”

***

Malam itu, perubahan mulai terjadi, meskipun perlahan. Para pemimpin yang tadinya hanya mementingkan proyek-proyek besar mulai memikirkan dampaknya terhadap alam. Beberapa dari mereka bahkan mulai berbicara tentang kebijakan yang lebih ramah lingkungan, tentang cara membangun tanpa merusak, dan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara alam dan kemajuan.

Di bawah sinar matahari pagi yang lembut, pohon-pohon di ibu kota merasakan perubahan yang halus namun berarti. Mereka tahu bahwa jalan menuju keseimbangan masih panjang, dan tantangan besar masih menanti. Namun, di hati mereka yang berakar dalam tanah, tersimpan harapan baru—harapan bahwa suatu hari nanti, manusia dan alam dapat hidup berdampingan tanpa saling melukai.

***

Para pemimpin, meski belum sepenuhnya paham, mulai menyadari pentingnya mendengarkan suara-suara yang selama ini terabaikan. Mereka yang tadinya hanya melihat pohon sebagai objek tak bernyawa kini mulai melihatnya sebagai bagian penting dari kehidupan. Suara-suara pohon yang dulu hanya bisikan, kini mulai membentuk kebijakan yang lebih bijak dan berkelanjutan.

Dan bagi pepohonan itu, mereka tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Mereka akan terus berbisik, terus berdiri kokoh, dan terus menunggu. Sebab, seperti yang selalu mereka tahu, waktu adalah sekutu terbaik mereka. Dengan kesabaran yang tak tergoyahkan, mereka akan menanti hingga manusia benar-benar mengerti bahwa kemajuan sejati adalah ketika kita semua, baik manusia maupun alam, dapat tumbuh bersama dalam harmoni.

Dengan semangat baru, pepohonan itu menyambut hari baru, penuh dengan harapan dan kepercayaan bahwa masa depan akan lebih cerah—bukan hanya untuk mereka, tetapi untuk seluruh bumi yang mereka cintai.

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *