Semakin maju peradaban, semakin beragam limbah yang menumpuk. Dari sampah alami menjadi limbah industri yang butuh ratusan tahun untuk diurai oleh tanah. Meskipun persentase sampah kita masih didominasi oleh sampah makanan, tidak berarti kita dapat mengabaikannya.
Faktanya, sampah plastik global pada tahun 2023 dikira-kira akan menumpuk sebanyak 158.9 ton, dan sebanyak 43% tidak diolah dengan baik.
Ketika berbicara tentang sampah plastik, semua metode penanganan yang ada selalu merujuk pada bagaimana caranya mengurangi atau mendaur ulang plastik menjadi suatu produk yang baru. Mulai dari bagaimana menjadikan botol plastik sebagai perabot, hingga meleburkan plastik menjadi sumber energi baru. Semakin lama, manusia semakin kreatif dalam mencari alternatif bagaimana memperpanjang masa penggunaan plastik. Meski demikian, hal ini mengimplikasikan bahwa kita hanya mampu mendaur dan mendaur, tanpa dapat benar-benar menghilangkan limbah plastik
Pernahkah pembaca terpikir untuk memakan limbah sebagai salah satu solusinya?
Perkenalkan Eleonora Ortolani, mahasiswa Central Saint Martins dalam jurusan Material Futures, telah bekerja sama dengan beberapa peneliti untuk memecah plastik menjadi vanilin, molekul yang membentuk rasa vanilla. Ia kemudian menyangkutkan rasa vanilla dengan salah satu makanan ikonik yang sangat terkenal dengan rasa tersebut, yakni es krim.
INSPIRASI DAN PROSES PEMBUATAN ES KRIM PLASTIK
Plastik yang digunakan oleh dalam proyek ini merupakan material yang sama dengan botol plastik yang kita jumpai sehari-hari. Dilansir dari dezeen.com (16/08), Ortolani mengatakan bahwa ini menjadi buah pikirannya setelah merasa frustasi dengan ketidakmampuan manusia dalam benar-benar mengatasi limbah plastik. Belum lagi, banyak metode daur ulang plastik yang mencampurkan plastik dengan material-material lainnya sehingga semakin sulit untuk didaur ulang setelah tidak dipakai lagi.
Untuk menggarap proyek ini, Ortolani bekerja sama dengan peneliti-peneliti dari Edinburgh diketuai oleh Joanna Sadler, yang menggunakan bakteri untuk memecah molekul-molekul plastik. Hal ini terinspirasi dari bagaimana cacing lilin (wax worm) dapat mengonsumsi plastik karena memiliki enzim yang dapat memecah polyethylene, bahan plastik yang paling sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut mereka, setelah plastik dipecah, ia tidaklah lagi menjadi sebuah polimer, tetapi sudah menjadi elemen yang bisa diubah menjadi sesuatu yang lain.
Walhasil, jadilah sebuah perisa sintetik vanila yang memiliki bau yang serupa dengan perisa vanila yang kita kenal sehari-hari, dengan bau yang sama. Oleh Ortolani, perisa itu digunakan oleh memberi rasa pada makanan penutup yang sangat identik dengan rasa vanila ini.
BELUM DIBUAT UNTUK KONSUMSI MANUSIA
Saat ini, es krim plastik tidak diperuntukkan sebagai konsumsi manusia. Ortolani memajang hasil penelitiannya dalam pameran kelulusan CSM, dan dinamai sebagai proyek “Guilty Flavors”. Karena masih dianggap baru, ini masih harus dites dan diteliti lebih lanjut hingga dianggap aman untuk dikonsumsi.
Meskipun belum aman untuk dikonsumsi, Ortolani menyatakan bahwa ia berharap kalau penelitian ini membuka perspektif baru akan bagaimana manusia mempersepsikan makanan yang alami dan yang tidak. Bahwa tanpa memandang plastik sebagai suatu bagian dari ekosistem, mereka tidak benar-benar akan dapat menghilangkan limbah plastik dari bumi. Sangat mungkin metode ini juga akan menyokong ketahanan pangan di masa-masa yang akan mendatang.
MANUSIA MENJADI TEMPAT SAMPAH TERAKHIR
Entah mengapa, situasi ini mengingatkan saya pada cerpen lampau dalam majalah BOBO, yang menceritakan seorang siswi SD yang bermimpi berada dalam dunia plastik. Sayur dan lauk-pauk yang harus dikonsumsinya pun sampai-sampai terbuat dari plastik. Cerpen ini memiliki nilai sederhana tentang limbah plastik yang lambat laun akan mencemari kehidupan kita. Tidak dinyana, kita benar-benar mengarah pada “kemajuan” di mana kita sangat mungkin dapat mengonsumsi plastik.
Sebenarnya ini bukan kali pertama ada orang yang memiliki ide untuk membuat makanan dari bahan yang di luar nalar. Kita adalah makhluk yang terlampau kreatif. Pribumi mengkonsumsi biji kopi bekas kotoran luwak pada masa penjajahan agar dapat menikmati nikmatnya kopi. Sedangkan pada tahun 2015, para ilmuwan dari Kyoto meluncurkan produk cheesecake dari bakteri yang di ada dalam kotoran gorilla. Saya tidak kaget kalau semakin kesini, semakin banyak jenis makanan yang dibentuk dari bahan-bahan yang awalnya bukan untuk konsumsi manusia.
Hanya saja terasa ironis dan lucu karena kita sebagai penyumbang limbah terbesar di bumi, bisa jadi berakhir menjadi tempat sampah dari limbah yang kita buang. Proyek es krim plastik ini dibentuk tidak hanya sekedar eksperimen, tetapi juga bisa menjadi pesan. Pesan bahwa mungkin di masa depan, ini akan menjadi alternatif pemusnahan limbah di saat limbah kian lama kian mencekik. Kompromi bahkan karma bagi manusia yang sudah membentuk dan merusak lingkungan sesuai kemauannya.
Apa selanjutnya kita akan beralih kepada makanan-makanan sintetik? Dari makan nasi menjadi makan plastik dan besi? Jadi, sebelum kita benar-benar terjepit pada alternatif itu, mari mulai berusaha untuk mengurangi limbah plastik dan material-material tidak terurai lainnya. Mari tidak ceroboh dalam menangani pembuangan limbah, setidaknya dalam lingkup rumah tangga. Dengan kontribusi itu, kita dapat mengurangi kemungkinan kelam di mana limbah terhidang di atas meja makan kita.
REFERENSI:
https://japannews.yomiuri.co.jp/science-nature/environment/20221028-67344/