Cinta dan Perahabatan – “Kenapa sepedanya? Bocor?” tanya Hanna dari dalam mobil dengan kepala yang menjulur dari jendela. Nayla mengangguk. Hanna turun dari mobil dan menghampirinya.
Saat diperiksanya, terlihat jika ban sepedanya sudah tidak layak digunakan. Pantas jika sering bocor, karena ini bukan pertama kalinya Hanna melihat Nayla mendorong sepeda sepulang sekolah.
Hanna melihat sekeliling, di depan sepertinya ada tambal ban. Hanna berjalan menuju mobil yang sudah menepi beberapa meter di depan. “Aku akan menemani temanku. Bapak tunggu di bengkel depan ya,” perintahnya pada sopir yang masih menunggu.
Hanna putri satu-satunya Pak Aditama dan Ibu Widiyasari. Putri yang selalu dimanja, hingga semua kebutuhannya difasilitasi termasuk seorang sopir yang selalu menemaninya. Hanna tinggal bersama keluarganya di perumahan samping gang menuju rumah Nayla.
Nayla berasal dari keluarga sederhana, bersama ayah dan ibu serta seorang kakak laki-laki, Aliansyah. Ayahnya bekerja sebagai penjaga keamanan di perumahan tempat Hanna tinggal. Dia bisa satu sekolah dengan Hanna, karena mendapatkan beasiswa. Jika tidak mana mungkin dia bisa masuk pada sekolah elit tingkat SMA terbaik di kota tempat mereka tinggal.
***
“Nay, kita ke kantin yuk. Aku mau cerita sedikit,” ajak Hanna sambil menarik tangannya menuju kantin. Nayla sebenarnya enggan, kendatipun begitu tetap dilangkahkan kakinya mengikuti Hanna. mereka kini duduk berhadapan setelah memesan makanan dan minuman.
“Nay, bisa menyimpan rahasiaku?” tanya Hanna sambil tersenyum. “Rahasia…? Tentang apa?” tanya Nayla bingung antara mengiyakan atau menggelengkan kepalanya. “Tentang Rasya. Kamu tahu kan Nay? Mantan ketua OSIS kita,” bisik Hanna khawatir suaranya didengar siswa lainnya.
Nayla tersenyum mengerti maksud Hanna, pasti dia menyukai Rasya. Siswi satu sekolah ini mungkin akan mengatakan hal yang sama kecuali …, Nayla menghembuskan napasnya perlahan.
Jika saja dia adalah anak orang berada seperti siswi lainnya di sekolah ini, mungkin dia akan membiarkan rasa suka itu tumbuh dan berkembang di hatinya. Nayla harus tahu diri, dia berbeda dari yang lain. Rasya… Aku harap kamu mendapat pendamping yang tepat. Jika dia adalah Hanna, maka aku akan mendoakan kebahagiaan kalian.
“Nay, kok malah bengong sih. Ada masalah apa? Kakakmu sakitnya kambuh lagi?” tanya Hanna cepat. Nayla cepat menggelengkan kepalanya. Jika urusan Kak Ali sakit, Hanna pasti akan langsung mengirimkan uang ke rekeningku untuk berobat.
“Bukan Han, aku sedang mengingat-ingat yang mana orangnya,” jawabku asal. “What? Jangan bilang kamu tidak mengenal bintang sekolah kita ya Nay!” teriak Hanna kesal. Beberapa siswa dan siswi yang sedang makan menoleh ke arah mereka karena teriakan Hanna barusan. Hanna langsung salah tingkah dan menyalahkan Nayla.
Setelah terdiam beberapa saat Hanna kembali berucap, “Sayangnya dua bulan lagi harus berpisah. Rasya akan jadi mahasiswa sedangkan aku masih di sini,” lirihnya. Makanan dan minuman yang mereka pesan sudah datang, kini mereka menikmati makanan tanpa berbincang.
Pikiran mereka mengembara sesuai keinginan masing-masing, hingga keheningan terpecah dengan suara berat yang tidak mereka sangka. “Bisa bergabung di sini?” tanyanya sambil menarik kursi di samping Nayla dan menjatuhkan badannya di sana.
Hanna yang mengetahui siapa yang tiba-tiba datang langsung mengiyakan dan menatapnya dengan tersenyum. Rasya membalas senyum Hanna dan melirik ke arah Nayla. “Kalian berdua berteman?” tanyanya bergantian menatap Hanna dan Nayla.
“Bukan hanya teman. Kami bersahabat penuh cinta, dan tidak akan ada yang bisa memisahkan persahabatan kami. Bukan begitu Nay?” tanya Hanna memastikan. Nayla hanya mengangguk dan melanjutkan makannya.
Tak di toleh sedikit pun Rasya yang duduk di sampingnya. Degupan di dadanya seketika membuatnya tak nyaman. Rasya mengapa harus duduk di sini, bukankah banyak kursi yang masih kosong di sana, batin Nayla meradang. Apalagi di hadapannya Hanna baru saja mengatakan perasaannya padamu.
“Wah. Rasya tumben makan di kantin?” tanya Hanna heran. “Kebetulan tadi lihat kalian makan, kok sepertinya enak. Jadi barusan ikut pesan makanan yang sama, boleh kan?” tanyanya sambil melirik ke arah Nayla yang menunduk. “Boleh dong, ini kan kantin sekolah siapa saja boleh pesan makanan yang sama,” jelas Hanna sambil tersenyum.
Pesanan Rasya sampai dan benar yang dipesannya sama dengan mereka. Hanya saja minumannya sama dengan yang diminum Nayla. Mungkin saja kebetulan sama, batin Hanna memperhatikan.
“Kalian pulang sekolah juga bareng?” tanyanya di sela-sela kegiatan makan. “Kadang-kadang. Rumah Nayla dekat denganku, biar aku ada temannya juga,” jelas Hanna sambil melirik Nayla.
Nayla sudah selesai makan, sedangkan Hanna masih separuhnya yang tersisa di piring. Nayla menghabiskan minumannya dan teringat tugas yang diberikan Bu Indri. “Han, aku sudah selesai. Tadi Bu Indri minta aku mengambilkan buku di perpustakaan, aku pergi dulu ya,” ucapnya sambil beranjak bangun dari duduknya.
Hanna mengangguk mengizinkan, saat Nayla akan beranjak tangannya di tahan Rasya. Nayla terkejut dan mengurungkan niat untuk bangun. Jika dia melakukannya maka tangan Rasya yang memegang tangannya akan terlihat Hanna.
Nayla menoleh ke sampingnya. Dia menatap Rasya tajam. Sesaat kemudian Rasya perlahan mengurai pegangannya. Nayla langsung bangun dan melangkah cepat meninggalkan Hanna dan Rasya di kantin.
***
Setelah ujian sekolah selesai, pertandingan persahabatan futsal antara anggota yang akan lulus melawan adik kelas sudah berlangsung semenjak siang dan sore ini babak final akan dilangsungkan. Hanna dan Nayla masih menonton dari kursi mereka.
Nayla terlihat tidak sesemangat Hanna. Saat Hanna memberikan semangat pada tim Rasya sambil berdiri. Nayla sesekali melirik jam di tangannya. Sudah hampir pukul lima sore dia harus pulang.
Nayla ingin meminta izin untuk pulang, dia bangun dan berdiri di samping Hanna sambil memperhatikan sekilas pertandingan di lapangan. Sesaat mata Rasya menatapnya dan tersenyum. Nayla langsung membuang tatapnya ke arah lain. Diliriknya Rasya kini tengah berlari menuju rekan satu timnya.
“Han, sebentar lagi magrib. Aku harus pulang,” ucapnya pelan, namun sepertinya suara Nayla tidak jelas di dengar Hanna. “Apa Nay?” tanya Hanna sedikit berteriak. “Aku harus pulang Han,” ucap Nayla mengeraskan suaranya.
Hanna terdiam, dia lupa memberitahu jika sudah mendapat izin dari ayahnya untuk menginap. Dihentikannya gerakan yang memberikan dukungan pada tim Rasya. Melihat Nayla sesaat dan tersenyum. “Nay, maaf aku lupa bilang jika aku sudah minta izin pada ayahmu untuk menginap di rumahku malam ini. Ayahmu sudah setuju,” ucap Hanna menjelaskan.
Akhirnya Nayla kembali duduk di kursinya. Dia tak berani menonton pertandingan sambil berdiri, karena membuat Rasya mudah menatapnya. Pertandingan sudah berakhir, kemenangan tim Rasya disambut sorak-sorai penonton. Mereka puas menyaksikan pertandingan terakhir kakak kelas mereka.
Saat Hanna membeli makanan dan mengantre, Nayla keluar dari keramaian dan duduk di bangku menunggu Hanna. “Terima kasih ya akhirnya kamu datang. Walau bukan memenuhi permintaanku,” suara berat Rasya sudah ada di belakangnya.
Nayla tak berani menoleh, dia takut Hanna akan melihatnya. Rasya memang memintanya untuk hadir hari ini tapi Nayla menolaknya. Tapi siang tadi Hanna menjemputnya dan langsung mengajaknya ke acara yang sama.
“Sepertinya Hanna adalah orang yang bisa memintamu melakukan apa saja. Apakah aku harus meminta pada Hanna agar kamu tidak menolakku?” tanya Rasya kemudian yang kini sudah duduk di samping Nayla. Digelengkan kepalanya, mana bisa seperti itu, Rasya. Kamu akan menyakitinya, ucapku dalam hati.
Hanna membawa makanan yang mereka pesan, saat melihat Rasya bersama Nayla ada rasa cemburu di hatinya. “Nay, kamu sudah kenal dengan Rasya sebelumnya? akrab sekali ngobrolnya,” tanya Hanna pada Nayla untuk menghilangkan keraguannya. “Tidak Han, sama denganmu. Aku dan Nayla juga baru kenal,” suara Rasya mendahului menjawab pertanyaan dari Hanna.
***
Papa Hanna yang baru pulang joging terkejut melihat seorang sekuriti duduk di ruang tamunya. Sesaat mereka saling bertatapan seakan pernah saling mengenal. Ayah Nayla sangat terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya, seseorang dari masa lalunya yang kelam.
Suara Nayla yang baru masuk ke ruang tamu mencairkan suasana. “Ayah, maaf tadi diminta menemani Hanna sarapan dahulu,” ucap Nayla menghampiri ayahnya. “Oh, papa kira ada apa sekuriti di rumah kita,” ucap papa dengan lega. “Ini ayahnya Nayla, Pa. Sekalian mau pulang, jadi jemput Nayla yang menginap semalam,” jelas Hanna menjelaskan.
Ayah Nayla mengangguk hormat dan mengucapkan terima kasih sudah menerima putrinya berteman dengan Hanna. Papa tersenyum senang dan juga mengucapkan terima kasih sudah membuat Hanna menjadi lebih bertanggung jawab.
Mereka pamit untuk pulang ke rumah. Dalam perjalanan ibu mengabarkan jika kakak kembali kambuh sakit kepalanya. Nayla yang selalu menyimpan uang yang diberikan Hanna untuk pengobatan kakaknya meminta ayah untuk mampir ke apotek. Suasana hening dalam perjalanan dikejutkan dengan suara ayah yang meminta tolong pada Nayla.
“Nay, bisakah kamu membahagiakan Hanna?,” tanya ayah pelan. Aku mengangguk mengiyakan. “Ayah pernah mengambil kebahagiaannya dahulu. Lagi pula Hanna yang selalu memberikan uang untuk pengobatan Ali, kakakmu bukan?” tanya ayah menjelaskan dengan nada sedikit memelas.
Ayah, tanpa ayah minta pun Nayla akan membahagiakan Hanna, dia sudah begitu baik pada Nayla juga pada Kak Ali. Nayla tidak mungkin membuatnya bersedih, apalagi kecewa. Sepertinya jawaban yang dicarinya selama ini sudah ditemukan, batinnya.
***
“Jadi kamu menolakku, Nay,” suara Rasya yang tercekat membuat Nayla menunduk lebih dalam. Nayla tak ingin Rasya melihat butir bening di matanya yang tak terbendung. Suara isaknya juga pelan terdengar, entah apakah Rasya juga mendengarnya. Nayla bangun dan berlari meninggalkan Rasya dengan sejuta kepedihan.
Rasya maafkan aku. “Aku akan selalu membuat Hanna bahagia. Walaupun itu akan membuatku sakit, namun bahagiaku akan selalu untukmu, Hanna,” batin Nayla berkata dengan perasaan duka.
Rasya merenung sejenak, jika itu memang isak tangis yang didengarnya. Mengapa Nayla menolaknya? Beragam pertanyaan memenuhi benaknya. Sore itu Rasya terdiam di bangku taman menatap tempat yang akan ditinggalkannya.
Lusa dia akan berangkat ke Yogya, membawa serpihan luka hati yang digoreskan oleh seorang gadis manis. Seseorang bernama Nayla Prastiwi yang secara bersamaan telah memberikan goresan warna indah dalam relung hatinya yang paling dalam.
Oleh: Oase_biru
Baca juga: Air Mata dalam Senyuman










