Sastra  

Air Mata dalam Senyuman

Peristiwa yang menjadi titik balik sebuah kehidupan.

Dwi Yulianti
Ilustrasi Air Mata dalam Senyuman (foto: pexels.com)
Ilustrasi Air Mata dalam Senyuman (foto: pexels.com)

Air Mata dalam Senyuman – “Mas, kapan mau menemui ibu dan bapak? Aku sudah ditanya siapa lelaki yang dekat denganku saat ini,” tanyaku sambil menahan air mata yang menggelayut. Mas Arfan hanya memandangku dalam dan  ragu. Hubungan mereka kini sudah berjalan hampir satu tahun, namun dia masih belum bisa memberikan janji karena pekerjaannya sebagai karyawan pabrik belum bisa menyejahterakan ibunya, apalagi jika dia menikahi Ismiyanti, kekasih hatinya.

“Bisakah menunggu hingga mas bisa menjadi pengawas di pabrik?” tanyanya kembali padaku. Aku hanya menatapnya mencari kepastian. Mungkinkah Mas Arfan akan diangkat menjadi pengawas pabrik? Apakah benar akan ada pergantian pengawas pabrik? Atau apakah ini hanya isapan jempol Mas Arfan saja? Batinku.

Aku tak menjawabnya, teringat desakan  ibu yang memintaku memutuskan menerima atau tidak lamaran dari temanku saat sekolah dahulu. Mas Husni, tetangga yang juga kakak kelas saat sekolah menengah pertama adalah lelaki pertama yang sangat dekat denganku. Berangkat dan pulang sekolah selalu bersama, hingga teman-teman selalu mencandai kami dengan mengatakan jika Mas Husni adalah pacarku.

Kuhembuskan nafas panjang saat mengingat cinta monyet antara aku dan Mas Husni, hingga aku harus merelakannya meninggalkan desa saat lulus SMA. Mas Husni akan melanjutkan kuliah sekaligus bekerja di Jakarta. Saat berpisah dahulu Mas Husni berjanji akan kembali dan mencariku jika sudah menjadi orang sukses.

***

Sebulan berlalu, aku belum memberikan keputusanku pada ibu. Mas Arfan selalu datang di akhir pekan untuk mengajakku sekadar makan di warung pinggir jalan. Seperti malam ini, Mas Arfan datang menjemput dan mengatakan akan mentraktirku makan.  Aku senang jika ditraktirnya, minimal aku bisa memintanya membelikan beberapa keperluanku satu minggu ke depan.

Mas Arfan selalu menuruti keinginanku. Tak pernah menolak apapun yang aku minta, hingga terkadang aku merasa tidak enak dengan ibunya. Mas Arfan adalah anak laki satu-satunya dikeluarga mereka. Dua adiknya perempuan, sedangkan ayahnya sudah lama meninggal, hingga Mas Arfan adalah tulang punggung keluarganya. Aku juga harus memaklumi semua itu.

Setelah selesai makan Mas Arfan mengatakan jika mulai bulan depan dia akan diangkat menjadi pengawas pabrik. Aku senang sekali mendengarnya, dengan begitu aku bisa menagih jawaban Mas Arfan untuk bertemu ibu. Perlahan aku bertanya, “Mas, jadi  kapan mau ketemu ibu?”

Mas Arfan terdiam tak bergeming, ditatapnya mataku yang meminta jawaban. “Aku belum bisa memastikan Is, apakah ibumu sangat ingin melihat calon menantunya? Aku merasa masih belum pantas,” ucapnya sambil menerawang. Pikirannya bukan hanya pada pertanyaan Ismi, namun ada hal lain yang mengganjal pikirannya.

Kemarin adiknya mengirim pesan. Dia ingin melanjutkan sekolahnya, minimal ingin kuliah walaupun hanya satu tahun. Dijawab pesan dengan mengiyakan dan berjanji akan membantu biayanya. Menjadi pengawas memang memiliki gaji yang cukup besar, namun kini dia telah menambah kewajibannya. Selain ibunya, kuliah adiknya menjadi tanggung jawab barunya.

Awan mendung mulai menggelayuti mataku, butiran air mata mulai menggenang, walau aku berusaha tetap memberikan senyuman padanya. Mas Arfan tak ingin melihat air mata itu mengalir, digenggamnya tanganku sambil berkata, “Beri aku waktu. Aku akan membuktikannya dalam satu tahun. Saat itu tiba aku akan memintamu pada ibumu.” Aku mencoba memberikannya senyuman, namun aku merasa semua ini akan sia-sia.

***

“Is, pulanglah Ndok. Ibu ingin kamu menemui seseorang yang sudah lama ingin bertemu denganmu,” suara ibu sedikit memaksaku. Aku belum menjawabnya, namun suara batuk ibu membuat aku tak jadi menolaknya. Ayah bilang sakit ibu kini sering kambuh.

Apakah saat ini ibu sedang sakit? Biasanya ibu akan menutupi sakitnya pada aku dan kakakku. Ibu akan menahan rasa sakit dan kesedihan serta air matanya sendirian. Ibu tak ingin kami mengetahuinya. Aku tersenyum mengingat masa-masa saat kami semua masih berkumpul. Kakakku kini sudah tinggal bersama keluarganya berbeda pulau dengan kami.

Aku memutuskan untuk pulang. hampir enam bulan aku belum menjenguk ibu dan bapak. Aku sudah mengajukan izin dari tempat kerjaku dua hari yang lalu. Hari ini aku menunggu Mas Arfan menjemput untuk mengantarkanku ke desa. Dua jam sudah berlalu dari waktu yang dijanjikannya. Mas Arfan tak kunjung datang, juga tak mengabariku.

Kuputuskan untuk berangkat sendiri, rasa kesal karena Mas Arfan tak memberikan kabar membuat pikiranku tak tak karuan. Apalagi bapak menanyakanku sudah sampai di mana? Ibu yang memintanya menanyakan padaku. Selama perjalanan pikiranku tak tenang. Saat bus yang kunaiki sampai di terminal sebuah pesan masuk dari Mas Arfan.

Aku sudah tak peduli lagi. Aku tak membuka atau membacanya, hingga aku sampai di depan rumah yang ramai dengan tamu. Kebingungan melanda saat senyuman merekah dari sebagian besar tamu yang datang. “Wah… Alhamdulillah sudah sampai. Ismi, kamu cantik sekali. Terima kasih sudah menerima lamaran Husni,” suara yang sangat kukenal terdengar di sampingku.

Mba Rita, kakak Mas Husni sudah berdiri di hadapanku kini. Ibu yang menghampiri bersama bapak, memintaku untuk masuk dan beristirahat sejenak. Aku melihat Mas Husni yang sudah ada di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Mba Rita berjalan di belakang kami seakan menjaga agar aku tidak meninggalkan rumah.

“Ibu… Bapak…, ada acara apa ya?” tanyaku pelan melihat suasana yang membuatku tak nyaman. Ibu memintaku duduk sebelum menjawab, “Ibu dan bapak sudah menerima lamaran Nak Husni dan keluarganya. Seharusnya ibu menunggumu datang, tapi dua jam lebih kami menunggu. Akhirnya ibu menerimanya dan kami juga sudah memutuskan jika pernikahan kalian akan dilangsungkan bulan depan.”

“Bu… lan de… pan? Bagaimana mungkin? Aku belum mempersiapkan apa-apa Bu,” ucapku terbata dengan mata yang berkaca karena air mata ini tak bisa kutahan. “Tidak usah khawatir Is, aku dan asistenku nanti yang akan mengurus semuanya. Aku datang hanya memenuhi janjiku dulu. Jika aku sukses aku akan mencarimu,” ujarnya sambil menyunggingkan senyuman.

***

Persiapan pernikahanku sudah hampir selesai, satu pekan lagi aku dan Mas Husni akan menikah. Jika aku mengingat mengenai Mas Arfan yang tak pernah lagi menghubungiku air mata kembali meleleh. Mungkin pekerjaannya sekarang membuatnya sangat sibuk. Hingga janji yang diucapkan hanya  tertinggal dalam hati saja. Senyuman dingin terukir dari bibirku.

Tak mungkin tidak memberitahukan Mas Arfan mengenai pernikahanku, diputuskan untuk memberitahukannya. Dicarinya kembali nomor telepon Mas Arfan, saat dibukanya, terbaca pesan terakhir yang dikirimkannya untukku.

-Is, aku minta maaf tidak bisa menemanimu ke desa, Ibu sedang kritis di rumah sakit.-

Beberapa panggilan tak terjawab juga tertera, hingga sebuah pesan yang membuat air mata meluncur deras.

-Is, ibu meninggal, maafkan ibu ya Is-

Dua hari kemudian sebuah pesan terkirim kembali. Ucapan selamat untuk pernikahanku tertulis di sana, aku tak ingin membaca kelanjutannya.

Semua tulisan di sana sudah tak terbaca karena air mata yang deras mengalir. Aku menyesal tidak membuka pesannya dulu. Saat aku sudah menghapus air mata kulanjutkan membaca pesannya, rasa sakit dan kecewa Mas Arfan mengetahui pernikahanku tak tertulis di sana. Mas Arfan hanya berjanji akan datang di hari bahagiaku.

Di sanalah Mas Arfan duduk, memandangiku di pelaminan bersama Mas Husni. Walau aku sudah menguatkan hati namun aku tak bisa menghentikan saat beberapa tetes air mataku jatuh melihat Mas Arfan menangis. Ya, pertama kalinya aku melihat air mata Mas Arfan dalam senyuman. Aku berusaha keras mengalihkan pikiranku, semua sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupku.

***

Satu tahun sudah pernikahanku, Mas Husni tak pernah membuat aku sedih atau susah. Semua yang kubutuhkan sudah disediakannya, asisten rumah tangga bukan hanya satu yang disiapkannya. Bahkan seorang pengasuh bayi sudah disiapkannya untuk membantuku nanti. Saat ini aku sedang menunggu kelahiran putra pertama kami.

Rasa mulas sudah kurasakan dari pagi, Mas Husni masih ada rapat di luar kota. Mba Rita membawaku ke rumah sakit saat rasa mulas sudah semakin dekat jaraknya. Mba Rita memang diminta untuk menungguku saat melahirkan, saat aku di bawa ke rumah sakit, Mba Rita sudah memberikan kabar untuk Mas Husni.

Rapat yang sedang berlangsung diselesaikannya dan buru-buru kembali ke Jakarta. Keinginannya mendampingi proses kelahiran putra pertama kami membuatnya membawa mobil melaju cepat, hingga sebuah dentuman keras terdengar saat sebuah bus datang dari depannya yang dicoba menghindari dengan membanting setir ke kanan. Mobil yang oleng terhenti setelah menabrak pembatas jalan.

Jika aku mengingat saat itu, air mata tak pernah berhenti menetes, senyuman Mas Husni saat ini selalu terbayang dari wajah putra kami. Aku hanya bisa memandanginya dan mendoakan agar di sana Mas Husni juga bahagia, seperti aku yang sudah bisa berbahagia.

“Sayang, ayo masuk, nanti putri kita kedinginan. Aku sudah selesai menyiapkan makan malam. Husin juga sudah menunggu, sepertinya sudah lapar karena tadi sore bermain bola bersamaku,” ucap Mas Arfan sambil mengambil tanganku untuk digandengnya masuk. Aku berusaha bangun dengan perlahan bertopang pada tangan Mas Arfan. Kehamilan keduaku saat ini hanya menunggu waktu untuk melahirkan putriku dan Mas Arfan.

 

Oleh: Oase_biru

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *