Bayangan Cinta yang Pudar – Friska melangkah masuk ke dalam rumahnya, mencium aroma familiar dapur yang selalu menghantarnya pada kenangan indah. Meskipun hidupnya hanya tersisa enam bulan, ia tetap memilih untuk menjalani hari-harinya dengan penuh semangat. Dengan langkah ringan, dia menuju dapur dan membuka buku resep warisan keluarga.
Sejenak, dia tersenyum melihat gambar-gambar resep yang selalu menjadi bagian dari hidupnya. Friska memutuskan untuk memasak makanan favoritnya. Di tengah-tengah persiapan, aroma rempah dan daging yang merekah mengisi seluruh rumah, menciptakan suasana hangat dan akrab.
Saat Friska sibuk di dapur, pintu rumah terbuka, dan langkah kaki berat terdengar. Glenn, suaminya, pulang dari pekerjaannya. Dia memasuki dapur dengan wajah lesu, tanpa sepatah kata pun.
Friska menghentikan aktivitas memasaknya dan melihat ke arah Glenn, “Apa yang terjadi, Glenn? Apakah ada sesuatu yang membuatmu khawatir?”
Glenn hanya menggelengkan kepala dan duduk di kursi dengan pandangan yang kosong. Friska mencoba mendekati suaminya, “Bicaralah, Glenn. Aku di sini untukmu.”
Glenn menatap Friska dengan ekspresi sulit dipahami, “Friska, sebenarnya aku ingin membicarakan sesuatu yang penting.” Suaranya rendah dan penuh beban.
“Ya, apa itu?” tanya Friska.
Glenn memandang Friska dengan tatapan tajam, “Aku pikir sudah waktunya kita berpisah. Aku ingin bercerai denganmu.”
Friska terdiam, tak percaya dengan kata-kata yang baru saja didengarnya. “Bercerai? Glenn, kita bisa melewati ini bersama. Kenapa ketika aku membutuhkan dukunganmu, kamu ingin bercerai?”
“Kamu tidak mengerti, Friska. Aku tidak bisa terus menerus bersama denganmu. Penyakitmu membuat hidupku sulit.” Glenn berkata sinis.
Setelah mengatakan itu, Glenn meninggalkan Friska di dapur, meninggalkan perasaan hampa yang menggelayut di hatinya. Pagi yang suram itu bukan hanya tentang penyakit yang merayapi tubuhnya, tetapi juga tentang kehilangan cinta yang telah dibangun bersama selama bertahun-tahun.
Hari-hari berikutnya, rumah mereka menjadi semakin sunyi. Glenn terus membicarakan rencananya untuk perceraian, seakan menciptakan jurang yang tak terjamah di antara mereka.
Friska duduk di sudut ruang tamu dengan menghadap jendela dengan tatapan kosong. “Friska, kita harus mengurus dokumen perceraian ini dengan cepat,” kata Glenn tanpa ekspresi wajah yang berubah. “Aku tidak bisa terus begini.”
“Glenn, bukankah cinta dan komitmen kita dapat melewati segala rintangan?” Friska mencoba meraih tangan Glenn, tetapi Glenn menariknya dengan kasar.
“Cinta? Apa artinya cinta ketika aku harus hidup dengan beban penyakitmu? Aku ingin hidup tanpa bayangan kematian di sekelilingku,” ucap Glenn dengan nada dingin.
Friska merasa seakan-akan dunianya runtuh. “Tapi aku mencintaimu, Glenn. Kenapa kau tak bisa bersamaku hingga akhir?” ujarnya, suara serak karena terisak.
Glenn hanya menggeleng, “Ini bukan hidup yang ingin kubangun. Aku harus melanjutkan hidupku tanpa keterikatan ini.”
Saat malam tiba, Friska merenung di ranjangnya. Dia merasakan kesepian yang begitu dalam, bukan hanya karena penyakit yang melanda tubuhnya, tetapi juga karena kehilangan cinta yang seharusnya memberinya dukungan. Hidupnya terasa semakin gelap, dan dia bertanya-tanya apakah ada sinar kebahagiaan yang tersisa di sisa perjalanannya yang singkat ini.
Pada pagi hari, Friska terbangun dengan perasaan hampa. Rumah yang dulu dipenuhi tawa dan canda kini menjadi saksi bisu dari kehancuran cinta. Meskipun penyakitnya telah mengubah dirinya, cintanya kepada Glenn tetap utuh.
Saat berjalan melintasi foto pernikahan mereka di dinding, Friska terkenang kembali momen-momen indah bersama Glenn. “Apa yang salah denganku?” gumamnya pada dirinya sendiri, mencari jawaban yang tak kunjung datang.
Dalam kesendirian, Friska mencatat semua kenangan manis mereka dalam buku harian. Dia mencoba merangkai kata-kata yang dapat membuka pintu hati Glenn. Namun, rasa benci yang terus tumbuh dalam diri Glenn seperti tembok yang tak tergoyahkan.
Saat Friska menulis, tanpa sadar air matanya jatuh seperti hujan gerimis, menciptakan jejak kesedihan di wajahnya yang pucat. Cinta yang dulu memenuhi hatinya kini menjadi luka yang tak kunjung sembuh.
Perceraian menjadi bayangan yang semakin mendalam, mengikuti setiap langkah yang diambilnya. Friska mencoba mencari kebahagiaan dalam sisa waktu hidupnya, tetapi senyumnya semakin sulit ditemukan.
Setiap kali Glenn masuk ke rumah, suasana menjadi tegang. Mereka jarang berbicara, dan keheningan itu menggambarkan kehancuran hubungan yang dahulu penuh cinta.
Friska mencoba mengatasi keheningan dan ketegangan dalam rumahnya. Dia mengambil foto pernikahan mereka dan menatanya di meja, seperti mencoba memanggil kenangan manis yang telah lama terkubur.
Di malam harinya, saat mereka duduk di ruang tamu yang terasa semakin asing, Friska meraih album kenangan mereka. “Ingatkah kita saat ini, Glenn?” ujarnya dengan lembut, mengarahkan pandangan pada gambar masa lalu.
Glenn menatap foto itu dengan dingin. “Itu masa lalu, Friska.”
Friska menghela nafas. “Tapi, Glenn, cinta kita dulu sungguh indah. Tak bisakah kita mencoba menyelamatkannya?”
Glenn hanya tersenyum sinis, “Cinta itu terlalu rumit. Aku telah membuat keputusan, dan tak ada yang bisa mengubahnya.”
Sementara waktu terus bergulir dengan cepat, Friska mencatat setiap momen yang tersisa. Dia mencoba memahami perjalanan hidupnya yang semakin terasa berjalan begitu cepat. Hidupnya terasa seperti buku yang halamannya bergulir tanpa bisa dihentikan, meninggalkan jejak kenangan yang semakin pudar.
Baca juga: Air Mata dalam Senyuman
****
Waktu terus melaju tanpa ampun, membawa Friska mendekati akhir perjalanannya. Tubuhnya yang rapuh menjadi saksi dari perjuangannya melawan penyakit yang merajai dirinya. Glenn, yang tak lagi berbagi hari-hari terakhirnya, menjadi bayangan yang semakin memudar di kehidupannya.
Friska terbaring di tempat tidurnya di rumah sakit, menghadapi detik-detik terakhirnya. Keheningan ruangan itu hanya terganggu oleh bunyi detak mesin dan gemuruh kehidupan yang meluncur begitu cepat. Pikirannya melayang pada kenangan-kenangan bersama Glenn, bagaimana cinta mereka yang dulu begitu kuat berubah menjadi perpisahan yang tak terelakkan.
Dalam pelukan sepi malam, Glenn mencapai rumah sakit, wajahnya penuh dengan beban kesedihan dan penyesalan. Melihat Friska yang lemah, sesuatu di dalam hatinya mulai meruntuhkan tembok dingin yang dibangunnya. “Friska,” ucapnya dengan suara lembut, tetapi terlambat.
Friska tersenyum lemah, mencoba menutupi kepedihannya. “Glenn, maafkan aku jika aku tak bisa menjadi yang terbaik bagimu.”
Glenn meraih tangan Friska, tetapi dia tak bisa menahan air mata yang mulai mengalir. “Maafkan aku, Friska. Aku tak bisa memberikanmu yang terbaik.”
Friska mengangguk dengan lemah, dan dalam pelukan terakhir mereka, dia membiarkan dirinya lepas dari belenggu penyakit dan perpisahan. Detak mesin yang terus merayap menjadi lagu terakhir di telinganya.
Saat matahari terbenam untuk terakhir kalinya bagi Friska, dia menghembuskan napas terakhirnya. Glenn, yang berdiri di samping tempat tidur, merenung tentang pilihan-pilihan yang dibuatnya. Hidupnya yang berlanjut terasa hampa, ditinggalkan oleh kenangan-kenangan yang tak tergantikan.
Di sela-sela kedamaian malam itu, langit malam bersaksi atas kepergian seorang wanita yang mencintai dengan sepenuh hati. Di balik tabir kehidupan, Friska meninggalkan jejak cintanya yang terpahat abadi, seiring bintang-bintang yang bersinar di langit malam.
Glenn, yang tersisa merenungkan keputusannya, membawa beban kesedihan dan penyesalan yang akan selalu menghantui kenangannya.
Bayangan Cinta yang Pudar. TAMAT